Suatu siang saat saya sedang tidak masuk kerja, terdengar suara Fian, "Abang, ganti baju! Bau acem!!"
Tersentak, saya sempat terkejut. Bukan karena kalimat utuh yang diucapkan Fian, tapi karena nada suaranya yang keras memerintah Ifan.
Ifan merengut, dan saya pun mulai memahami situasi yang terjadi. Ifan kesal dibentak dan diperintah adiknya, Fian baru 22 bulan hingga belum mengerti mana yang pantas mana yang tidak :)
"Fian, ngomong yang baik sama abang. Bilang : Abang, ganti baju dong... Nanti bau asem lho..." saya segera mencoba menetralisir keadaan.
Fian segera mengulang kata-kata yang saya ucapkan, dengan nada suara yang persis sekali :D
Cemberut Ifan pun hilang dari wajahnya :)
Selama ini sebisa mungkin saya selalu berusaha berlaku adil kepada Ifan dan Fian.
Karena saya pernah membaca sebuah hadist tentang hal ini (1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press) :
Bertakwalah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak selalu saya membela Fian hanya karena dia adik dan menyalahkan Ifan karena kedudukannya sebagai kakak. Jika Fian berbuat kesalahan, meskipun Fian belum mengerti, saya terbiasa tetap menegur Fian, namun meminta pengertian Ifan karena adiknya belum mengerti mana yang benar mana yang salah.
Ketika Fian mulai meniru, sungguh merupakan saat yang tepat bagi seluruh penghuni rumah kami untuk berintrospeksi.
Entah Fian meniru siapa berbicara dengan Ifan dengan nada tinggi. Mungkin meniru saya, suami, atau bahkan pengasuh yang kebetulan habis kesabaran akibat lelah :)
Siapa pun yang ditiru, kerusakan telah terjadi, dan hanya bisa diperbaiki dengan koreksi terus menerus hingga Fian paham bahwa berbicara dengan abangnya tidak boleh dengan nada tinggi.
Introspeksi tentu harus saya mulai dari diri saya dan suami. Kami harus mulai belajar mengendalikan nada suara meskipun sedang emosi.
Sungguh tepat ternyata cara orang tua saya sewaktu kecil dulu, yang menggunakan "metode sidang tertutup" (begitu istilah saya dan kakak-kakak menyebutnya heheheh) untuk menegur anak. Sepanjang ingatan saya, Papa dan Ibu tidak pernah menegur saya di depan kakak-kakak yang lain. Saya selalu dipanggil ke kamar beliau dan diceramahi dengan suara pelan sehingga tidak terdengar oleh kakak-kakak saya (meskipun tetap saja panggilan ke kamar papa ibu jelas merupakan tanda kalau kita akan dimarahi hihihihi).
Kini saya memahami, bahwa dengan "sidang tertutup" itu, kita bisa menjaga harga diri anak yang satu di depan anak yang lainnya, dan saya akhirnya mengadopsi sistem yang digunakan Papa dan Ibu saya dulu, dengan menegur Ifan hanya berdua atau bertiga dengan suami jika Ifan melakukan kesalahan :)
Pengasuh pun saya libatkan dalam introspeksi ini. Saya sampaikan bahwa jika memarahi Ifan di depan Fian, akan bisa membuat Fian meniru cara tersebut dan akhirnya bisa saja jadi tidak menghargai abangnya, orang yang seharusnya Fian hormati dan sayangi. Lebih jauh lagi, ini bisa memicu kebencian dari pihak Ifan, sehingga akan berbahaya bagi perkembangan hubungan Ifan dan Fian kelak.
Saya tekankan, jika kebencian tersebut sampai timbul, si pengasuh adalah orang yang paling merasakan kerepotan, karena berarti Fian tidak bisa lepas dari pengawasan pengasuh sedikitpun karena usia Ifan dan Fian yang terpaut jauh (8 th!) memungkinkan terjadi hal-hal yang membahayakan.
Saya meminta pengasuh untuk bersabar menghadapi Ifan, atau jika tidak bisa silakan menghubungi saya melalui telepon agar masalahnya bisa saya atasi karena Ifan tentunya lebih menurut kepada saya dibandingkan kepada pengasuh :)
Untungnya bukan hanya hal buruk yang Fian tiru :)
Mengucapkan "Assalamu'alaikum..." jika masuk rumah (bahkan masuk kamar heheheh), bertemu ataupun berpisah, duduk di pangkuan saya setiap kali saya selesai shalat dan minta berdoa, mengucapkan "terima kasih" jika di beri sesuatu dan mengucapkan "Hati-hati di jalan, Abang..." jika Ifan pergi sekolah atau ke mesjid, adalah beberapa dari sederet hal baik yang Fian tiru.
Jika Fian meminta makanan Ifan, maka akan terdengar suaranya, "Abang, minta... dikiiiiit aja..." persis seperti nada suara saya saat dulu meminta Ifan membagi makanannya dengan Fian :)
Sampai saat tulisan ini saya buat, kami masih berjuang untuk menghilangkan nada tinggi Fian jika berbicara dengan Ifan. Meskipun sesekali masih terdengar teriakannya, "Abang, makan duyu!!", namun jika diminta untuk mengulang dan dicontohkan kalimat dan nada suara yang lembut, "Abang, makan dulu dong..." secara otomatis Fian akan mengulang dengan nada suara yang lembut juga :)
Dari Anas r.a., “Aku telah melayani Rasulullah SAW selama 10 tahun. Demi Allah beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah menanyakan : ‘Mengapa engkau lakukan?’ dan pula tidak pernah mengatakan: ‘Mengapa tidak engkau lakukan?’”
(Hadits Riwayat Bukhari, Kitabul Adab 5578, Muslim, Kitabul Fadhail 4269, dan selain keduanya)
Memang, kita selalu bisa belajar dari siapa saja, meskipun dari anak usia 22 bulan :)
Saya yakin kita semua yang beragama Islam sudah mengetahui bahwa Rasulullah merupakan pribadi yang lemah lembut dan harus dijadikan panutan. Namun, justru Fian yang akhirnya mengajari kami untuk selalu berusaha bersikap lemah lembut semampu kami.
Karena ketika Fian mulai meniru, saat itulah kami sekeluarga bisa berkaca, bagaimana kualitas pengendalian diri dan pemilihan kata-kata kami saat ini, dan belajar memperbaikinya agar tidak membuat Fian menjadi anak yang bertuturkata kasar dan penuh emosi :)
Jakarta, 12 April 2010
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar