Selasa, 11 Oktober 2016

Anniversary 18th Pernikahan Kami : Berhaji, Sebuah Perjalanan Pembuktian Cinta Sejati






Tanda keseriusan seorang laki-laki adalah bagaimana reaksinya saat menghadapi pertanyaan ttg menikah.
Suami saya, alhamdulillah lulus saat dia menyatakan keseriusannya 😃
Karena bukannya menerima deklarasi cintanya dengan senyum malu atau hati yang berbunga, saya malah balik memberikan persyaratan, bahwa saya hanya bersedia menerima jika dia memang bertujuan menikahi saya, sehingga hubungan ini memang sejak awal memiliki tujuan ke arah pernikahan, bukan hanya sekadar berpacaran nggak kejuntrungan 😃

Karena memiliki anak 3 orang putri semua, papa dan ibu saya mendidik kami agar menjadi pribadi yg benar-benar mandiri, baik dari sisi keuangan maupun dari sisi pemikiran dan tindakan.
Di satu sisi, ini sangat berguna buat kami. Tapi di sisi lain, jujur saja, kemandirian seorang perempuan bisa jadi membuat laki-laki yg kurang percaya diri merasa "tidak dibutuhkan".

Akibat dari didikan kedua orangtua saya tsb, pernikahan saya dan suami lebih ke arah "partner", karena saya tidak pernah dengan sadar "menyandarkan diri sepenuhnya" pada suami...
Alhamdulillah, hingga saat ini berhasil melewati berbagai ujian dalam pernikahan kami dengan baik, dan semoga demikian hingga maut memisahkan kami :-)

Ketika sudah mendekati keberangkatan kami untuk berhaji, salah satu pesan dari Poppy Yuditya, seorang adik di Paskibra 78, yang mantan "preman", yang kini sudah menjadi seorang ustadzah di Parenting Nabawiyah adalah, "Mbak, disana nanti TAAT SUAMI yaaa... karena banyak sekali suami istri yg berangkat berhaji malah berantem di tanah suci..."

Maka saya dan suami pun sama-sama berjanji untuk saling mengingatkan dengan cara yang baik, saling bersabar dan tidak bertengkar selama kami di Tanah Suci.

Ternyata, betul cerita orang bahwa di Tanah Suci kita biasanya diuji dengan kelemahan kita, dan tingkat rasa syukur kita akan menentukan bagaimana kita memandang ujian tersebut...

Saat melempar Jamrah Aqabah di tgl 10 Dzulhijjah yg dilanjutkan dengan Tahallul, Thawaf Ifadhah dan Sa'i, telapak kaki kiri saya lecet parah hingga berdarah akibat berjalan hampir 15 km.
Sementara di tanggal 11-13 Dzulhijjah kami masih harus melempar Jamrah Ula, Wustha dan Aqabah yg perjalanannya setiap kali sekitar 7 km (PP).

Seumur hidup saya, setelah saya dewasa, saya akhirnya merasakan bagaimana menyandarkan diri baik secara kiasan maupun harfiah kepada orang lain : Alhamdulillah, kepada suami saya.

Telapak kaki yang lecet parah membuat saya harus bertumpu dan menggenggam erat tangan suami saya untuk melangkah.
Saya betul-betul merasakan bahwa genggaman tangannya menguatkan setiap langkah saya...
Dan saat kami mulai tertinggal jauh dari rombongan akibat kaki saya yang terluka tidak bisa dibawa melangkah dengan cepat, saya betul-betul melihat bukti kesabaran dan cinta suami saya ketika dia berkata, "Nggak apa-apa kita ketinggalan dan terpisah dari rombongan, ayah jagain bunda kog...", dan dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya dia pun terus menyemangati saya.
Juga saat melihat setiap kali saya bertakbir maka langkah kaki saya menjadi lebih ringan, suami lalu mendukung dengan bertakbir bersama saya sepanjang perjalanan melempar Jamrah...
Alhamdulillah Allah memberikan kesembuhan yg cukup cepat pada kaki saya, sehingga pada tgl 13 Dzulhijjah kami bisa melempar Jamrah tanpa ketinggalan dari rombongan :-)

Saya juga merasakan betapa "heroik"nya suami saya saat dia berjuang membawa saya untuk shalat di Hijr Ismail. Dipeluknya saya dari belakang, dilindunginya saya dari desakan tubuh-tubuh lain tanpa membalas dengan dorongan. Secara harfiah, suami saya melindungi tubuh saya dengan tubuhnya sendiri, sehingga saya sama sekali tidak merasakan beratnya kondisi saat itu, saya mempercayakan tubuh saya dibawa kemanapun yang suami saya tuju.
Dan kepercayaan tersebut berbuah manis saat saya akhirnya merasakan shalat dengan penuh airmata di Hijr Ismail...

Belum lagi kegiatan sederhana sehari-hari yang kami lakukan berdua : mencuci baju di ruang mesin cuci dan menjemur bersama, makan bersama di lorong hotel di depan kamar, selalu bergandengan tangan saat berjalan, baik saat berjalan-jalan di Toko yang menjual cenderamata, juga saat perjalanan pergi dan pulang setiap hari ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi...

Masyaa Allah...
Allah menunjukkan kepada saya betapa nikmatnya bersandar sepenuhnya dan bergantung pada suami...
Allah memperlihatkan kepada saya cinta sejati seorang suami kepada istri...
Allah membuktikan kepada saya bahwa saling menyemangati dalam beribadah dan bekerja bersama-sama memang bisa menguatkan cinta antara suami istri...
Allah mengajarkan kepada saya bahwa romantisme itu bisa dari hal yang sangat sederhana : seperti mencuci dan menjemur baju berdua 😃

Happy 18th Anniversary, Ahmad Fahly Riza 😚
Semoga Allah senantiasa memberkahi pernikahan kita hingga akhir usia...

Alhamdulillah...
Maka nikmat Allah yang mana lagi yang bisa saya dustakan?

Madinah, 11 Oktober 2016
Yeni suryasusanti

Selasa, 16 Agustus 2016

Cemburu


Kali ini saya ingin bercerita tentang cemburu.
Bukan kecemburuan terhadap pasangan, tetapi kecemburuan seorang kakak kepada adiknya, atau sebaliknya.
Meski orangtua biasanya berusaha adil dalam mengasihi kedua anaknya, namun banyak faktor yg bisa membuat sikap orangtua "terlihat" tidak adil.
Belum lagi pengaruh dari lingkungan baik berupa komentar2 yg mungkin dimaksudkan utk bercanda sampai pengasuh sebagai pengganti saat orangtua bekerja yg tidak bisa bersikap adil layaknya orangtua yg baik.

Putra dari salah seorang teman saya sampai saat ini setiap kali ditanya, "kamu ingin punya adik?" selalu menjawab dgn tegas "tidak mau" karena pernah dulu ada seorang ibu yg berkomentar, "iya, soalnya kalo kamu nanti punya adik mama bakal sibuk dan sayangnya sama adik bayi ya?" makin meneguhkan hatinya utk tidak ingin memiliki "saingan".
Duh, ibu yg kayak gini nih yg pengen saya tabok rasanya :(

Cemburu adalah tentang kurangnya "rasa aman".

Awalnya, dulu Ifan tidak pernah menunjukkan kecemburuan pada adik karena saya memastikan sikap yg berhati2 dan selalu mengkomunikasikan setiap keputusan terkait Ifan dan adik.
Saya pernah menulis ttg hal tsb di sini.

Lalu semua berubah saat asisten rumah tangga mulai sulit bersikap adil saat tidak ada saya di rumah.
Sejak Fian berusia 1,5th, saat Fian mulai menunjukkan tahap kepemilikan dan ingin mencoba segalanya, ketika saya berada di kantor, setiap kali Fian berebut mainan dgn Ifan, selalu Fian yg dibela dan Ifan diminta selalu mengalah oleh sang pengasuh dgn alasan "Ifan kan kakak, Ifan ngalah dong sama adik, Fian kan masih kecil..."
Sementara ketika saya pulang kerja, waktu utk Ifan tidak lagi eksklusif utk berdua krn harus berbagi dgn Fian, sementara waktu Fian bisa eksklusif sendiri saat saya menyusui.

Rasa tidak aman, khawatir kurang disayang, berkembang dan terakumulasi menjadi rasa cemburu.
Rumah yg semula damai pun mulai diramaikan dgn pertengkaran.
Saya pernah menulis bagaimana Ifan dan Fian belajar berkonflik di sini.
Meski saya sadar hal tsb juga merupakan sebuah proses dalam pembentukan karakter mereka, namun jika dibiarkan tanpa penjelasan, hal tersebut bisa berbahaya dalam jangka panjang karena bisa menjadi sebuah kebencian.

Salah satu keputusan besar kami adalah menyudahi kerjasama dgn sang pengasuh. Karena saat itu saya masih bekerja, kami butuh pengasuh yg mampu meyakini dan menerapkan nilai2 yg kami anut dalam keseharian, terutama terkait anak2 kami.
Namun, membenahi kerusakan yg sudah terjadi memakan waktu yg jauuuhhh lebih lama dan usaha yg jauuuhh lebih berat daripada membuat kerusakan.

Ingatkah saya pernah menyebutkan bahwa dalam mendidik anak kemampuan komunikasi itu sangat penting?

Hal ini saya buktikan saat kami berusaha menyadarkan Ifan dari kecemburuannya.
Saya harus menjelaskan setiap keputusan yg kami ambil jika terjadi konflik diantara Ifan dan Fian, dimana penjelasan tsb harus bisa meyakinkan Ifan bahwa keputusan ini adil adanya.
Saya harus berusaha mengorek pendapat Ifan ttg keadilan yg bagaimana yg menurutnya seharusnya saya lakukan, lalu meluruskan pandangannya jika ternyata keliru.

Belajar dari pengalaman diri saya sendiri diwaktu kecil, anak yg tidak mengungkap kecemburuannya bukan berarti hal tsb tidak ada, minimal tidak pernah terlintas dibenaknya.
Jujur saja, saya pernah merasa cemburu dan menganggap orangtua saya lebih menyayangi kakak kedua saya hanya karena perbedaan cara beliau ketika memarahi kami berdua : jika memarahi saya dilakukan dgn penuh ketegasan, namun saat memarahi kakak saya dilakukan dgn penuh kelembutan.
Tentu saja saya saat itu belum memahami bahwa hal tsb dilakukan orangtua kami semata2 karena perbedaan karakter saya dan kakak yg bagaikan langit dan bumi jauhnya. Saya keras (bisa jadi keras hati dan keras kepala hihihi...), sementara kakak saya lembut hatinya dan sensitif pula :D
Karena itulah saya berusaha menggali potensi penyebab kecemburuan Ifan dari dari setiap sudut yg ada, dan itu sungguh tidak mudah, membutuhkan waktu, komitmen dan kesabaran.

Saya menjelaskan kepada Ifan bahwa Ifan pun pernah mengalami waktu eksklusif yg lebih banyak dgn saya persis Fian, yaitu saat dia seumur adiknya.
Saya menjelaskan bahwa kewajiban anak sulung memang banyak seperti menjadi teladan bagi Fian, bertanggungjawab atas adiknya ketika kami tidak ada, dll, namun itu juga sejalan dgn hak yg Ifan dapatkan, misalnya rasa percaya dari kami dan rasa hormat dari adiknya.
Saya juga mulai mengatur jadwal eksklusif utk jalan2 hanya berdua dgn Ifan tanpa keikutsertaan adiknya, sekaligus menjelaskan kepada Fian mengapa abangnya membutuhkan hal tsb.
Selain itu, saya meminta Ifan membiasakan diri mengucapkan istighfar setiap kali rasa cemburu muncul di dalam hatinya, karena cemburu termasuk kategori penyakit hati yg bisa dihilangkan dgn dzikir dan doa.

Alhamdulillah, keputusan saya utk resign akhirnya mempermudah hal tersebut, karena saya jadi memiliki waktu lebih banyak utk dibagi dgn anak2.
Kehadiran saya mendampinginya ketika Ifan berjuang mengatasi dan bangkit dari bully sangat membantu meyakinkan dirinya bahwa saya "ada utknya", bahwa Ifan sangat penting bagi saya.
Akhirnya, sejalan dgn waktu Ifan bisa meyakini bahwa kami memiliki kasih sayang dan senantiasa berusaha bersikap adil semampu kami sebagai manusia dan orangtua.

Jadi, jika teman2 menghadapi kecemburuan diantara anak2 kalian, berusahalah menggali sampai ke dasarnya.
Karena tidak semua anak mampu mengatasi dan berpikir lurus ttg hal ini.
Bisa jadi semua baik2 saja meski kita tidak ikut campur meluruskan, namun tidak menutup kemungkinan hal ini bisa menjadi potensi kebencian : kebencian terhadap adik dan kebencian thd orang tua.
Dan karena kebencian yg berawal dari rasa iri dan dengki merupakan penyakit hati, tentu pada akhirnya bisa merusak hati anak2 kita...

Semoga Allah melindungi keluarga kita...

Jakarta, 16 Agustus 2016
Yeni Suryasusanti

Selasa, 02 Agustus 2016

Tentang Mendidik :)

Di Paskibra 78, kami belajar bahwa mendidik itu harus lengkap dasar dan prosesnya.
Untuk dasar, tidak cukup hanya teori dan filosofi, tapi juga didampingi prakteknya, setidaknya pada awalnya, menjelaskan maksud dan tujuan pendidikan, serta antisipasi kemungkinan2 yg bisa muncul. Lalu anak didik akan dibiarkan praktek sendiri, tapi dengan tetap dipantau dari jauh. Jika terlihat akan "terjeblos ke lubang" maka akan diperingatkan agar hati2. Tapi jika anak tetap jatuh ke lubang ya gpp krn itu bagian dari proses belajar.

Di masa ini, saya banyak melihat orangtua mengajarkan filosofi hidup kepada anaknya. Tapi tidak dilengkapi dgn praktek hidup di dunia nyata yg bisa menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap suatu kondisi.

Contoh nyata, orangtua yg menuntut anaknya mampu berhati2 di kendaraan umum, tapi anak tidak pernah dilatih naik kendaraan umum. Anaknya selalu dalam kenyaman dan keamanan krn naik mobil pribadi. Ketika suatu waktu sang anak terpaksa naik kendaraan umum, langsung sendiri tanpa orangtua dan kehilangan dompet misalnya, lalu sang orangtua berkata, "Kan udah ayah / bunda bilang kalo di kendaraan umum itu harus hati2!"

Saya pertama kali membawa Ifan naik kendaraan umum saat SD. Kami sesekali naik mikrolet yg cenderung mudah krn pasti dapat tempat duduk, lalu busway, dan di lain waktu naik metromini.
Saya menyampaikan meskipun kami memiliki mobil pribadi, dan saat itu Ifan naik antar jemput ke sekolah, namun kehidupan itu selalu berputar. Bisa saja nanti ketika roda nasib berada dibawah tiba2 Allah membuat kami kehilangan berbagai kenyamanan dan kemudahan ini. Saya katakan saya hanya ingin Ifan siap jika suatu hari nanti kondisi mengharuskan Ifan naik kendaraan umum.
Saya mencontohkan bagaimana posisi kaki saat berdiri agar tubuh lebih seimbang sehingga tidak jatuh ketika kendaraan mengerem mendadak spt umumnya kendaraan umum. Itupun Ifan sempat oleng dan nyaris jatuh. Gpp, saya bilang, keseimbangan Ifan akan lebih baik seiring dgn dia terbiasa. Inilah perlunya latihan praktek.
Saya juga menunjukkan bahwa kerumunan orang yg demikian rapat di kendaraan umum rawan untuk pecopetan atau bahkan potensial terjadi kejahatan.
Dgn berada disana, kami melatih kewaspadaan Ifan ketika berada di kendaraan umum.
Awalnya saya yg bicara dgn kondektur ketika meminta berhenti krn kami akan turun, mengajarkan turun dgn kaki kiri lebih dulu dan menjelaskan apa yg mungkin terjadi jika turun dgn kaki kanan. Kali berikutnya saya meminta Ifan yg bicara dgn kondektur utk meminta berhenti tapi masih saya yg mengingatkan bahwa di halte berikut kita akan berhenti. Kali terakhir saya diam saja walau hampir sampai di halte tempat kami berhenti, betul2 hanya mendampingi dan membiarkan Ifan seolah naik bis sendiri dgn menentukan tempat berhenti dan bicara dgn kondektur.
Semua dilakukan secara bertahap hingga Ifan bisa kami lepas naik kendaraan umum sendirian.
Kapan kami melepas Ifan naik kendaraan umum sendiri?
Ketika Ifan bilang siap dan bisa setelah mencoba beberapa kali dgn saya dampingi.

Saat mengetahui Ifan akan naik busway utk pergi dan pulang sekolah di SMK Telkom, suami saya menambahkan nasehatnya. Gunakan handsfree utk HPnya saat di busway boleh sambil mendengarkan lagu, agar ketika HP berbunyi dia tidak perlu mengeluarkan HP dan memancing terjadinya kejahatan selain jadi penanda bahwa ketika tiba2 lagu berhenti maka kemungkinan ada yg mengambil HPnya atau baterai HPnya habis sehingga akan sulit kami hubungi jika perlu :)

Mungkin ada orangtua yg kurang sepakat mengenai cara ini. Lah, kita aja dulu nggak diajari orangtua kita dgn detail spt itu tapi kita bisa paham sendiri kog hehehhe...
Tapiiii... bertahun2 mendidik adik2 Paskibra 78 dan para staff saya di kantor dulu, saya menemukan perbedaan yg sangat besar utk anak2 yg lahir sebelum dan setelah th 1985.
Entah karena apa, anak2 yg lahir setelah th 1985 sepertinya kebanyakan lebih sulit mengkorelasikan nilai2 hidup dgn applikasi hidup. Mereka harus diajari detail baru bisa paham :(

Lalu bisakah anak2 menjadi paham jika pendidikannya "tidak lengkap" dari dasar (teori dan prakteknya) juga prosesnya (berbagai ilmu utk antisipasi)?
Bisa saja.
Tapi kemungkinan besar akan lebih lama prosesnya dan lebih "babak belur" juga :)

Salahkah orangtua yg "tidak lengkap" mengajari?
Tentu tidak, krn banyak faktor yg menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Tapi menjadi salah jika orangtua yg "tidak lengkap" mengajari namun menuntut anaknya "sempurna" dgn tidak melakukan kesalahan.
Dan sayangnya, hal itulah yg saat ini banyak terjadi...

*Saya pun harus introspeksi diri, dan belajar mengikhlaskan anak melakukan kesalahan meski telah kita ajari... karena dari kesalahan tersebut mereka akan belajar dan insya allah kelak akan memiliki filosofi hidup sendiri...

Jakarta, 2 Agustus 2016
Yeni Suryasusanti

Rabu, 20 April 2016

Tentang Ifan, Kesabaran dan Komitmen


Tentang Ifan dan Kesabaran

Sekitar 3 tahun yang lalu saya pernah menulis tentang strategi memilih sekolah di PPDB 2013 disini  :

Ifan yg sebenarnya ingin masuk SMPN 111 akhirnya masuk SMPN 89 karena gagal bersaing di jalur umum sementara SMPN 111 bukan merupakan jalur lokal kami.
Saat itu, beberapa teman ada yang melakukan dan saya disarankan untuk berusaha lebih dengan pindah KK agar SMPN 111 menjadi jalur lokal kami, atau memindahkan Ifan saat naik kelas 2 nanti.

Saya dan suami sepakat untuk menolak melakukan saran itu.
Kenapa?
Pindah KK (Kartu Keluarga) merupakan cara yang egois menurut kami. Ketika kita tinggal disuatu pemukiman, selayaknya kita bukan hanya mengambil manfaat dari sana melainkan juga memberi manfaat. Layakkah pindah KK hanya demi sekolah anak tapi kita secara fakta sama sekali tidak kenal dan bermanfaat bagi tetangga disana?
Pindah KK berarti juga tidak mendukung pemerintah mengatasi kemacetan, membuat sekolah menjadi eksklusif dan jadi rebutan seolah sekolah lain tidak ada yg baik. Padahal ilmu bisa kita pelajari dimana saja, bahkan kadang lebih banyak yg didapat bukan dari bangku sekolah.
Pindah KK berarti juga mengurangi kesempatan warga yang memang tinggal di wilayah tersebut, dan berpotensi membuat kita menjadi dzalim.
Lain halnya jika kita benar-benar pindah rumah demi sekolah anak, saya anggap ini sebagai strategi dan investasi yg lebih jujur.
Sementara memindahkan sekolah saat anak di kelas 2?
Well, tujuannya apa? Hanya demi mengejar sekolah favorit? Sebesar itukah pengharapan kepada institusi sekolah?

Disamping itu, alasan utama kami tidak bertindak sejauh itu adalah demi Ifan.
Kami ingin Ifan berjuang di tempat yg sesuai dgn kemampuannya.
Kami percaya, terkadang menjadi ikan besar di kolam kecil lebih baik baginya karena bisa mendongkrak rasa percaya dirinya. Meski dilain waktu menjadi ikan kecil dikolam besar bisa mengajarkan anak arti berjuang.

Jadi kami meminta Ifan bersabar menjalani hari-harinya di sekolah pilihan keduanya. Dengan teman-teman yang nyaris semuanya baru karena mayoritas teman SDnya masuk ke SMPN 111. Dengan gaya pergaulan yang juga berbeda karena Ifan terbiasa dengan pergaulan di SD swasta dimana lingkungannya lebih homogen dan terjaga bahasa dan sikapnya, sementara SMPN 89 siswanya kebanyakan dari SD Negeri terdekat yang lebih heterogen pergaulan dan latar belakang keluarganya.

Perbedaan standar pergaulan ini juga sempat menjadi masalah.
Apa yang bagi teman-temannya adalah candaan, bagi Ifan adalah gangguan yang tidak sopan. Bercanda dengan memegang/menjitak kepala adalah diantaranya, yang bagi temannya merupakan keakraban, sementara bagi Ifan merupakan penghinaan.
Terlebih lagi, karakter Ifan yang memang lebih suka bersahabat dengan teman yang se-hobby, meski mau berteman tanpa memilih.
Akibatnya, Ifan pun sempat di bully dan akhirnya lebih suka menyendiri, kecuali saat bergabung dengan teman-teman se-hobby yang tidak banyak jumlahnya.
Sekali lagi, saya meminta Ifan untuk bersabar, belajar mengabaikan gangguan yang tidak menyenangkan, belajar berteman lebih dekat dengan orang yang berbeda karakter dan latar belakang, dan terutama belajar mengendalikan emosi.
Berkali-kali menghadap guru BP dan pernah pula kepala sekolah untuk kasus bully, Ifan yang dikenal selalu sopan dan ramah kepada guru jadi semakin diperhatikan dan diawasi.
Para guru BP, wakil kepala sekolah dan kepala sekolah ikut mendidik Ifan untuk bisa menerima lingkungannya, menasehatinya untuk masalah pengendalian emosi, membantu melerai dan menyelesaikan permasalahan yang membutuhkan bantuan orang dewasa sebagai penengah.
Alhamdulillah... Kami bersyukur Ifan memiliki perangkat sekolah yang peduli...

Tentang Ifan dan Komitmen

Sejak usia 3 th Ifan mengenal dan mencintai komputer.
Hal ini dimulai sejak saat kami pergi ke Gramedia dan disana ada demo CD Interaktif Bobby Bola dan Aqal.
Ifan tidak mau beranjak dari sana, terpesona dengan program tersebut.
Akhirnya saya pun membeli dan mulai mengoleksi CD interaktif buat Ifan, dan mulai saat itu Ifan dan komputer seolah tak terpisahkan :D
Bahkan saat di TK, Ifan sudah berkata bahwa dia ingin jadi seorang programmer! Sungguh sebuah cita-cita yang tidak umum bagi seorang anak usia TK, karena biasanya anak-anak bercita-cita jadi dokter, polisi, bahkan presiden hehehe...

Ketika diterima di SD Bhakti, seperti sudah bisa diduga, Ifan memilih ekskul Computer Club. Disinilah minat dan bakatnya semakin dipupuk.
Ifan ikut mewakili sekolahnya untuk beberapa kompetisi di bidang komputer dan mendapatkan beberapa piala dari kejuaraan tersebut.
Teman-teman di SD Bhakti umumnya berasal dari keluarga yg homogen, cenderung berasal dari ekonomi menengah ke atas, sehingga mayoritas akrab dengan gadget.
Hingga tiba masanya Ifan meninggalkan CD interaktif dan memilih game.
Kebetulan saya dan suami diwaktu luang kami juga menyukai game, jadi terkadang Ifan dan kami bahkan saling berkompetisi :D

Namun ketika Ifan mulai memperlihatkan ketertarikan akan game agak diluar batas kewajaran, maka saya mulai berpikir bahwa hobbynya ini harus diarahkan.
Kebetulan saat itu Ifan kelas 4, dan sempat berkata ingin belajar tentang macromedia flash (Wow! Saya saja mengenal materi ini saat bekerja dari presentasi yang dibuat teman IT di kantor hahahha...).

Jadi saya pun pergi ke Gramedia dan membeli buku ini untuk Ifan :
Lalu sambil memberikan buku tersebut padanya, saya berkata sambil lalu, "Jadi gamers itu biasa, jadi pembuat game baru luar biasa..."
Karena buku ini dan tantangan saya, pada waktu kelas 5 SD Ifan menjadi salah seorang dari 5 pembuat game terbaik di sekolahnya :)

Waktu Ifan masuk SMP, sayangnya ekskul multimedia ternyata tidak diadakan meski peralatannya ada. Ternyata sekolah kekurangan tenaga ahli untuk mengajar materi ini kepada siswa.
Lalu sempat kurikulum 2013 dijalankan sehingga pelaran TIK (Teori Ilmu Komputer) dihapuskan, membuat Ifan menggerutu pelajaran kesukaannya tidak ada lagi di sekolah.
Alhamdulillah sekolah Ifan lalu kembali ke KTSP dan pelajaran TIK diadakan kembali.
Sayangnya, tidak seperti SD Bhakti, SMPN 89 jarang mengikutkan anak-anaknya kejuaraan. Sepanjang sekolah disini Ifan hanya pernah mengikuti Kompetisi Bahasa Inggris Story Telling dan menjadi juara 1 se-kecamatan Grogol Petamburan.
Tidak ada kejuaraan komputer.

Tapi, minat Ifan akan bidang ini tidak menyusut. Ifan bahkan minta dibelikan buku tentang "Minecraft" saat ulang tahunnya, dan bermodalkan buku tersebut diapun menjadi admin minecraft :D
Sepupu-sepupu Ifan kerap menelepon jika ingin meminta kode cheat game atau sekadar membahas game hehehe...

Waktu di awal kelas 9, saya kembali bertanya pada Ifan, "Masih mau jadi programmer?"
Dan Ifan menjawab dengan mantap, "Tentu saja!"
Lalu kami pun membahas bagaimana alur studinya.

SMU Jurusan IPA - Kuliah Komputer
Atau :
SMK Jurusan Komputer - Kuliah Komputer (bonus bisa langsung kerja sambil kuliah)

Saya menjelaskan bahwa jika di SMU IPA pelajaran akan umum seperti di SMP hanya sedikit menjurus ke mata pelajaran eksakta.
Tapi jika di SMK Jurusan Komputer maka pelajarannya akan lebih mendalam, dan siswa SMK dipersiapkan untuk bisa langsung bekerja disamping kuliah.
Maka Ifan pun memutuskan dengan mutlak akan memilih SMK sebagai kelanjutan studinya.
Setelah kami bersama-sama mencari informasi, ternyata di Jakarta Barat tidak ada satupun SMK Negeri yang memiliki jurusan komputer.
Jika Ifan mau memilih Jurusan Komputer, maka pilihannya adalah ke SMK Negeri di Jakarta wilayah lain, atau masuk ke SMK Swasta.

Nama SMK Telkom muncul dari rekomendasi teman dan keluarga.
Kebetulan salah seorang keponakan yang kuliah di ITB bercerita bahwa ada temannya yang jago, berasal dari SMK Telkom juga. Kebetulan juga, kedua kakak ipar saya berasal dari STT Telkom saat masih hanya ada program D3.
Lokasi SMK Telkom yang tidak terlalu jauh dari rumah, bisa diakses busway, menjadikan sekolah ini ideal buat Ifan.
Saya pun meminta Ifan untuk mempelajari dan mencaritahu tentang sekolah ini dengan lebih detail.

Ada 4 Program Studi Kehlian di SMK Telkom :

  1. Teknik Transmisi
  2. Teknik Jaringan Akses
  3. Teknik Rekayasa Perangkat Lunak
  4. Teknik Komputer dan Jaringan
Ada 2 jalur untuk masuk ke SMK Telkom, yaitu Jalur Rapor/Prestasi dan Jalur Reguler.



Untuk Jalur Prestasi, cukup menjalani test Psikotest dan Wawancara, sementara untuk Jalur Reguler menjalani Test Potensi Akademik.
Namun, SMK Telkom mengadakan Jalur Combo, yaitu ikut di jalur prestasi, namun jika gagal bisa tetap mencoba jalur reguler. Biaya jalur combo ini adalah Rp 350.000,-.
Suami saya mengambil Jalur Combo bagi Ifan untuk berjaga-jaga :)

Ifan dan Hikmah Kesabaran

Saya meminta Ifan mengisi dan menyiapkan sendiri seluruh Formulir dan lampiran yang dibutuhkan, saya bahkan tidak memeriksa dengan detail isi map yang sudah Ifan siapkan.
Ketika saya, suami dan Ifan mengembalikan Formulir Isian ke SMK Telkom, petugas administrasi menemukan Amplop Coklat bertuliskan JPK di dalam map Ifan.
Beliau segera memanggil atasannya.
"Ibu, ananda ternyata termasuk anak yg dinyatakan pantas  oleh sekolahnya mendapatkan JPK - Jalur Prestasi Akademik. SMK Telkom memang bekerjasama dengan beberapa SMP dengan memberikan jalur khusus bagi siswa pilihan, dan SMPN 89 mendapat jatah 5 siswa. Dengan masuk melalui jalur JPK maka ananda dibebaskan dari biaya pembelian formulir dan boleh memilih sendiri jurusan yang diinginkan tanpa perlu menunggu hasil test seperti siswa lain." demikian kata beliau.

Kami terpana, karena Ifan tidak bercerita tentang pemberian formulir JPK ini.
Ternyata, guru BP yang perhatian padanya bertanya Ifan ingin melanjutkan kemana. Saat Ifan menjawab ingin ke SMK Telkom, beliaupun memberi rekomendasi JPK.
Awalnya Ifan memilih Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Tapi setelah dijelaskan tentang jurusan Teknik Rekayasa Perangkat Lunak, serta merta Ifan beralih memilih RPL yang menurutnya (juga menurut saya) lebih sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Ifan menjalani Psikotest dan Wawancara pada tanggal 16 April 2016, dan dinyatakan lulus pada tanggal 18 April 2016.
Sekolah lanjutan sudah di tangan bahkan sebelum UN dilaksanakan...

Masya Allah... Alhamdulillah...

Saya berkata kepada Ifan, bahwa ini adalah buah dari kesabaran dan komitmen Ifan.
Karena jika Ifan dulu kami paksakan masuk ke SMPN 111, belum tentu dia mendapatkan JPK mengingat lebih banyaknya saingan, yaitu teman-temannya yang juga penggila game dan gadget...
Jika Ifan tidak pernah di bully sehingga dekat dengan guru BP, mungkin Ifan akan terlewat ditanyakan minat melanjutkan kemana sehingga harus berjuang lewat jalur biasa...

Hikmah yang paling utama adalah dengan kejadian ini, saya berhasil menanamkan tanpa keraguan kepada Ifan, bahwa dibalik ujian Allah akan berikan kemudahan...

Alhamdulillah... Maka nikmat Allah yang mana lagi yang bisa kami dustakan?

Jakarta, 20 April 2016
Yeni suryasusanti

Kamis, 10 Maret 2016

HALAL IS MY LIFE : KETIKA ILMU MENGUBAH CARA PANDANG




Silaturrahim adalah pembuka pintu rizki, dan rizki bukan melulu soal materi…
Hal ini sudah saya yakini sejak lamaaaa sekali :)

Ketika mendapat tawaran untuk mengikuti Training of Trainer Kader Dakwah Halal LPPOM MUI dari R. Muhammad Suherman, Ketua Asosiasi Chef Halal Indonesia (ACHI), hanya dalam beberapa hari sebelum training dilangsungkan, jujur saja hal pertama yang terpikirkan oleh saya adalah : “Pantaskah saya?”

Selama ini saya seperti muslim pada umumnya, memastikan  makanan dan minuman yang saya konsumsi bukan merupakan makanan yang haram. Namun baru hanya sebatas itu. Saya belum terlalu menaruh perhatian atau terlalu berhati-hati tentang hal-hal yang syubhat.
Di satu sisi hal ini mungkin karena ilmu saya yang jauh dari mumpuni, di sisi lain mungkin karena saya terlalu percaya bahwa seorang muslim tidak akan menjual makanan dan minuman haram kepada muslim yang lain. Naif ya? :D

Saya mengenal Chef Herman di Komunitas My Halal Kitchen (MHK) dimana saya menjadi anggota pasif dan cenderung silent reader, hanya posting jika ada informasi yang saya pikir diperlukan oleh member MHK.
Chef Herman menawari saya mengikuti ToT mungkin karena kedudukan saya di komunitas Natural Cooking Club (www.NCC-Indonesia.com) sebagai pengurus inti. Saya menjabat sebagai Bendahara NCC sejak pertama kali berdiri.
Komunitas NCC adalah komunitas umum lintas agama yang beranggotakan lebih dari 80.000 member meski seluruh pengurus inti adalah muslim. Diskusi mengenai halal haram hanya diperkenankan sebatas kulitnya seperti apakah bahan ini sudah bersertifikat halal atau belum. Namun untuk pembahasan yang lebih dalam tentang penentuan halal dan haram yang terkadang berpotensi menjadi polemik, maka kami akan mengarahkan member yang ingin lebih paham tersebut untuk bergabung juga dengan komunitas lain yang lebih khusus, misalnya seperti MHK.
Saat menawari jatah ToT milik ACHI kepada saya, Chef Herman berkata, “NCC kan belum ada jalur ke LPPOM MUI. Semoga ToT ini bisa membuka jalan.”
Alhamdulillah, inilah rizki dari Allah untuk saya, untuk kami di NCC, jalan menuju halal bagi kami sebagai pribadi.

