Minggu, 13 Februari 2011

Profesional Worker vs Profesional Parents and Partners



Kemarin, saat browsing ke blog seseorang yang bisa dikategorikan sebagai salah seorang motivator favorit saya, Bp. Isa Alamsyah di http://www.isaalamsyah.com/, saya sedikit tercenung saat membaca cerita seorang Guru TK yg sangat profesional di tempat kerja sehingga sangat disukai murid-muridnya karena terkenal sabar dan telaten jika menghadapi anak-anak, selalu tersenyum sekalipun anak-anak nakal dan mengganggu sang guru. Tetapi berlawanan dengan di tempat kerja, di rumah sang guru sama sekali jauh dari wanita ramah. Ia sering kali marah kepada anak-anaknya yang juga masih kecil sebagaimana anak-anak TK di sekolah. Jika anaknya nakal ia menegurnya kasar. Jika anaknya mengganggu ia dengan kasar mengabaikan.
Sang suami memperhatikan hal tersebut, dan akhirnya kehilangan kesabaran dan mengeluarkan ultimatumnya,
"Berapa sih kamu di gaji di TK? Kamu kok bisa ramah benar kalau di TK? Begini saja, saya gaji kamu sebagaimana kamu digaji di TK, tapi kamu harus seramah kamu ketika menjadi guru TK di sana?"

Cerita di atas membuat saya berkaca.
Memang saya tidak melakukan hal "separah" Guru TK tersebut. Namun jujur rasanya saya juga belum memaksimalkan sikap profesional saya sebagai seorang pasangan hidup dan seorang ibu.
Mengutip istilah Bp. Isa Alamsyah, "No Excuse" sebenarnya jika saya berpikir "Jelas di kantor lebih mudah bersikap profesional secara kita hanya fokus ke satu bidang : Pekerjaan. Kalau di rumah kan kita membagi peran : sebagai ibu, sebagai pasangan hidup, belum lagi sebagai pribadi yang juga harus diperhatikan kesejahteraan jiwanya."
Sedangkan jika mengutip istilah mentor paskibra saya, "Itu adalah barrier yang kamu ciptakan sendiri."
Kemarin saat saya membuat hal ini menjadi sebuah status, ada seorang teman yang menulis komentar "Untuk bersabar memerlukan kelapangan hati yg besar... Tapi semua itu ada batasnya..."

Batas Kesabaran. Sangat sering saya mendengar tentang hal ini, biasanya terutama dari sahabat wanita.
Dulu, saya pun sering mengucapkan kata yang sama.
Namun, melewati introspeksi panjang akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi dengan mudah menggunakan kata tersebut. Karena sebenarnya kesabaran itu tidak ada batasnya, namun yang ada batasnya adalah kemampuan manusia untuk bersabar. Apalagi kenyataannya setiap kali saya menyatakan kata tersebut di awal sebuah perjuangan atas perubahan maupun masalah hidup saya, maka akhirnya saya menilai bahwa kemampuan saya untuk bersabar tidak semaksimal yang seharusnya. Mungkin karena saya sudah terlanjur menetapkan batas atau target sebuah kesabaran sebelum saya berusaha maksimal.
Well, toh sabar bukan berarti tidak boleh marah kan? Akhirnya bagi saya sabar identik dengan pengendalian diri, menentukan kapan dan bagaimana cara marah yang tepat dan efektif. Biarlah kata "Batas Kesabaran Saya" muncul dengan sendirinya di akhir perjuangan kalaupun memang harus muncul :)

Di kantor, saya memang berusaha menjadi seorang Profesional Worker.
Saya berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan atasan, rekan kerja satu divisi dan antar divisi - meskipun untuk antar divisi hal ini diwarnai dengan sedikit ledakan-ledakan emosi umumnya akibat konfik standard Finance vs Marketing heheheh....
Saya bisa mengendalikan diri menghadapi client yang banyak tuntutan, yang terkadang bawel dan menyebalkan :D
Saya selalu haus ilmu sehingga masih menyempatkan diri mencaritahu bagaimana meningkatkan kemampuan saya di bidang pekerjaan.
Saat saya mencoba menganalisa mengapa saya berusaha menjadi seorang profesional worker, jawabannya adalah "Saya mencintai pekerjaan saya, apalagi saya menerima bayaran atas tenaga saya bekerja."

Namun mengapa lebih sulit untuk menjadi Profesional Parents dan Profesional Partners?
Meskipun saya juga berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan suami dan anak-anak , namun lebih sulit untuk mengendalikan diri menghadapi pasangan dan anak yang terkadang juga bawel danbanyak tuntutan terutama disaat kebutuhan diri saya sebagai pribadi juga berteriak minta didahulukan.
Bukankah saya juga mencintai peran saya sebagai ibu dan istri?
Apalagi jika saya analisa dengan lebih jujur, bukankah saya juga mendapat bayaran bahkan pinjaman awal dari Allah untuk menjalani peran saya sebagai pribadi, pasangan hidup dan seorang ibu?
Saya diberi oksigen gratis untuk hidup, pinjaman anggota tubuh untuk mengurus semuanya, pinjaman otak untuk membantu mengatasi masalah di keluarga, pinjaman hati untuk menyayangi dan terutama saya menerima bayaran berupa investasi untuk di akhirat nanti.

Jadi, jika saya bisa merasa malu kepada atasan saya seandainya saya tidak bekerja dengan profesional, seharusnya saya merasa lebih malu kepada Allah jika saya tidak berusaha maksimal menjadi seorang Profesional Parent dan Profesional Partner.

Untuk itulah tulisan ini saya buat. Untuk mengingatkan diri saya sendiri.
Agar "Manusia adalah tempat salah dan lupa" tidak saya jadikan alasan secara terus menerus untuk menunda belajar dan berusaha menjadi seorang profesional parent dan partner.
Insya Allah setiap saya membaca tulisan ini lagi, usaha yang semula kendur, komitmen yang mungkin mulai terlupakan, akan terpacu kembali...
Tulisan ini saya harap berfungsi layaknya agenda bagi seorang yang pelupa :)

Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan doa,
Ya Allah, berilah bimbingan, kekuatan dan kemudahan kepada kami agar kami bisa menjadi profesional sejati di setiap bidang hidup kami. Menjadi umat-Mu yang profesional, menjadi pasangan hidup yang profesional, menjadi orang tua yang profesional, menjadi tetangga, kerabat, dan sahabat yang profesional, dan menjadi pekerja yang profesional.

Bismillaahirrahmaanirrahiim... semoga kita bisa :)

Jakarta, 13 Februari 2011
Yeni Suryasusanti

2 komentar: