Seorang teman berkata kepada saya, "Yen, loe tuh selalu merasa benar ya orangnya!"
Reaksi pertama saya adalah ternganga. Reaksi berikutnya adalah bingung. Ha?
"Dari mana loe mengambil kesimpulan itu?"
"Lihat tulisan-tulisan loe! Di setiap tulisan loe selalu merasa paling tau, paling benar, dan loe selalu berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran loe itu! Orang lain semua salah di mata loe..."
Saya termenung. Saya kemudian teringat detail percakapan dengan kerabat lain pada kesempatan lain pula.
"Yen, setiap gue bertanya alasan sebuah sikap atau prinsip hidup loe, loe selalu punya jawaban, dan selalu menjawab dengan penuh keyakinan. Seolah loe yakin alasan loe itu benar. Bagaimana loe bisa begitu?"
Saya teringat pula cerita seorang adik kelas dan sahabat saya, Poppy Yuditya, saat ada seseorang yang bereaksi atas tulisan karyanya yang berjudul "Peran Muslimah" (http://www.facebook.com/note.php?note_id=215095484256). Orang tersebut tidak terima karena menurutnya Poppy menghakimi bahwa wanita muslimah yang bekerja adalah salah. Padahal saya juga membaca tulisan tersebut dan sama sekali tidak menemukan baik kata maupun kalimat yang dapat menyiratkan hal yang seperti orang tersebut maksudkan. Saya pribadi malah menganggap tulisan Poppy sangat bijak dan inspiratif karena Poppy hanya sekedar membagi sudut pandang dan pengalaman pribadinya, bukan mendikte orang lain untuk harus melakukannya juga :)
Pagi ini, saya pun membaca status facebook Bp. Isa Alamsyah, "Pernahkan Anda merasa sedang melakukan kebaikan dengan sepenuh hati tetapi dianggap sedang memberi kesusahan? Well life is not perfect right!"
Semua kejadian ini, membawa saya kembali kepada niat awal saya saat saya pertama kali memutuskan untuk berbagi buah pikiran dengan orang lain, baik secara lisan maupun tulisan.
Mengapa saya begitu mudah membagi cerita, pengalaman hidup dan buah pikiran?
Hanya satu jawabannya : Karena saya ingin hidup saya bisa bermanfaat bagi orang lain, bahkan jika mungkin, bermanfaat bagi orang banyak.
Yang ada dalam pikiran saya adalah : "Inilah buah pikiran saya, pengalaman hidup saya, jika anda merasa ada yang bisa bermanfaat untuk anda silakan dicoba, jika tidak sesuai silakan tinggalkan, karena anda lah paling mengetahui apa yang terbaik untuk hidup anda."
Namun, konsekuensi dari pilihan saya untuk berbagi adalah berbagai reaksi yang mungkin akan saya terima, dan tentu saja saya harus belajar ikhlas menerima semuanya...
Saat saya membaca setiap tulisan, saya selalu berusaha mengambil manfaat dari sana, jika ada. Jika tidak ada, ya sudah, saya tidak akan mencaci maki penulisnya karena dia menulis sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan saya :)
Namun, saya pun sadar, bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan segala keragaman sifatnya. Dalam hal tulisan yang saya publikasikan maupun opini lisan yang saya sampaikan, saya tidak bisa memaksa reaksi setiap orang harus positif, pun tidak bisa meminta setiap orang membaca setiap tulisan dengan hati yang terbuka :)
Kembali kepada teman saya, terus terang saat itu saya tidak sanggup memberikan argumentasi apa pun. Bukan karena saya tidak mempunyai kata-kata, melainkan karena saya tahu hatinya belum akan menerima apa pun yang akan saya jelaskan.
Saya akhirnya hanya terdiam... sambil beristighfar dan tetap berusaha melakukan introspeksi diri... serta berdoa semoga Allah membukakan hati teman saya agar bisa menangkap maksud dari tulisan saya sesuai dengan yang ingin saya sampaikan...
Benar atau Salah. Sebenarnya apa sih tolak ukurnya?
Bagi saya, sebenarnya hanya ada 2 : Agama dan Hukum.
Agama sudah jelas, bagi umat Islam, mengacu pada Al Qur'an dan Hadist.
Hukum sudah jelas, bagi Warga Negara Indonesia, mengacu pada Undang Undang dan Peraturan yang berlaku di Indonesia.
Namun, karena saya memiliki ilmu sangat terbatas, baik soal agama maupun soal hukum, saya terpaksa memasukkan unsur ketiga yaitu hati saya sebagai tolak ukur kebenaran sikap dan tindakan saya, meskipun mungkin hati saya juga tidak sejalan dengan hati orang lain :D
Benar atau Salah. Mengapa bagi sebagian besar orang menjadi masalah?
Dalam banyak kesempatan saya berusaha menghindari mengeluarkan vonis ini kepada orang-orang terdekat saya.
Ketika saya masih kecil, meskipun dibesarkan oleh orang tua yang luar biasa, jika saya melakukan tindakan yang "benar", maka saya tidak pernah mendapat komentar ataupun pembenaran secara lisan. Namun, jika saya melakukan tindakan yang "salah", taraaaaa... koreksi itu akan datang :)
"Kog gue sepertinya nggak pernah melakukan hal yang benar ya. Salaaaahhh terus..." begitu kata hati kecil saya.
Mungkin karena pengalaman sejak kecil itulah, saya pribadi bahkan hingga kini seringkali masih merasakan perlunya dukungan orang-orang terdekat saya jika saya berbuat benar, meskipun setelah saya dewasa bahkan tua, saya menyadari bahwa mungkin dulu hal itu ibarat pisau bermata dua bagi kedua orang tua saya, bahwa dukungan bagi mereka sama dengan pujian, dan mungkin mereka khawatir hal tersebut bisa membuat saya menjadi besar kepala :D
Tetapi tetap, karena pernah merasakan rasa tidak nyaman akibat "perasaan selalu salah" itu, saat ini saya sebisa mungkin juga menekankan dengan kata-kata bahwa saya senang dan setuju jika Ifan melakukan hal yang benar :)
Namun, apakah bisa dikatakan bahwa sikap dan tindakan saya tersebut diatas benar sementara sikap dan tindakan orang tua saya salah? Atau sebaliknya?
Entah menurut orang lain, tapi saya menolak mengkategorikan sikap dan tindakan tersebut dengan label Benar atau Salah.
Bagi saya, sikap dan tindakan adalah pilihan, dan sebagaimana sebuah pilihan, semua ada konsekuensinya.
Hidup bukanlah matematika, dimana 2 + 2 = 4, dan jawaban diluar jawaban tersebut adalah salah.
Contoh nyata, sebagai seorang istri, saya selalu berusaha menjadi istri yang baik, semampu saya. Karakter saya sebagai pribadi adalah "orang yang suka berdiskusi" untuk mencari jalan terbaik. Sedangkan suami, memiliki karakter yang sangat tidak suka jika langsung dibantah saat mengeluarkan suatu pendapat :D
Dalam kasus di atas, apakah saya salah karena memiliki karakter dianggap yang suka membantah? Atau apakah suami salah karena memiliki karakter tidak suka dibantah?
Tentu tidak ada yang benar atau pun salah dalam hal ini kan? Bagi saya, yang penting saya tahu solusinya, bahwa tentu saja saya harus mengendalikan diri untuk "tidak membantah"... atau jika saya tidak tahan untuk tidak membantah, setidaknya saya harus "membantah" di saat yang tepat :D
Namun bagaimana jika saat itu saya sedang tidak bisa mengendalikan diri? Ya, tentu saja perang kecil akan terjadi. Namun alhamdulillah, tidak pernah saya putus bersyukur kepada Allah... cinta suami kepada saya begitu besar, sehingga dapat memaafkan sifat saya yang seringkali tidak menyenangkan baginya itu... Many thanks and much love for you, Ahmad Fahly Riza :)
Mengenai benar atau salah, saya bertekad tidak ingin sibuk menghakimi orang lain di luar sana dengan benar atau salah.
Jika saya merasa melakukan kesalahan, saya tidak ingin hanya merasa menyesal telah melakukan kesalahan namun tidak berbuat apa-apa untuk memperbaikinya.
Jika saya melakukan kesalahan, saya berusaha tidak mencari kambing hitam hanya agar kesalahan saya tidak terlihat begitu besar, apalagi berusaha melemparkan kesalahan kepada orang yang telah menyadarkan saya dari kesalahan...
Saya selalu berdoa kepada Allah agar saya dianugerahi kemampuan untuk belajar memperbaiki diri saya setiap harinya...
Saya memohon kepada Allah agar selalu dikuatkan keinginan untuk menebar manfaat bagi orang lain jika bisa untuk bekal akhirat saya...
Saya tak putus berdoa agar Allah selalu memberikan keikhlasan kepada saya dalam berniat, bersikap dan bertindak... dan semoga Allah membantu saya agar selalu ikhlas menerima semua konsekuensi atas pilihan hidup saya, termasuk pendapat orang lain atas diri saya akibat pilihan saya berbagi buah pikiran dan pengalaman hidup saya :)
Akhirnya, saya akan membiarkan Allah menjadi hakim akhir bagi setiap niat, sikap dan tindakan orang lain untuk menentukan Benar atau Salah... karena saya pernah merasakan perasaan tidak nyaman akibat dihakimi oleh orang lain...
Entahlah sikap saya ini Benar atau Salah? Allahu'alam bish-shawab... :)
Jakarta, 30 Maret 2010
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar