Selasa, 24 April 2012

Sharing Copy Paste : Dicari, ”Luqmanul Hakim!”


Apakah setelah membaca tulisan ini para ayah / calon ayah cukup merasa tersindir?

Jika ya, alhamdulillah, berarti masih pada punya hati :)
Jika tidak, ada 2 kemungkinannya :
Alhamdulillah, sudah menjadi seperti Luqmanul Hakim ATAU na'udzubillah, sudah tidak perduli...

Semoga sharing ini (meskipun hanya copy paste) bisa bermanfaat :)

Jakarta, 24 April 2012
Yeni Suryasusanti





DICARI, ”LUQMANUL HAKIM!”
Oleh ADRIANO RUSFI, Psi.
(Posted by : Harry Santosa in Millenial Learning Center)

"DUHAI Ananda, usah kau sekutukan Allah. Sungguh menyekutukan Allah itu aniaya yang besar" 

TERBAYANG kalimat itu mengalir dari bibir lembut seorang ibu, mengajarkan tauhid pada Sang Buah Hati sambil mengusap rambutnya dengan penuh cinta. Terbayang raut wajah teduh keibuan, berbekal sayang bercampur cemas menasihati anaknya yang manja dipangkuan, agar terhindar dari murka Allah.

Tapi tidak. Itu ternyata bukan petuah bunda. Itu ternyata adalah nasihat seorang ayah yang sedang menjalani tanggung jawab kelelakiannya sebagai Muslim untuk mendidik anaknya. Petuah itu mengalun dari hati seorang lelaki sejati bernama Luqmanul Hakim, yang sadar penuh akan titah syariah bahwa kelelakiannya bukan hanya untuk membuahi dan mencari nafkah, tapi juga sebagai pendidik.

Lalu, ke mana Luqman-Luqman itu kini? Ke mana kaum lelaki dan sang Ayah ketika narkoba mengepung anak-anaknya, ketika putranya tertangkap dalam huru-hara tawuran, atau ketika putrinya positif hamil di luar nikah? Yang tampak hanyalah para ibu yang tergopoh tunggang-langgang mengemasi beribu masalah dengan kedua tangan halusnya, sementara suaminya duduk manis di beranda menikmati layanan sehabis pulang kerja. Ketika itu para ibu memang memilih untuk tergopoh, tinimbang memikul rasa pilu dihardik suami dituduh tak becus mendidik anak.

Tergopoh mungkin menjadi takdir seorang istri masa kini, ketika Luqman-Luqman hilang entah ke mana. Yang tersisa tinggallah para suami yang telah mendegradasi perannya sebatas pencari nafkah keluarga belaka, sedangkan peran lainnya telah didelegasikan kepada sang istri. Seakan hak seorang lelaki tersaji dari langit begitu besarnya, bahkan hak untuk mendelagasikan tanggung jawab domestik apa pun. Karena sepertinya kiprah di dunia publik terasa lebih seksi dan bergengsi.

Ruang publik memang seksi. Terasa lebih lapang dan warna-warni bagi para lelaki yang memang tercipta dengan kaki panjang-panjang. Dan menjadi pencari nafkah lebih menjanjikan martabat, karena segepok uang di saku bisa membeli kepatuhan dan memaksakan ketergantungan orang-orang di rumah. Daya pikat dunia luar rumah itu menggoda, bahkan bagi kaum ibu. Karena, bisa menjadi alasan jitu untuk keluar dari kepengapan domestik yang seringkali berakhir tragis, sambil sesekali berjalan di mal-mal membeli harga diri dari uang yang dicari sendiri.

Maka, tersisalah rumah-rumah sunyi dihuni para istri yang ibu rumah tangga, berteman keluh kesah yang terpaksa didengarnya sendiri. Ia mengeluh tentang anak yang keras kepala, atau pornografi yang bersembunyi di kamar tidur, atau tetangga yang gemar bergunjing, atau tentang uang belanja yang makin susut oleh inflasi. Lalu, sang suami membalasnya tak berdaya, "Gajiku hanya segitu". Ia memang hanya bisa mengeluh, karena ia tak lagi punya suami yang piawai berdiskusi tentang anak yang masih mengompol atau tentang kenapa harga bawang melambung.

Entah siapa yang mulanya bersalah, sehingga lelaki tak lagi menjadi Luqmanul Hakim yang cakap memimpin, mencari nafkah, menjadi suami dan menjadi ayah. Mungkin saja itu bermula ketika lelaki memutuskan untuk mendegradasikan peran tradisionalnya. Atau barangkali ketika majelis ta'lim tak menawarkan kajian kerumahtanggaan kepada kaum ayah. Sementara, buku dan seminar tentang keluarga tak menganggap laki-laki adalah pasarnya.

Siapakah yang bersalah ketika seorang suami tak lagi peka membaca kerling kehendak sang istri yang disiratkan dalam kata bersayap khas perempuan? Majelis Taklim angkat bahu, karena ajakannya untuk mengaji kepada para lelaki selalu ditampik atas dalih waktu yang tersita di perburuan nafkah. Lalu siapakah yang bertanggung jawab kala ayah tak lagi bisa menemani keluh anaknya yang ditikam rasa jatuh cinta dengan teman sekelas? Pengelola seminar dan penerbit buku pun geleng kepala, karena yang selama mereka tahu itu memang urusannya para ibu.

Hanya zaman yang tahu seberapa digdayakah seorang perempuan untuk mengemasi seluruh masalah rumah tangga dengan satu tangan, karena tangan yang satu lagi disibukkan oleh pengabdiannya bagi suami tercinta. Beban berat itu hanya dapat mereka adukan kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena mereka tak dapat mengadu kepada suami yang telah berubah menjadi tuhan-tuhan kecil, tapi tanpa kasih sayang. Pernah mereka mengadukan hasrat untuk bersekolah lagi, tapi tuhan-tuhan kecil itu melarangnya tanpa sedikitpun empati, beralasan bahwa ibadah perempuan ada di dapur. Pernah mereka merayu untuk turut membantu mencari nafkah, namun lagi lagi tuhan-tuhan kecil itu menampiknya, mengutip firman Tuhan Yang Maha Besar bahwa perempuan harus tinggal di rumah.

Tuhan-tuhan kecil itu merasa telah mendapat mandat dari Tuhan Yang Maha Besar, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, untuk menjadi wakilNya di rumah tangga. Ya, mandat ketuhanan, namun tanpa sifat kasih dan sayang yang justru menjadi akhlaq utama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lalu, jadilah mereka diktator kecil yang memegang firman Tuhan di tangan kanannya, dan tangan kirinya menuding-nuding seisi rumah. Tuhan-tuhan kecil tanpa kasih-sayang ini kemudian membungkam suara-suara kebumian yang merengek dari dalam kamar, menyumpalnya dengan suara-suara langit. Tuhan-tuhan kecil ini minta ditaati secara absolut, berbekal kemampuannya memelintir dan memanipulasi firman Allah yang memang absolut itu.

Tinggallah para orang rumah yang tertindih dan tak dapat mengadu kepada siapa pun kecuali Allah. Tragis, karena mereka justru dituduh oleh orang yang Allah ciptakan sebagai teman mengadu. Dan adalah masuk akal jika tragedi yang lahir dari paradoks pada akhirnya akan berbuah keputusasaan. Dan keputusasaan yang tragis akan melahirkan tragedi-tragedi berkelanjutan. Keputusasaan yang hampa itulah yang akhirnya menakdirkan istri-istri yang bunuh diri, ibu-ibu yang membakar anaknya, atau perempuan-perempuan yang berjualan narkoba.

Tapi itu tak sepenuhnya kesalahan para lelaki. Kita, lingkungan, dan budaya patriarki kita yang feodal tak dapat cuci tangan sepenuhnya, karena kitalah yang telah mendegradasikan peran lelaki hanya sebatas pencari nafkah. Lingkunganlah yang menciptakan para suami yang rasional, namun sekaligus miskin emosional dan kepekaan batin. Budayalah yang melahirkan ayah-ayah yang besar kepala, namun kecil hati. Allah, rasulNya dan agama sama sekali tak dapat dipersalahkan dan turut bertanggung jawab. Karena titah agama teramat jelas, bahwa lelaki adalah pemimpin, suami, ayah, dan teman dalam rumah tangganya. Sedangkan mencari nafkah hanyalah alat bantu untuk menjalankan segala peran dan tanggung jawab itu.

Dunia domestik memang tak mudah. Dan itulah yang membuat para suami, istri, dan anak-anak berlomba dan berpacu untuk meninggalkannya, masuk ke dunia publik yang lebih menggairahkan dan penuh penghargaan. Dunia domestik adalah dunia tanpa pujian, publikasi dan penghargaan, sehingga hanya manusia-manusia tulus yang mengidamkan ridhaNyalah yang akan sanggup bertahan di dalamnya. Dunia domestik itu rutin, monoton dan tanpa imbalan, yang modal dasarnya adalah keikhlasan. Sementara, dunia telah menyebabkan para lelaki menjadi terlalu maskulin, profesional, pragmatis, dan publikatif.

Padahal, nun di Madinah sana lima belas abad silam, ketika Allah menurunkan ayat-ayat khusus untuk perempuan, ketika turun ayat ayat tentang rumah tangga dan pendidikan anak, Rasulullah Saw justru mengumpulkan para lelaki di masjidnya. Beliau sampaikan isinya dan beliau jelaskan maksudnya.. Lalu pada akhirnya beiau bersabda, " Pulanglah kalian, dan sampaikanlah kepada istri-istri dan anak-anak perempuan kalian". Beliau, Shalallahu 'alaihi wassalam, adalah suami yang menumbuk tepung, mencuci pakaian, dan tahu cara menyenangkan istri-istrinya.

Adalah kita yang harus memulai perubahan dan melahirkan kembali Luqmanul Hakim-Luqmanul Hakim yang baru. Khotbah-khotbah Jumat perlu membahas tentang menjadi suami. Kantor-kantor tempat lelaki mencari nafkah perlu mengadakan kajian kerumahtanggaan. Masjid-masjid pasar tempat sang ayah berdagang perlu berceramah tentang pendidikan anak. Seminar-seminar komersial dan para penerbit buku perlu peduli dengan tema lelaki dan rumah tangga.*** 

(Penulis, psikolog, konsultan pendidikan dan konsultan SDM, tinggal di Bekasi.)

Sabtu, 07 April 2012

Ketika Nilai Akademis Menjadi "Raja"




Bulan lalu, pada hari Senin malam, saya mendapat sms dari salah seorang teman yg putranya sekelas dengan Ifan di sekolah. Ternyata ada seorang anak yang sering melakukan bullying. Tingkah anak tersebut sudah membuat suasana tidak nyaman bagi seluruh siswa di kelasnya. Dan... Ternyata korban yang bisa dikatakan paling sering di-bullying adalah Ifan!

Memang sejak tahun 2006 merasa kehilangan adik perempuannya karena meninggal dunia akibat ensefalitis, Ifan berubah menjadi anak yang sensitif dan halus perasaannya (dan akibatnya mudah menangis). Jangankan pukulan, kata-kata mengandung ejekan atau bernada keras kemarahan saja bisa membuatnya menangis terisak-isak. Apalagi karena di rumah kami tidak terbiasa saling mengejek atau berkata kasar.
Saya menyadari sejak awal, Ifan akan sering mendapat gangguan akibat mudah meneteskan air mata. Predikat "anak cengeng" hampir pasti akan disandangnya. Saya membiarkan Ifan menghadapi ejekan selama masih cukup wajar dan tidak berlebihan, sesekali mengajarinya bagaimana merespon sebuah ejekan, tapi saya hampir tidak pernah "terjun langsung" untuk membelanya hanya untuk menghadapi ejekan khas anak-anak. Dan ternyata memang seiring berlalunya waktu akhirnya Ifan menjadi "sedikit lebih tegar".


Malam itu saya bertanya pada Ifan, apa saja yang dilakukan oleh temannya kepada seluruh teman sekelas termasuk Ifan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.
"Dia sering main GTA Bun... jadi ngomongnya kasar kayak GTA gitu..." demikian sepenggal informasi dari Ifan.
"GTA? Apaan tuh?" tanya saya bingung.
"Itu game PS yang jadi pencuri itu lho... merampas mobil dan motor orang lain dalam rangka menghindari kejaran polisi... Nah, kata-katanya kasar seperti dalam game itu..."
Wah, ada game seperti itu? *Bunda kuper nih*
Ifan punya PSP tapi tidak punya game yang aneh-aneh di PSP-nya karena suami saya ikut memilihkan game saat pertama kali membeli.
"Kata-katanya kasar gimana sih?" saya masih penasaran.
"Mmmmm.... maaf ya, Bun... Kata-katanya itu 'Shit, Fuck dan Asshole' gitu lho..." kata Ifan hati-hati.
HAAAAAA??? Astaghfirullah...
Selain itu, dengan nada biasa, Ifan bercerita bahwa dulu awalnya mereka pernah dipukul dan ditendang, bukan hanya anak laki-laki, tetapi anak perempuan juga, tetapi belakangan hanya berkata kasar dan ejek-ejekan saja. Ternyata Ifan yang menangis jika perasaannya terluka merupakan sasaran yang menyenangkan bagi temannya itu. Tapi menurut Ifan, kondisi tidak menyenangkan ini akhirnya membuat para korban bersatu. Jadi, setiap kali ada yang mulai diganggu atau ada yang mulai menangis (termasuk Ifan), maka teman-temannya segera melaporkan kepada guru sebelum gangguan itu berkembang jadi kontak fisik, sehingga si pelaku bullying langsung diberi peringatan atau sanksi, dan mereka segera didamaikan kembali.


Saya menatap Ifan lama. Kemudian saya berkata dengan sungguh-sungguh,
"Ifan, bunda tahu, bagi Ifan begitu teman yang berbuat salah dikenakan sanksi dan meminta maaf - entah itu karena tekanan guru ataupun karena kesadaran sendiri - maka bagi Ifan masalahnya sudah selesai. Bunda bahagia Ifan bisa begitu pemaaf. Meski hampir setiap hari diganggu, setiap kali setelah didamaikan maka Ifan mau bermain kembali. Bunda juga tahu, Ifan nggak cerita pada bunda karena mengganggap itu bukan masalah lagi, toh dia sudah dihukum dan meminta maaf. Bunda nggak sepenuhnya menyalahkan Ifan, karena bunda juga tahu Ifan ingin belajar mandiri. Tapi mulai sekarang, bunda ingin Ifan belajar 'curhat' pada bunda, bukan hanya cerita soal yang menyenangkan saja. Jangan buat bunda menjadi 'orang yang paling terakhir mengetahui apa yang terjadi pada anak bunda sendiri'. Bunda akan mengatur waktu dengan lebih efisien lagi agar ada waktu curhat untuk Ifan. Bunda tidak akan ikut campur jika memang nggak perlu. Tapi bunda bisa mengingatkan dan mengajari Ifan jika perlu. Ifan janji?" tuntut saya.
"Iya, bun, Ifan janji," kata Ifan sambil menunduk.
Saya pun memeluknya.


Hari Selasa pagi, memang saya sudah izin datang terlambat karena ada keperluan pribadi ke Bank. Siangnya ada rencana meeting dengan client penting dan saya harus ikut hadir karena berkaitan dengan invoice yang akan diterbitkan.
Family matter comes first, akhirnya saya mengajukan izin dadakan cuti setengah hari untuk menemui teman saya. Rencananya, jika meeting jadi diadakan maka saya akan langsung menuju lokasi meeting dari tempat pertemuan.
Dari teman saya, saya mendapat informasi tambahan yang membuat saya gemas bercampur iba.


Ternyata, si pelaku bullying sebenarnya termasuk anak yang cerdas, dengan nilai total yang tinggi meskipun bukan tertinggi di kelas. Dia juga sangat dekat dengan ibunya, dengan sikap yang jauh berbeda ketika berada di rumah dan di sekolah. Mendengar penuturan teman saya rasanya seperti menonton film "Petualangan Sherina" dimana tokoh "Sadam" yang merupakan "anak nakal" penindas teman di sekolah ternyata merupakan anak mama di rumahnya :(


"Nilai Akademis adalah yang utama. Yang penting nilai kamu bagus, masalah lain biar papa yang membereskan." Demikian nilai yang ditanamkan oleh ayahnya.
Sang ayah juga dulu dengan penuh emosi menghadap kepala sekolah, memprotes saat sistem ranking dihapuskan dari kebijakan akademis sekolah.
Setelah sistem ranking dihapus, sang Ibu pun mungkin tidak lepas dari tekanan. Bertanya ke kiri dan kanan, kepada orangtua teman-teman putranya berapa nilai mereka saat ujian dan latihan, sebagai pembanding nilai putranya.
Sempat saya berkomentar, "Capek amat? Bukankah lebih sederhana cukup berpatokan dengan KKM dan kemudian berusaha meraih nilai semaksimal yang kita bisa saja?"


Satu informasi lagi yang membuat saya ternganga, yaitu reward berupa uang tunai senilai Rp 100.000,- untuk setiap nilai 100 atas ulangan harian yang didapatkannya, dan Rp 10.000,- untuk nilai 100 pada setiap latihan di buku latihan sekolah akan diperolehnya dari sang ayah.
(Saya memahami, bahwa salah satu cara untuk mendongkrak semangat anak kita adalah dengan memberikan reward. Saya juga tidak punya hak untuk menyalahkan pilihan orang tua anak lain mengenai cara mendidik buah hati mereka meskipun bagi saya nilai uang tersebut di atas cukup berlebihan, apalagi jika dibandingkan dengan saya yang bisa dibilang tidak pernah memberikan reward berupa uang tunai kepada Ifan. Pelukan hangat, ciuman dan usapan tangan di kepala, membelikan buku kesukaannya dan sesekali mainan, merupakan beberapa contoh reward yang selalu saya berikan padanya.)
Katanya juga, sang Ibu ketika diberi masukan oleh wali kelas dan orangtua anak lain yang juga teman-teman ibunya malah bertahan dengan berkata, "Anak saya tidak ada masalah. Dia baik-baik saja di rumah. Jika dia di sekolah dikatakan berlaku tidak baik, berarti kesalahan ada pada sekolah dan teman-temannya di lingkungan sekolah karena saat berada di sekolah dia menjadi tanggung jawab sekolah."


Wow!!! Takjub saya terbelalak sambil berkata, "Denger-denger katanya yang dimintai tanggung jawab di akhirat itu orangtua deh, bukan pihak sekolah... Jadi menurut gue dimanapun dia berada ya anak itu tanggung jawab orangtuanya 24 jam lah..."


Teman saya bertanya tentang Ifan, apakah dia stress dengan gangguan dari temannya tersebut.
Saya berkata jujur, "Alhamdulillah, nggak. Ifan memang perasa, tapi dia juga pemaaf, bahkan mungkin bisa termasuk kategori anak yang easy going. Dia cerita soal temannya itu juga nggak dengan nada benci kog."
Untung juga, jadi Ifan nggak sampai mogok sekolah gara-gara dibullying, pikir saya dalam hati.
Dan alhamdulillah, menurut laporan teman saya tersebut, ternyata Ifan dalam minggu itu terlihat sudah mulai berhasil mempertahankan diri.


Siang itu, saya mendapat kabar dari kantor bahwa meeting dengan client ditunda. Besok jam 10 pagi meeting baru akan dilaksanakan.
Merasa Allah mendukung pilihan saya mengutamakan keluarga, saya minta izin cuti setengah hari saya diperpanjang menjadi 1 hari penuh.
Saya ingin ke sekolah, agar mendapat gambaran persoalan secara utuh dari keterangan semua pihak : dari Ifan, dari orangtua anak lain, dan dari pihak sekolah.


Alhamdulillah, dari pihak sekolah, saya mendapat gambaran yang serupa dengan penggambaran Ifan : berupa fakta, netral, tanpa emosi yang membuat bias.
Meskipun dengan gemas sang wakil kepala sekolah sempat berkata bahwa beliau terkadang gregetan karena Ifan terlalu mudah memaafkan hanya dengan satu kali permintaan maaf yang terkadang dirasa terlalu ringan oleh beliau. Karena kalau sang korban sudah tidak masalah, memang akan sedikit sulit bagi pihak sekolah untuk memperpanjang masalah tersebut agar pelaku bullying jera.
Saya berkata kepada beliau, bahwa memang ini sebuah dilema, tapi selama ini saya memang mengajarkan Ifan untuk menjadi anak yang pemaaf. Hal ini semata-mata karena saya tidak ingin Ifan berlarut-larut terpenjara dalam dendam sehingga melupakan bahwa hidup terus berjalan. Saya tidak ingin mengoreksi ajaran tersebut, hanya kelak akan mengajarkan bahwa meskipun kita sudah memaafkan dan mengikhlaskan, namun terkadang perlu untuk tidak melupakan agar bisa lebih berhati-hati di masa yang akan datang.


Menyimpang sesaat dari kasus Ifan, beberapa orang mungkin tidak setuju dengan pendapat saya di atas. Hal ini bahkan pernah dibuat menjadi syair sebuah lagu.
Lagu The Past oleh Ray Parker Jr :
"Didn't anyone tell you yet
That to forgive is to forget
How can you be mad if you don't remember..."
Tapi saya membuktikan sendiri bahwa memaafkan tanpa melupakan itu mungkin. Karena setelah saya memaafkan, saya bisa mengingat "kesalahan" orang lain kepada saya dengan tanpa kebencian, hanya sebagai pengingat untuk lebih berhati-hati, sebagai antisipasi. Kata kuncinya adalah dengan menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna, dan saya pun pernah berbuat salah pada orang lain :)


Saya berkata kepada beliau bahwa saya tidak akan ikut campur mengenai cara sekolah mendidik anak-anak di sekolah.
Tapi lain kali, saya minta segera diberitahu jika sampai terjadi kontak fisik sekecil apapun (meskipun tanpa ada luka yang terlihat) agar kami bisa lebih waspada, bisa mengantisipasi jika ada masalah yang mungkin memerlukan penanganan medis.
Namun, jika hanya terjadi adu verbal, tidak masalah jika sekolah tidak memberitahu saya, saya akan berusaha menggali informasi tersebut nanti dari Ifan.
Mengenai masalah anak yang melakukan bullying ini, saya mempercayakan kepada pihak sekolah dan siap ikut membantu jika memang dibutuhkan.


Semua masalah ini, membuat saya teringat salah satu tulisan Bp. Adriano Rusfi. Tentang pendidikan anak dan rumah yang hendaknya dijadikan sebagai dapur yang meramu kepribadian anak, bukan sebagai etalase yang memajang anak hanya agar terlihat hebat.
Karena ketika rumah dijadikan etalase bagi kepribadian anak, maka saat berada di rumah anak-anak kita akan menjadi pribadi yang manis luar biasa, namun ketika di luar rumah, bisa jadi mereka membuat orang lain binasa.
Saya - dan mungkin cukup banyak orangtua lain - juga berani menyatakan, bahwa nilai akademis bukanlah segala-galanya. Masih banyak nilai-nilai lain dalam kehidupan yang juga penting kita tanamkan kepada anak-anak kita.

Terbukti dalam kasus bullying di sekolah Ifan :
Ketika nilai akademis menjadi "Raja", dan nilai akhlak dikesampingkan sehingga menjadi tidak lagi bermakna, maka akan hadir generasi muda yang "cerdas" namun berpotensi menjadi seorang "penindas"...

Semoga anak-anak kita tidak demikian.

Jakarta, 7 April 2012
Yeni Suryasusanti

Senin, 02 April 2012

Jika...














Jika engkau ingin menggambarkan kehidupan
gambarkanlah ia laksana masakan
segala bumbu yang kita campurkan :
manisnya gula, asinnya garam dan amisnya kaldu ikan
hangatnya jahe, pedasnya cabe dan getirnya jintan
akan berpadu hingga menjadi sebuah kelezatan


Jika engkau ingin menggambarkan percintaan
gambarkanlah ia laksana lautan
kuatnya arus air dibawah tenangnya permukaan
kerasnya ombak yang mampu memecah batu karang meski secara perlahan
dan tiupan angin yang mampu membawa nelayan sampai ke tujuan
juga tenangnya ayunan gelombang setelah badai yang menakutkan


Jika engkau ingin menggambarkan pengharapan
gambarkanlah ia laksana pegunungan
tetap berusaha berdiri meski terjadi pengikisan
masih memberi udara yang lebih menyegarkan
meski akhirnya pohonnya hilang dan berganti bangunan
dan dari harapan bisa muncul tindakan keberanian


Jika engkau ingin menggambarkan kebahagiaan
gambarkanlah ia laksana danau buatan
waduk yang dibangun dengan cara membuat bendungan
yang merupakan air sediaan untuk berbagai kebutuhan
dari pembangkit listrik hingga tempat liburan
karena rasa bahagia bisa muncul dari rasa dibutuhkan


Jika engkau ingin menggambarkan keimanan
gambarkanlah ia laksana kehamilan dan kelahiran
ia murni merupakan hadiah dari Tuhan
meski dimiliki orangtua namun ia tidak dapat diwariskan
walau suami dan istri ikut andil dan berperan
namun hanya dengan bantuan Allah sang jabang bayi bisa bertahan


Jakarta, 2 April 2012
Yeni Suryasusanti


Ketika tergelitik dengan komentar seorang teman : "Dan marilah kita jaga mata dan iman kita masing-masing supaya tetap pada tempatnya. Tidak usah ribut meminta orang lain yang menjaga."
Namun teman, sesungguhnya, terkadang "saling" menjaga - bukan menyalahkan - itu indah...