Selasa, 16 Agustus 2016

Cemburu


Kali ini saya ingin bercerita tentang cemburu.
Bukan kecemburuan terhadap pasangan, tetapi kecemburuan seorang kakak kepada adiknya, atau sebaliknya.
Meski orangtua biasanya berusaha adil dalam mengasihi kedua anaknya, namun banyak faktor yg bisa membuat sikap orangtua "terlihat" tidak adil.
Belum lagi pengaruh dari lingkungan baik berupa komentar2 yg mungkin dimaksudkan utk bercanda sampai pengasuh sebagai pengganti saat orangtua bekerja yg tidak bisa bersikap adil layaknya orangtua yg baik.

Putra dari salah seorang teman saya sampai saat ini setiap kali ditanya, "kamu ingin punya adik?" selalu menjawab dgn tegas "tidak mau" karena pernah dulu ada seorang ibu yg berkomentar, "iya, soalnya kalo kamu nanti punya adik mama bakal sibuk dan sayangnya sama adik bayi ya?" makin meneguhkan hatinya utk tidak ingin memiliki "saingan".
Duh, ibu yg kayak gini nih yg pengen saya tabok rasanya :(

Cemburu adalah tentang kurangnya "rasa aman".

Awalnya, dulu Ifan tidak pernah menunjukkan kecemburuan pada adik karena saya memastikan sikap yg berhati2 dan selalu mengkomunikasikan setiap keputusan terkait Ifan dan adik.
Saya pernah menulis ttg hal tsb di sini.

Lalu semua berubah saat asisten rumah tangga mulai sulit bersikap adil saat tidak ada saya di rumah.
Sejak Fian berusia 1,5th, saat Fian mulai menunjukkan tahap kepemilikan dan ingin mencoba segalanya, ketika saya berada di kantor, setiap kali Fian berebut mainan dgn Ifan, selalu Fian yg dibela dan Ifan diminta selalu mengalah oleh sang pengasuh dgn alasan "Ifan kan kakak, Ifan ngalah dong sama adik, Fian kan masih kecil..."
Sementara ketika saya pulang kerja, waktu utk Ifan tidak lagi eksklusif utk berdua krn harus berbagi dgn Fian, sementara waktu Fian bisa eksklusif sendiri saat saya menyusui.

Rasa tidak aman, khawatir kurang disayang, berkembang dan terakumulasi menjadi rasa cemburu.
Rumah yg semula damai pun mulai diramaikan dgn pertengkaran.
Saya pernah menulis bagaimana Ifan dan Fian belajar berkonflik di sini.
Meski saya sadar hal tsb juga merupakan sebuah proses dalam pembentukan karakter mereka, namun jika dibiarkan tanpa penjelasan, hal tersebut bisa berbahaya dalam jangka panjang karena bisa menjadi sebuah kebencian.

Salah satu keputusan besar kami adalah menyudahi kerjasama dgn sang pengasuh. Karena saat itu saya masih bekerja, kami butuh pengasuh yg mampu meyakini dan menerapkan nilai2 yg kami anut dalam keseharian, terutama terkait anak2 kami.
Namun, membenahi kerusakan yg sudah terjadi memakan waktu yg jauuuhhh lebih lama dan usaha yg jauuuhh lebih berat daripada membuat kerusakan.

Ingatkah saya pernah menyebutkan bahwa dalam mendidik anak kemampuan komunikasi itu sangat penting?

Hal ini saya buktikan saat kami berusaha menyadarkan Ifan dari kecemburuannya.
Saya harus menjelaskan setiap keputusan yg kami ambil jika terjadi konflik diantara Ifan dan Fian, dimana penjelasan tsb harus bisa meyakinkan Ifan bahwa keputusan ini adil adanya.
Saya harus berusaha mengorek pendapat Ifan ttg keadilan yg bagaimana yg menurutnya seharusnya saya lakukan, lalu meluruskan pandangannya jika ternyata keliru.

Belajar dari pengalaman diri saya sendiri diwaktu kecil, anak yg tidak mengungkap kecemburuannya bukan berarti hal tsb tidak ada, minimal tidak pernah terlintas dibenaknya.
Jujur saja, saya pernah merasa cemburu dan menganggap orangtua saya lebih menyayangi kakak kedua saya hanya karena perbedaan cara beliau ketika memarahi kami berdua : jika memarahi saya dilakukan dgn penuh ketegasan, namun saat memarahi kakak saya dilakukan dgn penuh kelembutan.
Tentu saja saya saat itu belum memahami bahwa hal tsb dilakukan orangtua kami semata2 karena perbedaan karakter saya dan kakak yg bagaikan langit dan bumi jauhnya. Saya keras (bisa jadi keras hati dan keras kepala hihihi...), sementara kakak saya lembut hatinya dan sensitif pula :D
Karena itulah saya berusaha menggali potensi penyebab kecemburuan Ifan dari dari setiap sudut yg ada, dan itu sungguh tidak mudah, membutuhkan waktu, komitmen dan kesabaran.

Saya menjelaskan kepada Ifan bahwa Ifan pun pernah mengalami waktu eksklusif yg lebih banyak dgn saya persis Fian, yaitu saat dia seumur adiknya.
Saya menjelaskan bahwa kewajiban anak sulung memang banyak seperti menjadi teladan bagi Fian, bertanggungjawab atas adiknya ketika kami tidak ada, dll, namun itu juga sejalan dgn hak yg Ifan dapatkan, misalnya rasa percaya dari kami dan rasa hormat dari adiknya.
Saya juga mulai mengatur jadwal eksklusif utk jalan2 hanya berdua dgn Ifan tanpa keikutsertaan adiknya, sekaligus menjelaskan kepada Fian mengapa abangnya membutuhkan hal tsb.
Selain itu, saya meminta Ifan membiasakan diri mengucapkan istighfar setiap kali rasa cemburu muncul di dalam hatinya, karena cemburu termasuk kategori penyakit hati yg bisa dihilangkan dgn dzikir dan doa.

Alhamdulillah, keputusan saya utk resign akhirnya mempermudah hal tersebut, karena saya jadi memiliki waktu lebih banyak utk dibagi dgn anak2.
Kehadiran saya mendampinginya ketika Ifan berjuang mengatasi dan bangkit dari bully sangat membantu meyakinkan dirinya bahwa saya "ada utknya", bahwa Ifan sangat penting bagi saya.
Akhirnya, sejalan dgn waktu Ifan bisa meyakini bahwa kami memiliki kasih sayang dan senantiasa berusaha bersikap adil semampu kami sebagai manusia dan orangtua.

Jadi, jika teman2 menghadapi kecemburuan diantara anak2 kalian, berusahalah menggali sampai ke dasarnya.
Karena tidak semua anak mampu mengatasi dan berpikir lurus ttg hal ini.
Bisa jadi semua baik2 saja meski kita tidak ikut campur meluruskan, namun tidak menutup kemungkinan hal ini bisa menjadi potensi kebencian : kebencian terhadap adik dan kebencian thd orang tua.
Dan karena kebencian yg berawal dari rasa iri dan dengki merupakan penyakit hati, tentu pada akhirnya bisa merusak hati anak2 kita...

Semoga Allah melindungi keluarga kita...

Jakarta, 16 Agustus 2016
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar