Selasa, 04 September 2012

Tentang Cinta : Ketika Bibir Terluka :)


Fian yang luar biasa aktif memang cukup sering menjadi pemicu terjadinya berbagai kecelakaan kecil di rumah kami :D

Kali ini terjadi ketika saya hendak membantunya mengenakan celana panjangnya jelang pergi ke undangan pernikahan keluarga.
Seperti biasa, Fian dengan bersemangat sesekali meloncat-loncat.
Tapi kali ini, saya terlambat melakukan antisipasi dengan memberi peringatan sebelum membungkuk.

Dug!!!
Puncak kepala Fian 
yang sedang naik karena meloncat bertabrakan dengan bibir saya.
Refleks saya menjerit sambil mengucap istighfar.
Pandangan saya langsung terasa berkunang-kunang dan rasa asin langsung memenuhi mulut saya.
Saya terduduk dan meraba bibir saya. Di jari saya langsung terlihat ada darah. Ternyata bibir saya robek cukup lebar, kira-kira sepanjang 1 cm akibat benturan dengan gigi ketika 
bertabrakan  dengan puncak kepala Fian.
Saya memejamkan mata sejenak, mencoba mengatasi denyut di kepala saya dan menutup bibir saya yang terluka dengan tangan.

Fian langsung bereaksi, panik sambil mencoba membuka dekapan jari di bibir saya.
"Bunda nggak apa-apa? Berdarah ya bunda? Tapi bunda nggak apa-apa kan?"
Terlihat dia seolah tidak merasakan sakitnya puncak kepala yang 
bertabrakan  dengan bibir dan gigi saya.
Padahal saya yakin dalam keadaan normal dia pasti akan merasa sangat sakit, bahkan hampir bisa dipastikan akan menangis.

Ifan, yang sedang bermain game di facebook - yang biasanya seolah terpisah dari dunia nyata karena seriusnya hehehe - ternyata juga langsung bereaksi mendengar jeritan saya.
Dia berlari ke kamar, sambil ikut berteriak, "Kenapa, Bunda?"
Melihat bibir saya yang berdarah dan membaca raut 
muka bersalah di wajah adiknya, Ifan sampai mengeluarkan suara menggeram sambil berteriak membentak adiknya.
"FIANNN!!!"

Melihat ketakukan Fian dan kemarahan Ifan, langsung saya memberikan serangkaian instruksi dengan harapan 
bisa mengalihkan kemarahan Ifan serta ketakutan dan kepanikan Fian.
"Ifan, Fiannya nggak sengaja. Ifan bisa tolong ambilkan es batu untuk Bunda? Fian, tolong ambilkan tissue untuk Bunda!"
Tanpa membantah, keduanya segera memenuhi permintaan saya.
Fian tiba lebih dulu dgn selembar tissue. Ketika saya tekan ke bibir, tissue segera ternoda  oleh darah.
Ifan tiba dengan 1 cube es batu. Saya pun bangkit dan berjalan dengan sedikit limbung ke depan washtafel dan kaca, kemudian segera menempelkan es batu tersebut diatas luka. Habis 1 cube es batu, darah masih menetes. Setelah memberikan es cube kedua dan yakin saya sudah lebih baik, Ifan kembali duduk di depan komputer dan melanjutkan permainannya.
Akhirnya habis 2 cube es batu barulah darah di bibir saya berhenti mengalir.

Yang ingin saya bagi kali ini bukanlah penderitaan saya karena bibir yang terluka, melainkan pengamatan saya atas reaksi Ifan dan Fian ketika terjadi kecelakaan ini.

Fian - yang saat ini masih berusia 4 th - ternyata sudah mengenal kekuatan dari rasa empati, meskipun hal ini dilakukan tanpa dia sadari.
Fian berhasil mengabaikan bahkan nyaris tidak merasakan sakit di puncak kepalanya ketika mendengar saya menjerit dan melihat bibir saya berdarah. Dia hanya terlihat sedikit mengusap sebentar puncak kepalanya yang terbentur bibir dan gigi saya, itu pun dilakukannya ketika keadaan saya sudah terlihat lebih baik. Dia tidak 
menangis, apalagi mengeluh.
Setelah darah di bibir saya berhenti saya bertanya kepada Fian apakah puncak kepalanya terasa sakit, Fian hanya menjawab, "Sakit sedikit, tapi nggak apa-apa kog Bun..."

Sedangkan Ifan - yang saat ini jelang usia 12 th - yang biasanya ketika bermain game seolah-olah tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya ternyata bisa keluar dari "dunia game"-nya seketika saat mendengar jeritan kesakitan saya. Dia baru kembali ke "dunia"-nya juga setelah melihat kondisi saya lebih baik.

Di masa kini, sering saya mendengar keluhan para orangtua dan membaca ulasan di berbagai media mengenai tingkat kepedulian anak-anak terhadap lingkungan yang sungguh jauh menurun dibandingkan dengan anak-anak pada masa kecil kita.

Ada anak yang tidak memberikan reaksi ketika melihat orang lain berada dalam kesulitan, ada anak yang tidak memiliki sikap respek kepada orang yang lebih tua.
Ada juga yang membalas "cinta" orangtua yang diwujudkan dalam tuntutan akademis mereka dengan ketidakpedulian, ada juga yang hanya terpaku dengan penderitaannya sendiri dan terisolasi dalam selubung ego mereka dari dunia nyata.

Namun, dari kejadian bibir yang terluka, saya rasa kita bisa menarik kesimpulan yang sama, bahwa ternyata ada kekuatan yang bisa mengatasi itu semua : cinta yang tulus dari dasar hati mereka.

Karena cinta kepada saya, Ifan bereaksi cepat ketika mendengar jeritan saya yang terluka.
Karena cinta kepada saya, Fian berhasil mengabaikan rasa sakit di puncak kepalanya dan malah bergegas menghampiri saya untuk memastikan bahwa saya tidak apa-apa.

Pertanyaan selanjutnya adalah, "Bagaimana kita bisa menumbuhkan cinta di hati mereka?"
Dan jawabannya ternyata sangat sederhana meskipun juga tidak mudah penerapannya : dengan memberikan cinta.
Namun, cinta yang seperti apa?

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk selalu belajar melalui kursus yang merajalela agar "selalu menjadi juara" meski sebagai akibatnya mereka kehilangan masa kanak-kanak mereka yang selayaknya diisi dengan belajar sambil bermain dan bercanda?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ego kita karena ingin menjadi orangtua yang bangga.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk memperhatikan perasaan orangtua namun kita tidak memberikan contoh dengan memperhatikan kakek nenek mereka karena sibuk mengejar harta?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ego kita sebagai pribadi yang lebih mementingkan dunia.

Apakah cinta namanya ketika kita memberikan mereka harta tanpa mengajari mereka bagaimana menghargai perolehannya dan kemampuan untuk mengelolanya?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin perwujudan rasa bersalah kita karena kita seringkali tidak ada disaat mereka mungkin sangat membutuhkan kehadiran kita.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk menjadi pribadi yang halus budi bahasanya, namun ketika kita mengajari mereka justru keluar nada keras dan kata-kata tajam yang menusuk jiwa?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin perasaan berkuasa karena kita merasa memiliki mereka seutuhnya.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka shalat lima waktu dan mengaji setiap hari demi menjadi anak yang shaleh yang bisa mendoakan orangtua agar masuk surga, namun kita sendiri hanya rajin shalat dan mengaji ketika bulan Ramadhan tiba?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ketidakyakinan kita akan cukupnya amal ibadah kita dan rasa takut kita akan api neraka.

Mungkin sudah saatnya kita belajar memberikan cinta tanpa syarat kepada mereka, tanpa tuntutan untuk membalas jasa.
Karena sesungguhnya cinta sejati akan terasa sampai ke hati.

Mungkin sudah saatnya kita menciptakan lingkungan kita menjadi lingkungan yang penuh cinta, dengan mengajarkan mereka berlomba-lomba dalam memberikan kebaikan dan manfaat bagi sesama, dan bukan menjadikan lingkungan kita menjadi lingkungan yang penuh persaingan yang menghalalkan segala cara.

Mungkin sudah saatnya kita secara bersama-sama memulai perubahan di dunia dengan cara yang sangat sederhana : mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, demi diri kita, masa depan anak-anak kita dan akhirnya masa depan Indonesia dan dunia.

Jakarta, 4 September 2012
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar