Rabu, 28 November 2012

Tentang Pencerahan...



Kerusuhan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa tenangnya perdamaian
Kecemasan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa berharganya rasa aman

Ketakutan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa hebatnya keberanian
Kesakitan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa mahalnya kesehatan

Kegelapan adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa pentingnya penerangan
Kedinginan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa nyamannya kehangatan

Ketidaktahuan adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa tingginya ilmu pengetahuan
Kealpaan adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa utamanya sebuah catatan

Kesendirian adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa hangatnya persahabatan
Kesunyian adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa merdunya suara keramaian

Pengabaian adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa perlunya kepedulian
Kesepian adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa berartinya sebuah kehadiran

Keputusasaan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa kuatnya kemauan
Kepergian adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa manisnya kerinduan

Perpisahan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa indahnya kebersamaan
Kematian adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa bernilainya kehidupan

Di tengah kesibukan aku menganalisa perilaku insan
Dan akhirnya yang muncul hanya sebentuk pertanyaan
Apakah kita harus mengalami yang terburuk dalam kehidupan
baru kita mampu bersyukur atas segala anugerah Tuhan?

Jakarta, 28 November 2012
Yeni Suryasusanti

Selasa, 27 November 2012

Cerita Tentang Seorang Wanita...




Hari ini seorang sahabat bercerita
tentang wanita yang sedang pilu hatinya
karena kekasihnya memutuskan cinta
ketika sudah sampai tahap perkenalan kedua keluarga

Alih-alih marah dan merasa terhina
sang wanita malah sibuk mengasihani dirinya
ia berkata memang wajahnya tidak cantik mempesona
hingga wajar jika tidak ada yang ingin bersanding dengannya

Ingin saya katakan kepada mereka
bahwa wajah mempesona bukan pertanda penikahan pasti bahagia
ingin saya teriakkan kepada dunia
bahwa wajah cantik bercahaya tidak memastikan jalan menuju surga

Ya Allah,
Kemana kah perginya harga diri?
Mengapa kepergian kekasih karena alasan duniawi 
bisa membuat wanita terpuruk mengasihani diri?

Ya Allah,
Kemana kah perginya rasa syukur? 
Mengapa hanya karena merasa tidak cantik berpupur
bisa membuat wanita jatuh tersungkur?

Ya Allah,
Kemana kah perginya rasa percaya?
Mengapa sulit meyakini Allah ciptakan manusia
sebagai makhluk paling sempurna?

Dan akhirnya, saya berkata kepada sang pembawa cerita
bahwa segalanya berpulang kepada diri kita
tentang penghargaan diri maupun tentang cinta
karena semua harus timbal balik adanya...

Jakarta, 27 November 2012
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 24 November 2012

Tentang Curhat :)



"Yen, gue mau curhat..." demikian beberapa sahabat sesekali berkata untuk mengawali cerita hidupnya.
"Sorry, kalo mau sekedar curhat, jangan sama gue deh, gue nggak ada waktu kalau hanya sekedar jadi tong sampah," jawab saya tegas.
Raut wajah sahabat saya itu kontan berubah. Rasa tersinggung, kecewa bahkan marah terlihat bercampur jadi satu pada ekspresi wajahnya.
"Tapiiiiii, kalau loe niatnya untuk mencari solusi, Insya Allah gue mau luangkan waktu untuk membantu..." demikian lanjut saya sambil tersenyum :D

Curhat adalah curahan hati. Dan segala sesuatu yang tercurah dari hati biasanya berpotensi menuai rasa empati dari hati pula. 
Bertahun-tahun lalu, saya belajar hal ini dari mentor Paskibra saya.
Ketika saya masih menjadi orang yang labil, ketika beberapa masalah berat dalam kehidupan saya membuat saya "galau", saya datang kepada beliau untuk bercerita, untuk membagi beban.
Kami selalu duduk berhadapan dengan dihalangi sebuah meja, seperti konsultasi dengan guru pembimbing layaknya. Beliau akan mendengarkan cerita saya hingga selesai, hanya sesekali menyela ketika perlu lebih memahami masalah yang ada. Jika saya - dalam waktu yang sangat jarang terjadi - sampai menitikkan air mata, beliau akan bangkit dan mengambil sekotak tissue dan meletakkannya di depan saya, tanpa memberikan sentuhan sedikitpun meski sekedar untuk menegaskan empati.
Setelah selesai saya bercerita, barulah kami membahas segala kemungkinan untuk memecahkan masalah saya.

Seorang mentor yang baik, tidak akan membuat anak didiknya tergantung secara permanen kepada dirinya. Dia akan membuat anak didiknya perlahan-lahan mandiri, dengan sedikit demi sedikit menumbuhkan kepercayaan diri dan sesekali menjauh dengan tidak selalu bisa meluangkan waktu untuk berkonsultasi.

Itulah yang terjadi pada diri saya.
Setelah menanamkan kepercayaan diri dan mengingatkan keterbatasan manusia dalam mendampingi, beliau mengingatkan saya bahwa hanya Allah yang bisa menyediakan waktu 24 jam seumur hidup kepada manusia.
"Curhat itu bisa menimbulkan ketergantungan. Karena itu curhat hanya boleh dilakukan kepada Allah, sambil meminta bimbingan untuk penyelesaian masalah. Kepada manusia, jangan curhat, tapi sharing pengalaman demi manfaat atau mencari solusi, karena pertolongan Allah dalam menyelesaikan suatu masalah bukan hanya muncul dalam bentuk ilham, namun terkadang muncul dalam bentuk pencerahan dari orang-orang yang ada di sekitar kita," demikian tutur mentor saya.

Karena "Curhat" bisa menimbulkan ketergantungan, saya sebisa mungkin berusaha menghindarinya. 
Kenapa? Karena manusia seharusnya hanya bergantung kepada Allah, bukan kepada selain-Nya termasuk manusia :)

Jadi teman, ketika saya memiliki masalah dan merasa perlu curhat, saya akan melakukan curhat pertama kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya.
Setelah itu barulah saya menjalankan ikhtiar dengan segala daya upaya untuk memecahkan masalah saya, salah satunya bisa dengan 
cara berkonsultasi kepada orang-orang terdekat yang lebih berpengalaman daripada saya bahkan kepada ahli untuk mendapatkan solusi yang sebenarnya juga merupakan jalan pertolongan dari Allah semata.

Alhamdulillah, dengan cara tersebut selama ini saya membuktikan salah satu dari sekian banyak kasih sayang Allah kepada saya :)

Jakarta, 24 November 2012
Yeni Suryasusanti

Kamis, 18 Oktober 2012

Tentang Bahasa Gaul, Iklan dan Pembuat Soal Ujian


Notes ini pendek saja, karena saya sebenarnya sedang tidak punya waktu untuk menulis, tapi ada topik yang membuat hati saya tergelitik :)

Pertama kali mendapat foto ini dari group BBM SD Bhakti, kumpulan Ibu-Ibu sekolah Ifan :D
Saya share ke beberapa group lain dan ke beberapa teman juga.
Ada yang tertawa, tapi ada juga yang memberi berbagai komentar, diantaranya :
"Beneran nih? Kalau kaya gini pemerintahnya kemana ya? Harus bilang wow gitu he... he... he..."
"Pemerintah paling bilang, 'Masalah buat loe?'"
"Ini betulan? Pelajaran apa? Pasti penulisnya gaolllll banget deh... :D"
"Anak pinterrrrrr..."
"Hehehe... Up to date n Gaullll abiezzzzz..."
"Hehehe.... sekarang saya pun berkata W O W..."
"Yang bikin soal kreatip yaaaa??? Sayangnya bukan eikehhhh..."
"Wah... bisa 100 nih anak2 gue hihihi...."
Dan seperti umumnya sebuah materi yang dipublikasikan, maka muncul dua pendapat : pro dan kontra.

Dengan niat menjajaki dan menambah wawasan bersama, saya mengirimkan gambar ini juga kepada 2 orang adik didik saya : Debby Cintya dan Dewi Damayanti 'maya'. Keduanya belum menikah.
Seperti dugaan saya, awalnya respon keduanya cenderung negatif :D
"OMG... hal-hal yang kurang santun malah tambah 'dipopulerkan' ya. Kalau itu sampe muncul di soal ujian, means dunia pendidikan kita sekarang ikut-ikutan juga 'mengaccept' trend yg seperti itu..." demikian reaksi pertama Debby.
Maya lain lagi reaksinya, "Hahahaha.... kocak. Itu beneran soal mbak? Kayak nggak bisa pake pertanyaan yang lain aja."

Reaksi Debby dan Maya inilah yang membuat saya menulis notes ini.
Kedua adik didik saya ini sejak pembinaan ketika menjadi pasukan di Paskibra 78 hingga sekarang terdidik menjadi pribadi yang terbuka, berwawasan cukup luas, diajari untuk tidak hanya melihat satu sudut pandang saja.
Bagi saya, untuk masalah ini mereka menjadi tolak ukur reaksi atas sebuah penerimaan informasi.
Jika mereka saja bereaksi  negatif awalnya, maka banyak orang juga akan demikian.
Terbukti dari komentar di atas, dari penilaian saya, hanya satu komentar yang positif : "Yang bikin soal kreatip yaaaa??? Sayangnya bukan eikehhhh..."
Yang lainnya? Hanya reaksi negatif atau menganggap hanya sebagai lucu-lucuan saja.

Menanggapi jawaban Debby dan Maya pada room BBM kami, saya mulai membuka ruang diskusi seperti biasanya :)
"Satu sisi begitu Deb, tapi ada sisi baiknya. Mereka mau membuat anak-anak 'aware' kalau kata-kata itu nggak bagus karena menggambarkan karakter nggak pedulian."
"Ilmu jadi lebih 'masuk' ya mbak?" Debby mulai bereaksi positif.
"Finally, soal itu meminta anak-anak menganalisa dan pada saatnya memutuskan akan menjadi orang yang bagaimana..." saya melanjutkan.
"Yup, setuju juga mbak. However dengan sistem pendidikan sekarang yang saya amati makin mengkarbit dan instan (kurang membangun pondasi pemahaman), saya cuma khawatir kalau yang ditangkap sama anak-anak itu adalah 'Ihhh soalnya gaol abiss' rather than menangkap message 'apa itu peduli dan apa itu tidak peduli'... Debby mulai mengungkapkan jalan pikirannya seperti biasa setiap kali saya memicunya :)
"Mbak ingat kan mbak sempat harus membantu Ifan memahami definisi kata-kata yang terdapat di buku paketnya karena Ifan nggak mendapatkan itu di sekolah? Saya pun sempat melakukan hal yang sama ke Hazel (keponakan Debby)..." lanjut Debby.
"Iya, itulah tugas orangtua di rumah SEHARUSNYA..." tegas saya, "Tapi ya tau sendiri kenyataannya..."
Debby menutup diskusi kami dengan kata-kata, "Jadi prihatin dengan anak-anak yang tidak memiliki sistem support di rumah yang membantu untuk membangun pondasi dan jembatan berpikir itu..."

Setelah diskusi itu, saya pun berpikir.
Ya, soal ini memang ibarat pisau bermata dua : Semakin populernya kata-kata tersebut dan diikuti oleh hampir setiap ABG bahkan orang dewasa, sehingga manusia tidak lagi mengikuti aturan "Berbicaralah yang baik atau diam", atau kesadaran bahwa kata-kata tersebut mengindikasikan sikap tidak peduli sehingga tidak perlu diikuti.


Di Wikiquote dijelaskan mengenai sebuah kutipan yang mungkin sudah terlupakan oleh banyak orang :


Bahasa menunjukkan bangsa
  1. Tabiat seseorang dapat dilihat dari cara bertutur kata mereka
  2. Kesopansantunan seseorang menunjukkan asal keluarganya
  3. Bahasa yang sempurna menunjukkan peradaban yang tinggi dari bangsa pemilik bahasa tersebut.

Dunia pendidikan memang rentan dengan kecaman, entah itu dengan maksud menjatuhkan ataupun berupa kritik dengan niat baik untuk membangun.
Namun seringkali saya justru merasa heran.
Mengapa dunia periklanan yang mempopulerkan komentar ini untuk segala kalangan - baik pelajar maupun profesional - hanya demi rating sebuah iklan dan meningkatkan penjualan tanpa memikirkan efek negatifnya justru tidak dikecam?
Namun, ketika dunia pendidikan mengangkat masalah ini, muncullah berbagai kecaman.

Pendidikan memang sebaiknya memiliki "satu paket" antara pengajaran untuk pemahaman dan ujian.
Jika kita belum mampu untuk mengubah sistemnya, mungkin sudah waktunya kita berhenti hanya sekedar menyalahkan, dan mulai melakukan tindakan yang mendukung ke arah penyempurnaan.
Seperti soal ujian ini - terlepas dari apakah soal ini benar ada atau hanya hasil rekayasa sang pembuat foto pertama - saya yakin sang pembuat soal dan sang pengirim foto berniat baik mengangkat hal ini.
Soal ini menunjukkan bahwa sang pembuat soal peka dengan gejala lingkungan dan berusaha meluruskannya jika terjadi indikasi penyimpangan.
Saya tidak mengetahui apakah materi ini pernah dibahas di kelas anak-anak, mengenai kesan-kesan akan karakter seseorang dari bahasa yang dipilihnya. Jika memang dibahas, WOW sungguh luar biasa :)
Namun jika belum, maka menurut saya sudah menjadi tugas kita sebagai orangtua, keluarga, sahabat bahkan teman untuk saling mengingatkan akan kebaikan.

Jakarta, 18 Oktober 2012
Yeni Suryasusanti

Kamis, 11 Oktober 2012

14th Pernikahan Kami : Ketika Mencintai dan Memahami Saja Ternyata Belum Cukup :)


Tiga hari yang lalu, Ifan mengalami musibah.
Seperti layaknya anak laki-laki usia jelang 12 tahun, dia seringkali berlari-lari di tangga sekolahnya. Kecelakaan terjadi, Ifan tersandung dan hampir jatuh. Refleks membuat tangannya teracung secara otomatis untuk menahan benturan badan ke lantai. Akibatnya, pergelangan tangan kiri Ifan terkilir ringan, atau mungkin lebih tepatnya ototnya sedikit ketarik. Ifan di bawa ke UKS untuk sekedar di urut.

Malam itu, saya baru tiba di rumah pk. 20.30 WIB.
Mendapat berita Ifan sedikit terkilir. Saya ragu untuk membawa Ifan ke tukang urut yang biasa kami gunakan jasanya dalam kondisi waktu semalam itu untuk kasus yang tidak terlalu gawat darurat. Beliau sudah sangat sepuh usianya, kasihan jika kita tiba di rumahnya mengakibatkan tidurnya terganggu. Karena itu, saya segera menghubungi suami saya yang ketika itu belum tiba di rumah, untuk menceritakan kondisi Ifan dan keraguan saya.
Setelah bertanya lebih detail tentang pergelangan tangan kiri Ifan dan memberitahu saya cara-cara yang harus dilakukan untuk meringankan cedera otot yang Ifan derita, kami memutuskan untuk berdiskusi lebih lanjut setelah suami saya tiba di rumah saja.

Hari itu adalah hari yang cukup melelahkan buat saya di kantor. Apalagi supervisor Finance sedang cuti melahirkan, hingga setiap orang di divisi kami mendapat bagian dari beban kerja harus tetap diselesaikan. Hal ini membuat saya tidak dalam kondisi puncak dalam segi emosional (=kesabaran) untuk berdiskusi.

Berikut ini percakapan saya bersama suami malam itu :
"Kita bawa Ifan besok pagi aja ke mbok Saminah ya..." kata suami saya.
"Waduh, Bunda besok pagi ada meeting penting Yah, sedang nggak bisa izin terlambat datang ke kantor. Ifan sih bisa izin terlambat masuk sekolah, kan sekolahnya tau dia terkilir." jawab saya.
"Kalau gitu kapan Bunda bisanya?" suami saya bertanya.
"Gimana kalau Ayah aja yang nemenin Ifan ke mbok Saminah besok pagi? Kan kata ayah sebaiknya jangan ditunda-tunda..." demikian saya mengusulkan.
"Mmmmm.... Sama Bunda juga aja..." jawab suami mulai terlihat tidak nyaman.
"Iya, maunya juga gitu Yah, tapi kalau besok pagi Bunda sedang nggak bisa..." saya mulai kesal.
"Tapi Ayah nggak tau rumah mbok Saminah..." demikian suami menyampaikan alasan.
"Lho, kan selama ini Ayah selalu ngantar sampai depan gang kalo Bunda bawa Fian urut?" suara saya mulai meninggi.
"Iya sih, tapi Ayah nggak tau yang mana rumahnya..." suami saya mengulang dan bertahan.
"Ya udah deh, kalau besok sore Ayah bisa pulang cepat nggak? Bunda usahain pulang cepat deh biar bisa bawa Ifan urut..." akhirnya dengan sedikit kesal saya memberikan alternatif lain.
"Bisa, Bun..." jawab suami saya segera.

Terus terang, malam itu saya sempat sedikit kesal. Saya menganggap alasan suami saya sangat tidak masuk akal.
"Tidak tahu persis yang mana rumah mbok Saminah" bagi saya bukan alasan yang kuat untuk enggan mengantar Ifan segera tanpa saya.
Lah, bukankah Allah sudah menganugerahkan kita mulut dan lidah untuk berbicara dan bertanya? Apa susahnya? Kenapa sih suami saya nggak mau mengambil peran dan sedikit mempermudah saya? Bukankah Ifan adalah anak kami berdua dan bukan hanya anak saya?

Malam itu dalam keadaan lelah saya mengambil kesimpulan cepat : 
Suami saya tidak bersedia membantu saya agar tetap bisa menjalankan tanggung jawab kerja dengan mengambil peran menemani Ifan ke tukang urut. Dia ingin kami berdua terlibat mengurus hal ini. Dia ingin saya meletakkan prioritas saya secara kaku di tempat yang seharusnya : pada keluarga.

Namun, keesokan harinya, setelah lelah saya pun sirna, dan saya kembali memiliki kemampuan (dan kemauan) untuk menganalisa segalanya, barulah saya bisa melihat bahwa kesimpulan saya malam itu tidak benar adanya.

Dari beberapa kejadian dalam rumah tangga kami, pernah juga suami menggantikan peran saya ketika saya harus menjalankan tanggung jawab kerja.
Belum lama, baru minggu lalu.
Asisten rumah tangga kami sakit dan tidak bisa masuk kerja.
Hari pertama, saya cuti mendadak akibat hal ini. Pada hari kedua, kami mendapat kabar lagi bahwa sang asisten belum juga sehat. Saya pun bingung, karena otorisasi pembayaran perusahaan harus tetap dijalankan. Sedangkan Supervisor Finance sedang cuti melahirkan sehingga tidak bisa menggantikan otorisasi ini jika saya tidak masuk kantor.
Ketika itu suami saya berkata, "Bunda, berangkat kerja saja dulu, Ayah meetingnya hari ini baru jam 3 siang kog. Biar ayah jaga rumah dan anak-anak. Nanti kalau bisa Bunda izin pulang cepat aja, baru Ayah berangkat."

Dari kejadian diatas sudah pasti tidak benar jika saya mengambil kesimpulan bahwa suami saya adalah tipikal suami yang tidak bersedia bertukar peran sejenak.
Lalu mengapa kali ini dia tidak bersedia? Tentu ada alasannya, pikir saya.
Saya pun mengingat-ingat kejadian selama pernikahan kami, terkait anak-anak yang sakit.
Dan akhirnya saya merasa mengerti alasan dibalik keengganan tersebut.

Dulu, ketika Ifan masih kecil dan takut disuntik sehingga perlu dipegangi setiap kali naik ke meja periksa dokter untuk diimunisasi, suami saya selalu mengambil tempat memegangi badan atas, saya memegang badan tengah atau kakinya.
Ketika punggung Fian terluka akibat air panas dari dispenser dan harus dikuliti kulit mati di punggungnya, suami saya mengambil posisi kaki untuk dipegangi, sementara saya mengambil posisi memegang bagian atas (tangan dan kepala).
Namun pengalaman yang paling jelas menunjukkan alasan keenganan menemani Ifan ke tukang urut tanpa saya adalah ketika putri kami, Nada Salsabila Hafizah (almarhumah) dirawat di rumah sakit beberapa hari sebelum berpulangnya ke rahmatullah.
Saat itu suster meminta bantuan salah seorang dari kami untuk memegangi Nada agar suster bisa memindahkan posisi jarum infus yang sudah bergeser sehingga tetesan infus terhenti. 
Ketika itu saya bertanya, "Ayah bisa bantu suster?"
Suami saya menjawab seketika, "Nggak sanggup Bun, Ayah nggak tega."
Dan akhirnya saya yang membantu mendampingi suster yang menusuk tempat jarum infus yang baru di tangan Nada.

Ya, setelah saya konfirmasi kepada suami saya tadi malam, dugaan saya ternyata benar :)
Suami saya menolak menemani Ifan tanpa saya bukan karena tidak mau membantu saya menjalankan tanggung jawab profesi saya, bukan pula karena tuntutan seorang suami yang ingin istrinya mendahulukan keluarga diatas segalanya, melainkan karena hal yang sangat sederhana : suami saya tidak tega melihat dan mendengar Ifan menjerit kesakitan ketika nanti diurut tangannya yang mengalami cedera otot tersebut.

Duh, ternyata di balik postur tubuhnya yang besar tinggi dan sikapnya yang cenderung mudah emosi, memang suami saya itulah yang pantas mendapat sebutan si lembut hati dibandingkan saya sendiri :D

Dari kejadian jelang hari ulang tahun pernikahan kami yang ke 14th ini, saya belajar bahwa terkadang mencintai dan memahami saja belum cukup. Kita tetap harus berdoa kepada Allah agar Dia selalu memberikan kesabaran dan kebersihan hati kepada kita.
Konflik tetap saja bisa terjadi karena dalam kasus tertentu terkadang pemahaman tidak terjadi seketika, tapi membutuhkan waktu untuk menganalisa segalanya.
Namun, dengan cinta dan pemahaman kita atas diri belahan jiwa, kita akan mau berusaha dan belajar untuk mengatasi setiap konflik yang terjadi agar rumah tangga kita terselamatkan dari masalah yang lebih besar lagi. 
Hingga kita tetap bisa bahagia bersama belahan jiwa, sampai masa tua kita, sampai kita kelak menutup mata.

Dibawah ini saya kutipkan beberapa mitos dalam pernikahan dan fakta yang ada dibaliknya :


1. Anak akan menyelamatkan pernikahan
Selama ini anak dianggap sebagai perekat renggangnya hubungan Anda dan suami. Padahal banyak pasangan yang tak menyangka, bahwa dengan hadirnya seorang anak, maka tingkat stress dalam pernikahan pun bertambah. Tak hanya harus menyelesaikan masalah dengan pasangan, Anda pun juga harus fokus menjaga anak. Jadi jangan pernah jadikan anak sebagai alat perekat hubungan. Jika memang Anda menginginkan anak, itu karena Anda dan pasangan sudah siap untuk menjadi orang tua yang baik.
2. Menikah membuat Anda 'lengkap'
Menikah memang merupakan komitmen bersama. Pasangan yang baik tidak saling mendominasi, melainkan melengkapi. Namun bukan berarti Anda tidak berusaha 'melengkapi' diri sendiri. Anda tetap harus memiliki kekuatan pribadi. Jika bersama pasangan, Anda bisa menjadi sangat kuat, namun bukan berarti Anda tidak mampu berdiri dengan kekuatan sendiri.
3. Pasangan harus mengerti pikiran Anda, tanpa harus diucapkan
Mitos ini jelas salah. Ingat dan tanamkan pada diri Anda, bahwa pasangan bukanlah paranormal yang bisa membaca pikiran. Jika ia tak bisa membaca pikiran Anda, bukan berarti pula perasaan sayangnya pada Anda tidak kuat. Walaupun Anda telah bersama selama puluhan tahun, bukan berarti Anda bisa saling membaca pikiran setiap saat. 
4. Harus selalu merasa jatuh cinta
Oke, hal tersebut hanya ada di kisah dongeng. Di dunia nyata, tidak ada pernikahan yang berjalan mulus tanpa adanya hambatan dan itu adalah hal yang wajar. Kemarahan dan kekecewaan pada pasangan bukanlah berarti akhir dari pernikahan Anda. Justru saat Anda berdua dapat melewati masalah itu, rasa cinta yang dirasa lebih besar dan kuat. 
5. Cinta mengalahkan segalanya
Sekali lagi, kutipan-kutipan ini sering ada di cerita dongeng yang romantis. Namun perlu diketahui, rasa cinta pun bisa pupus seiring dengan berjalannya waktu. Anda tak akan bisa terus mengandalkan rasa cinta, tanpa menjaganya. Kemampuan untuk berkomunikasi yang baik, saling pengertian dan rasa percaya adalah salah satu cara untuk menjaga cinta Anda. 
6. Pernikahan yang baik biasanya berjalan tanpa masalah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tak akan mungkin pernikahan berjalan tanpa satu masalah. Yang justru harus dicermati adalah, bagaimana kemampuan kita untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. 
7. Pernikahan membuat Anda bahagia
Sesungguhnya Andalah yang dapat mengontrol kebahagiaan. Bukan pernikahan yang membuat Anda bahagia, namun diri sendiri. Jika memang Anda selalu bersikap positif dalam menyikapi pernikahan, otomatis kebahagiaan akan terus Anda rasakan.


Jelang penutup tulisan ini, saya share kutipan yang saya sukai :
Hanya baja yang liat akan tahan menembus api. Pernikahan yang berhasil bukanlah pernikahan yang tanpa masalah, melainkan pernikahan yang bisa bertahan meskipun menghadapi masalah dan mampu menyelesaikan masalah tersebut.

Dan akhirnya... untuk sang belahan jiwa - Ahmad Fahly Riza - saya ucapkan terima kasih telah menyayangi kami semua secara luar biasa.
Happy our 14th anniversary, Cinta :)

Jakarta, 11 Oktober 2012
Yeni Suryasusanti

Jumat, 14 September 2012

Tentang Organisasi dan Piramida Perusahaan


Mengenang kembali pembelajaran saya ketika sekolah di SMA dan kuliah di Perguruan Tinggi, saya merasa sangat beruntung memiliki 2 orang terdekat yang mengajari saya banyak hal tentang organisasi : Mentor Paskibra saya dan Papa saya sendiri yang ketika itu memimpin sebuah Lembaga di Pemerintahan.
Dari beliau berdua saya mendapatkan banyak teori dan contoh-contoh praktek tentang kegagalan dan keberhasilan orang-orang yang berkecimpung dalam sebuah organinasi.

Perusahaan pada dasarnya menyerupai Organisasi.
Kata kunci keberhasilannya adalah Team Work.
Seperti gambar diatas, seorang pimpinan tertinggi di sebuah Perusahaan dan Organisasi tidak akan berhasil duduk dengan kokoh dan nyaman jika orang-orang yang berada dibawahnya tidak bisa melaksanakan tugas mereka dengan baik.
Pemilihan orang-orang yang tepat adalah kata kuncinya.

Lini bawah adalah karyawan biasa dalam perusahaan atau staff sebuah organisasi.
Untuk memilih karyawan atau staff yang akan bisa bekerja dengan baik tentu memerlukan kriteria yang tidak sedikit. Namun, yang paling dibutuhkan agar karyawan atau staff tidak menjadi "beban" bagi yang lain adalah : Keahlian di bidangnya disamping memiliki etos kerja yang baik.
Seorang staff keuangan akan dipilih karena penguasaannya akan ilmu keuangan. Seorang staff IT akan dipilih karena penguasaannya tentang teknologi yang butuhkan perusahaan. Seorang staff sales akan dipilih karena kemampuannya untuk menjual. Seorang staff general affair akan dipilih karena kemampuannya untuk multitasking dan mengurus banyak hal. Seorang staff HRD akan dipilih karena kemampuannya memahami psikologi karyawan lain. Dan seterusnya.
Kemampuan ini ditemukan pada banyak orang. Karena itu pula, penghargaan atas lini ini relatif rendah, termasuk dari sisi imbalannya.
Meskipun demikian, seorang pimpinan perusahaan tidak akan mempertahankan seorang karyawan meskipun dia memiliki keahlian yang tinggi jika dia tidak memiliki etos kerja yang baik.
Alasannya sederhana : etos kerja yang buruk itu seperti penyakit yang disebabkan oleh virus, mudah menular.
Seorang staff yang memiliki keahlian yang tinggi namun memiliki etos kerja yang buruk tidak akan bisa bersama-sama memajukan perusahaan, apalagi jika dia menularkan etos kerja yang buruk tersebut kepada staff lain.

Lini tengah adalah pemimpin divisi (manager) di perusahaan atau kepala bidang/seksi di organisasi.
Saya pribadi menyebut lini ini kursi panas.
Mengapa? Karena lini ini terjepit antara lini bawah, sesama lini tengah dan lini atas.
Dengan demikian orang yang tidak tahan panasnya persaingan, tidak tangguh dan tahan tekanan akan dengan mudah terpental, dan menyisakan kursi kosong untuk kembali ditawarkan.

Papa saya pernah berkata, "Seorang manager yang baik adalah seseorang yang memiliki kemampuan 3 Ko : Komunikasi ke bawah, Koordinasi ke samping dan Konsultasi ke atas, disamping harus memiliki  kemampuan  belajar yang tinggi."

Sepanjang masa kerja saya, saya membuktikan bahwa kata-kata Papa saya itu benar.
3 Ko mutlak dimiliki oleh seorang manager jika ingin berhasil, disamping harus memiliki  kemampuan  belajar yang tinggi.
Seseorang yang belum pernah menduduki posisi managerial mungkin akan tidak setuju, menganggap keahlian di bidangnya adalah segala-galanya.
Namun saya melihat sendiri bagaimana orang yang memiliki keahlian di bidangnya namun tidak memiliki kemampuan 3 Ko, dalam waktu yang tidak lama dicopot atau dimutasi dari jabatannya.
Dan bagaimana seseorang yang memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi meskipun tidak memiliki keahlian di bidangnya mampu bertahan dengan baik dalam kurun waktu yang cukup lama.

Idealnya, seseorang yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko merupakan manager yang terbaik. Karena dia tidak akan terlalu rentan dengan staff yang mungkin saja mengundurkan diri. Dia akan selalu bisa melakukan training kepada staff baru karena dia menguasai keahlian di bidangnya.
Namun seperti segala sesuatu yang ada di dunia, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa sangat jarang sesuatu yang mendekati kesempurnaan itu muncul.
Demikian juga manager yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko. Jarang, meskipun bukan berarti tidak ada. 
Maka dari itu ketika manager seperti itu muncul, biasanya dia akan menuntut bayaran yang cenderung tinggi.
Disinilah kemampuan keuangan perusahaan tercermin.
Perusahaan yang memiliki modal yang sangat besar, bisa menghire manager yang mahal.
Perusahaan yang memiliki modal yang terbatas, akan menghire manager sesuai dengan kemampuan keuangannya dan harus mendidiknya agar menjadi manager yang handal.

Dari apa yang saya lihat, ketika seorang manager memiliki keahlian di bidangnya namun tidak memiliki kemampuan 3 Ko, dia akan gagal.
Kegagalan pertama adalah komunikasi dengan bawahan, karena dia tidak bisa melakukan komunikasi efektif untuk menghimpun staff-nya menjadi sebuah team work yang solid, yang pada akhirnya tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan maksimal. 
Kegagalan kedua adalah koordinasi dengan sesama manager, karena seorang manager saja tidak bisa mendukung kemajuan perusahaan secara total. Perusahaan bisa maju jika memiliki  para manager yang bisa saling bekerja sama bahu-membahu demi tercapainya tujuan perusahaan.
Kegagalan ketiga adalah konsultasi dengan atasan, karena dia tidak bisa memahami petunjuk atasan dan mengaplikasikannya dalam kerja nyata staff-nya.

Dari apa yang saya saksikan juga, ketika seorang manager tidak memiliki keahlian di bidangnya namun memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi akan bisa cukup berhasil.
Keberhasilan pertama adalah komunikasi dengan bawahan, membuat dia bisa membentuk team work yang solid dan bersedia mengerjakan tugas-tugas perusahaan dengan sepenuh hati, yang pada akhirnya akan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan maksimal.
Keberhasilan kedua adalah koordinasi dengan sesama manager, sehingga bersama-sama dengan para manager lain bekerja sama bahu-membahu mendukung perusahaan agar mencapai tujuannya.
Keberhasilan ketiga adalah konsultasi dengan atasan, karena dia bisa memahami petunjuk dan ilmu dari atasannya yang memiliki wawasan lebih luas untuk diterapkan dalam kerja nyata para staff-nya.

Saya melihat keberhasilan ini pada diri mantan Deputi GM saya, Endah Ratnawati.
Ketika posisi GM kosong, beliau yang sebelumnya menjabat sebagai Manager Accounting diangkat menjadi Deputi GM Finance Accounting.
Beliau adalah orang yang memiliki 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi.
Untuk memimpin Divisi Accounting dimana beliau memang memiliki ilmunya dan memiliki 3 Ko, tentu tidak sulit karena beliau juga menguasai bidang accounting. Pergantian staff accounting tidak akan terlalu menjadi masalah baginya.
Namun, ketika beliau pertama kali menjabat sebagai Deputi GM Finance Accounting, beliau belum menguasai masalah-masalah finance secara mendalam. Tentunya beliau akan menjadi rentan dengan pergantian staff di Finance.
Dengan kemampuan komunikasi ke bawahan dan dan kemampuan belajar yang tinggi beliau akhirnya berhasil memimpin kami. Beliau menghimpun saya dan staff finance lainnya menjadi sebuah team work yang solid, dan belajar dengan cepat dari kasus-kasus yang selalu kami laporkan kepadanya sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama beliau juga menjadi ahli di bidang Finance.

Dari apa yang saya lihat pula, seorang puncak pimpinan perusahaan menetapkan kriteria lain yang tak kalah pentingnya pada orang-orang yang akan mengisi jabatan managerial : Loyalitas.
Beliau akan memilih orang yang loyal, yang menjamin kelangsungan sistem kerja perusahaan terpelihara untuk jangka waktu yang cukup lama agar tujuan perusahaan bisa tercapai.
Karena turn over di posisi managerial cenderung berbanding lurus dengan kestabilan sebuah perusahaan.
Jadi, seseorang yang meskipun memiliki keahlian di bidangnya, memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi, namun tidak memiliki loyalitas tentu tidak akan pernah terpilih. 
Kenapa? Jawabannya sangat sederhana, untuk apa memilih orang yang akan segera memutuskan untuk memindahkan kesetiaan kepada perusahaan lain ketika nilai uang yang mungkin tidak seberapa tinggi selisihnya dilambaikan di depan matanya.
Karena mencari pengganti seorang manager akan memakan waktu dan biaya yang tidak kecil, dan hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian perusahaan.

Tulisan ini saya persembahkan terutama kepada teman-teman yang saat ini masih berada di lini bawah :)

Alhamdulillah jika saat ini teman-teman telah memiliki seorang manager yang ideal, yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko.
Namun ketika manager ideal tersebut tidak ada, dan yang terpilih adalah seorang manager yang memiliki 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi tanpa keahlian terlalu mendalam di bidangnya, yang bisa teman-teman lakukan adalah mendukungnya.
Karena tanpa dukungan team work yang solid, seorang manager yang tidak ideal ini tidak akan mampu bertahan.
Kosongnya posisi puncak pada sebuah divisi yang bertugas mengkoordinir pekerjaan akan membuat perusahaan berjalan dengan timpang.
Hasil akhirnya perusahaan gagal mencapai kemajuan, dan untuk tetap bertahan harus memangkas berbagai biaya, salah satunya : biaya tenaga kerja.
Dengan kata lain : PHK.
Kesimpulannya, dukungan staff yang berada di lini bawah kepada managernya pada akhirnya akan menyelamatkan kelangsungan pekerjaan staff itu sendiri.

Kepada teman-teman manager yang merupakan seorang manager yang ideal, yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko dan loyalitas, saya ucapkan "Selamat". Anda adalah anugrah bagi lini bawah, lini tengah dan lini atas. Dengan kata lain, anda adalah aset berharga bagi perusahaan.

Dan kepada teman-teman manager yang memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi meskipun tidak memiliki keahlian di bidangnya, saya ucapkan "Semangaaattttt!!!"
Semoga tulisan ini akan bisa menggugah kesadaran staff anda untuk mendukung anda agar menjadi manager yang berhasil :)

Akhirnya, kepada teman-teman manager yang pernah mengalami kegagalan, saya ucapkan, "Jangan putus asa!!!"
Semoga tulisan ini bisa menjadi salah satu referensi untuk melakukan introspeksi diri dan memperkaya ilmu sehingga kelak bisa berhasil di lain waktu :)

Jakarta, 14 September 2012
Yeni Suryasusanti
Bukan seorang ahli manajemen apalagi pimpinan perusahaan, melainkan hanya baut kecil dalam sebuah mesin bernama perusahaan yang senang mengamati dan belajar dari hasil pengamatan :D

Selasa, 04 September 2012

Tentang Cinta : Ketika Bibir Terluka :)


Fian yang luar biasa aktif memang cukup sering menjadi pemicu terjadinya berbagai kecelakaan kecil di rumah kami :D

Kali ini terjadi ketika saya hendak membantunya mengenakan celana panjangnya jelang pergi ke undangan pernikahan keluarga.
Seperti biasa, Fian dengan bersemangat sesekali meloncat-loncat.
Tapi kali ini, saya terlambat melakukan antisipasi dengan memberi peringatan sebelum membungkuk.

Dug!!!
Puncak kepala Fian 
yang sedang naik karena meloncat bertabrakan dengan bibir saya.
Refleks saya menjerit sambil mengucap istighfar.
Pandangan saya langsung terasa berkunang-kunang dan rasa asin langsung memenuhi mulut saya.
Saya terduduk dan meraba bibir saya. Di jari saya langsung terlihat ada darah. Ternyata bibir saya robek cukup lebar, kira-kira sepanjang 1 cm akibat benturan dengan gigi ketika 
bertabrakan  dengan puncak kepala Fian.
Saya memejamkan mata sejenak, mencoba mengatasi denyut di kepala saya dan menutup bibir saya yang terluka dengan tangan.

Fian langsung bereaksi, panik sambil mencoba membuka dekapan jari di bibir saya.
"Bunda nggak apa-apa? Berdarah ya bunda? Tapi bunda nggak apa-apa kan?"
Terlihat dia seolah tidak merasakan sakitnya puncak kepala yang 
bertabrakan  dengan bibir dan gigi saya.
Padahal saya yakin dalam keadaan normal dia pasti akan merasa sangat sakit, bahkan hampir bisa dipastikan akan menangis.

Ifan, yang sedang bermain game di facebook - yang biasanya seolah terpisah dari dunia nyata karena seriusnya hehehe - ternyata juga langsung bereaksi mendengar jeritan saya.
Dia berlari ke kamar, sambil ikut berteriak, "Kenapa, Bunda?"
Melihat bibir saya yang berdarah dan membaca raut 
muka bersalah di wajah adiknya, Ifan sampai mengeluarkan suara menggeram sambil berteriak membentak adiknya.
"FIANNN!!!"

Melihat ketakukan Fian dan kemarahan Ifan, langsung saya memberikan serangkaian instruksi dengan harapan 
bisa mengalihkan kemarahan Ifan serta ketakutan dan kepanikan Fian.
"Ifan, Fiannya nggak sengaja. Ifan bisa tolong ambilkan es batu untuk Bunda? Fian, tolong ambilkan tissue untuk Bunda!"
Tanpa membantah, keduanya segera memenuhi permintaan saya.
Fian tiba lebih dulu dgn selembar tissue. Ketika saya tekan ke bibir, tissue segera ternoda  oleh darah.
Ifan tiba dengan 1 cube es batu. Saya pun bangkit dan berjalan dengan sedikit limbung ke depan washtafel dan kaca, kemudian segera menempelkan es batu tersebut diatas luka. Habis 1 cube es batu, darah masih menetes. Setelah memberikan es cube kedua dan yakin saya sudah lebih baik, Ifan kembali duduk di depan komputer dan melanjutkan permainannya.
Akhirnya habis 2 cube es batu barulah darah di bibir saya berhenti mengalir.

Yang ingin saya bagi kali ini bukanlah penderitaan saya karena bibir yang terluka, melainkan pengamatan saya atas reaksi Ifan dan Fian ketika terjadi kecelakaan ini.

Fian - yang saat ini masih berusia 4 th - ternyata sudah mengenal kekuatan dari rasa empati, meskipun hal ini dilakukan tanpa dia sadari.
Fian berhasil mengabaikan bahkan nyaris tidak merasakan sakit di puncak kepalanya ketika mendengar saya menjerit dan melihat bibir saya berdarah. Dia hanya terlihat sedikit mengusap sebentar puncak kepalanya yang terbentur bibir dan gigi saya, itu pun dilakukannya ketika keadaan saya sudah terlihat lebih baik. Dia tidak 
menangis, apalagi mengeluh.
Setelah darah di bibir saya berhenti saya bertanya kepada Fian apakah puncak kepalanya terasa sakit, Fian hanya menjawab, "Sakit sedikit, tapi nggak apa-apa kog Bun..."

Sedangkan Ifan - yang saat ini jelang usia 12 th - yang biasanya ketika bermain game seolah-olah tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya ternyata bisa keluar dari "dunia game"-nya seketika saat mendengar jeritan kesakitan saya. Dia baru kembali ke "dunia"-nya juga setelah melihat kondisi saya lebih baik.

Di masa kini, sering saya mendengar keluhan para orangtua dan membaca ulasan di berbagai media mengenai tingkat kepedulian anak-anak terhadap lingkungan yang sungguh jauh menurun dibandingkan dengan anak-anak pada masa kecil kita.

Ada anak yang tidak memberikan reaksi ketika melihat orang lain berada dalam kesulitan, ada anak yang tidak memiliki sikap respek kepada orang yang lebih tua.
Ada juga yang membalas "cinta" orangtua yang diwujudkan dalam tuntutan akademis mereka dengan ketidakpedulian, ada juga yang hanya terpaku dengan penderitaannya sendiri dan terisolasi dalam selubung ego mereka dari dunia nyata.

Namun, dari kejadian bibir yang terluka, saya rasa kita bisa menarik kesimpulan yang sama, bahwa ternyata ada kekuatan yang bisa mengatasi itu semua : cinta yang tulus dari dasar hati mereka.

Karena cinta kepada saya, Ifan bereaksi cepat ketika mendengar jeritan saya yang terluka.
Karena cinta kepada saya, Fian berhasil mengabaikan rasa sakit di puncak kepalanya dan malah bergegas menghampiri saya untuk memastikan bahwa saya tidak apa-apa.

Pertanyaan selanjutnya adalah, "Bagaimana kita bisa menumbuhkan cinta di hati mereka?"
Dan jawabannya ternyata sangat sederhana meskipun juga tidak mudah penerapannya : dengan memberikan cinta.
Namun, cinta yang seperti apa?

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk selalu belajar melalui kursus yang merajalela agar "selalu menjadi juara" meski sebagai akibatnya mereka kehilangan masa kanak-kanak mereka yang selayaknya diisi dengan belajar sambil bermain dan bercanda?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ego kita karena ingin menjadi orangtua yang bangga.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk memperhatikan perasaan orangtua namun kita tidak memberikan contoh dengan memperhatikan kakek nenek mereka karena sibuk mengejar harta?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ego kita sebagai pribadi yang lebih mementingkan dunia.

Apakah cinta namanya ketika kita memberikan mereka harta tanpa mengajari mereka bagaimana menghargai perolehannya dan kemampuan untuk mengelolanya?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin perwujudan rasa bersalah kita karena kita seringkali tidak ada disaat mereka mungkin sangat membutuhkan kehadiran kita.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk menjadi pribadi yang halus budi bahasanya, namun ketika kita mengajari mereka justru keluar nada keras dan kata-kata tajam yang menusuk jiwa?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin perasaan berkuasa karena kita merasa memiliki mereka seutuhnya.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka shalat lima waktu dan mengaji setiap hari demi menjadi anak yang shaleh yang bisa mendoakan orangtua agar masuk surga, namun kita sendiri hanya rajin shalat dan mengaji ketika bulan Ramadhan tiba?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ketidakyakinan kita akan cukupnya amal ibadah kita dan rasa takut kita akan api neraka.

Mungkin sudah saatnya kita belajar memberikan cinta tanpa syarat kepada mereka, tanpa tuntutan untuk membalas jasa.
Karena sesungguhnya cinta sejati akan terasa sampai ke hati.

Mungkin sudah saatnya kita menciptakan lingkungan kita menjadi lingkungan yang penuh cinta, dengan mengajarkan mereka berlomba-lomba dalam memberikan kebaikan dan manfaat bagi sesama, dan bukan menjadikan lingkungan kita menjadi lingkungan yang penuh persaingan yang menghalalkan segala cara.

Mungkin sudah saatnya kita secara bersama-sama memulai perubahan di dunia dengan cara yang sangat sederhana : mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, demi diri kita, masa depan anak-anak kita dan akhirnya masa depan Indonesia dan dunia.

Jakarta, 4 September 2012
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 01 September 2012

Tentang Pelajar dan Pengajar


Hampir 20 tahun yang lalu, saya pernah "gagal" melewati sebuah mata kuliah. Saya mendapat nilai D. Meskipun bukan mata kuliah ujian negara sehingga sebenarnya bisa saja jika saya tidak ingin mengulang, saya memutuskan untuk mengulang dan akhirnya berhasil memperbaiki nilai tersebut. Lebih karena penasaran sebenarnya. 

Mengapa?
Alasan pertama, karena sebenarnya saya merasa cukup menyukai ilmu yang diajarkan, tetapi tidak bisa menyelesaikan soal yang diberikan oleh dosen kami dengan cukup baik saat latihan maupun ujian.
Alasan berikutnya, karena kata-kata Papa saya ketika saya menyampaikan kegagalan tersebut.
Ketika itu Papa bertanya, "Kenapa kamu gagal?"
Saya menjawab dengan jujur, "Karena nggak bisa menerapkan ilmu yang diajarkan dalam soal."
Papa menyelidik lebih lanjut, "Berapa persen mahasiswa yang gagal dan mendapat nilai D untuk mata kuliah ini?"
Saya menjawab sesuai kenyataan yang terjadi, "Hampir 80%."
Papa kemudian berkata dengan tegas, "Jika hanya beberapa murid yang mendapat nilai buruk dalam suatu pelajaran, maka murid tersebut yang bodoh. Tapi jika kebanyakan murid mendapat nilai buruk, maka gurunya yang bodoh."
Ketika itu saya tertawa dan berkata, "Kalau bodoh dia nggak bakal jadi guru dong Pa."

Bertahun-tahun kemudian saya akhirnya memahami hal yang tersirat dari ucapan Papa mengenai "murid yang bodoh" atau "guru yang bodoh".
Tentu saja dengan pengertian yang berbeda dan wawasan yang sudah lebih luas, saya pun akhirnya menyadari bahwa tidak ada "murid yang bodoh" pun demikian tidak ada "guru yang bodoh".
Saat itu saya sudah bekerja. Saya memiliki atasan yang luar biasa pintar, lulusan perguruan tinggi luar negeri, lebih sering menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan dan menggunakan berbagai istilah yang sangat teknis dan canggih ketika melakukan training kepada saya.
Dan hasilnya? Saya tidak memahami apa yang harus saya sajikan dalam sebuah laporan  dan menyajikan seluruh data yang saya miliki.
Namun saya tidak menyerah.
Ketika itu saya memiliki seorang senior yang hanya lulusan perguruan tinggi dalam negeri, menggunakan Bahasa Indonesia dalam kesehariannya. Namun dibawah bimbingannya saya berhasil memahami apa yang harus saya sajikan dalam sebuah laporan.
Mengapa?
Tak lain karena senior tersebut mengajari saya dengan metode dan bahasa yang sederhana dan bisa saya pahami.
Dibawah bimbingannya saya belajar, bahwa untuk menyajikan laporan yang tepat guna, saya harus mengetahui dengan jelas kebutuhan pengguna laporan tersebut.
Intinya, saya harus membuat laporan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, bukan hanya menuliskan seluruh data sesuai dengan keinginan saya.

Beberapa hari yang lalu, saya dan seorang rekan membutuhkan beberapa data atas permintaan pimpinan kami.
Mengetahui untuk apa data tersebut dibutuhkan oleh beliau, saya sedikit ikut membantu mengarahkan rekan yang bertugas membuatnya menjadi sebuah laporan. Kebetulan sang pembuat laporan bukan berasal dari divisi yang saya bimbing. Ketika itu, dia terlihat mengerti data apa  saja yang ingin kami munculkan.
Namun keesokan harinya, laporan yang telah jadi dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan kami. Terlalu banyak detail yang tidak perlu muncul, dan belum bisa langsung digunakan dalam sebuah analisa karena masih perlu kalkulasi data lebih lanjut. Menyebut dengan istilah saya, laporan tersebut masih setengah matang (jika tidak ingin disebut sebagai laporan yang masih mentah).
Saya pun kembali mengarahkan, lengkap dengan coret-coretan kolom dan data apa saja yang kami butuhkan. Kami pun meminta dia memperbaiki laporannya.

Atasan sang pembuat laporan - yang juga rekan kerja saya - di ruangan yang terpisah ketika itu memberikan alasan kegagalan hasil laporan tersebut kepada saya.
Dia berkata bahwa sang pembuat laporan gagal mengerti apa-apa saja yang diajarkan olehnya. Dengan kata lain : tidak mampu. Namun, karena pernah bertugas memenuhi laporan lain untuk saya sehingga saya merasa cukup bisa menilai kemampuannya, saya dengan tegas menolak kesimpulan rekan saya tersebut.
Ketika itu dengan spontan saya berkata, "Tidak ada murid yang bodoh. Yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajari. Jika kamu ingin memiliki seorang asisten yang kompeten, hanya ada dua pilihan : memilih orang yang bisa memahami cara kamu mengajar, atau jika tidak bisa maka kamu harus menemukan metode yang tepat untuk mengajarinya."

Tiba-tiba saya teringat pengalaman kegagalan saya di masa kuliah dulu, ketika pernah suatu waktu saya mendapat nilai jelek karena tidak bisa memahami pengajaran dosen saya.
"Dosennya nggak bisa ngajar..." demikian ucapan hampir seluruh mahasiswa di kelas saya, namun dianggap sebagai dalih mahasiswa atas nilai jelek yang diterimanya.
Dan saya pun teringat kesimpulan yang pernah saya ambil bertahun-tahun sebelumnya, bahwa sebenarnya, bukan secara harfiah sang dosen / trainer tidak bisa mengajar, namun sang dosen / trainer tidak menggunakan metode yang tepat dan bisa dipahami oleh mahasiswa / trainee-nya. Hasilnya adalah kegagalan transfer ilmu.

Hari berikutnya, sang pembuat laporan memberikan hasil kerjanya.
Ternyata, ada satu kolom yang telah saya tekankan untuk dimunculkan malah diganti dengan kolom lain.
Dengan kesabaran yang mulai menipis karena laporan tersebut akan saya bawa sebagai bahan analisa internal yang akan saya bahas secara ringkas bersama pimpinan kami sebelum meeting dengan client di luar kantor yang akan berlangsung sebentar lagi, saya bertanya mengapa kolom tersebut tidak dimunculkan. Dan dengan raut wajah yang serba salah dia berkata bahwa menurut atasannya kolom inilah yang perlu ditampilkan.
Dengan nada suara yang cukup tinggi karena nyaris kehilangan kesabaran saya berkata, "Kalau membuat laporan itu, sajikan data sesuai kebutuhan user, bukan sesuai keinginan pembuat laporan...!"
Akhirnya, setelah melakukan perbaikan kilat, meskipun belum terlalu sesuai dengan kebutuhan saya namun cukup mendekati dan secara kasar bisa digunakan sebagai bahan analisa, laporan tersebut tetap saya bawa agar bisa dibahas di perjalanan.

Sepulang saya dari meeting, dalam suasana yang tidak terburu-buru akhirnya saya, rekan kerja saya, dan sang pembuat laporan duduk bersama membahas hal ini. Kami melakukan rekonsiliasi.
Saya menyampaikan dengan jelas apa yang saya butuhkan, yaitu data global untuk menganalisa keuntungan project. Sedangkan  laporan yang dibuat oleh mereka merupakan data detail yang masih perlu dikalkulasikan.
Jalan tengahnya?
Buat laporan data global disertai beberapa catatan untuk saya, sedangkan data detailnya bisa mereka simpan untuk disajikan jika nanti dibutuhkan.
Akhirnya kami mencapai kesepakatan dan saling pengertian untuk masalah ini.

Saat membuat tulisan ini, saya merenung, saya belajar.
Saya belajar, bahwa kesabaran memang sangat diperlukan hampir dalam setiap sisi kehidupan.
Saya belajar, bahwa untuk menjadi seorang guru yang baik dan menghasilkan murid yang kompeten, saya membutuhkan kesabaran, metode yang tepat dan waktu yang cukup.
Saya belajar, bahwa untuk menyelesaikan masalah bersama kita sebaiknya "duduk" bersama dan melakukan komunikasi efektif dengan cara yang baik dan pikiran yang terbuka.
Saya belajar, bahwa ketika saya kehilangan kesabaran, bisa jadi ada orang yang merasa sakit hati atau minimal tersinggung dengan sikap dan kata-kata saya, sehingga saya harus meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada mereka.
Dan terutama saya belajar, bahwa saya masih harus banyak belajar untuk mengendalikan sikap dan kata-kata saya ketika saya kehilangan kesabaran.

Betapa tepatnya deskripsi yang saya gunakan dalam "About Me" untuk menggambarkan diri saya baik di Blog maupun di Facebook : "I am a lifetime learner".
Karena pada kenyataannya, berapa pun usia saya, apa pun jabatan / posisi saya, dimana pun saya berada, saya tetap akan selalu menjadi seorang pelajar seumur hidup saya.
Seorang pelajar yang belajar dari kehidupan.

Jakarta, 1 September 2012
Yeni Suryasusanti