Mengikuti ToT selama 2 hari, sungguh mengubah cara pandang saya dalam melihat sebuah produk, terutama setelah mengikuti materi terkait Teknologi Pangan.
Saya terhenyak, jika tidak ingin dikatakan shock. Ternyata cara pandang saya yang naif dalam melihat kehalalan sebuah produk selama ini benar-benar berbahaya.
Standar saya dahulu : Yang penting tidak haram.

Saya dibenturkan dengan kenyataan bahwa karena ilmu yang rendah, saya mungkin mengambil banyak kesimpulan yang salah, karena bahan-bahan artificial dalam berbagai produk, apa yang saya anggap tidak mungkin haram ternyata bisa jadi haram.

Sungguh membuka mata saya penjelasan tentang bagaimana sekadar minuman rasa strawberry bisa menjadi haram karena ada kandungan khamr di dalam proses produksinya, bagaimana MSG pun bisa menjadi haram karena kandungan unsur yang berasal dari rambut manusia terdapat di dalamnya, bagaimana bahkan AIR bisa menjadi haram ketika proses permurnian airnya, alat dan kemasannya bersentuhan dengan yang haram. Belum lagi tentang ratusan bahkan mungkin ribuan produk yang mengandung turunan babi yang terdapat di dalam berbagai bahan tambahan. Ini belum menyinggung tentang kosmetik dan masih banyak lagi yang tidak secara langsung kita konsumsi.
ToT ini membuat saya menyadari betapa pentingnya Sertifikat Halal MUI bagi ketenangan hati pelanggan yang mengkonsumsi.

Sejak masih di tengah menjalani ToT, ilmu yang membuat saya terhenyak ini telah saya bagi dalam bentuk status Facebook, karena saya memiliki follower yang cukup banyak, ribuan bahkan puluhan ribu member NCC karena saya juga menautkan status tersebut dengan pengurus NCC lainnya.
Saya tidak menunggu training berakhir dulu, bahkan tidak pernah terpikir untuk menunggu hasil kelulusan diumumkan baru membagikan ilmu, walaupun kami hanya akan mendapatkan Sertifikat Trainer jika dinyatakan lulus, dan hanya akan mendapatkan Sertifikat Peserta jika dinyatakan tidak lulus ujian yang diadakan pada akhir ToT.

Mengapa saya memilih berbagi sebelum sertifikat Trainer Kader Dakwah Halal LPPOM MUI saya dapatkan?
Jujur saja, hal ini adalah karena saya menyadari bahwa ilmu dan kemampuan saya masih sangat jauh dari mumpuni untuk menjadi seorang Kader Dakwah Halal LPPOM MUI.
Namun, walaupun dengan sedikit ilmu yang saya miliki, bekal dari ToT dan Group Telegram Kader Dakwah Halal LPPOM MUI, saya memutuskan untuk berbagi karena saya memahami bahwa tugas saya sebagai umat hanyalah membagi ilmu yang bermanfaat, dan apa yang saya bagi tersebut mungkin bisa menyentuh hati dan menyebabkan seseorang memutuskan untuk berhijrah, karena pemberian hidayah itu murni hak Allah.

Setelah mengikuti ToT Kader Dakwah Halal LPPOM MUI, saya pun memiliki angan-angan dan mimpi.
Saya memimpikan tentang standar makanan, minuman dan semua hal yang bersentuhan dengan kita selama ini.
Saya memimpikan pada suatu hari nanti KEHALALAN SEBUAH PRODUK yang dijual bebas akan menjadi sebuah standar yang WAJIB dipenuhi baik di Indonesia bahkan di seluruh dunia, terlepas dari masalah hidayah Islam, namun karena memang dibuktikan secara ilmiah dan mendapatkan pengakuan mutlak dari semua orang apapun agamanya bahwa yang HALAL dan THAYYIB adalah memang yang terbaik bagi umat manusia.

Saya memahami dan sungguh menyadari bahwa untuk mewujudkan angan-angan dan mimpi ini diperlukan kerja keras dan perjuangan yang panjang, dan mungkin saja mimpi ini tidak menjadi kenyataan semasa saya hidup.
Namun dengan mengucapkan Bismillaahirrahmaanirrahiim, saya siap menjadi bagian dari perpanjangan tangan dan penyampai pesan untuk setiap ilmu yang bermanfaat bagi teman, kolega, sahabat dan kerabat yang ada disekeliling saya :)

Jakarta, 10 Maret 2016
Yeni Suryasusanti