Selasa, 02 Agustus 2016

Tentang Mendidik :)

Di Paskibra 78, kami belajar bahwa mendidik itu harus lengkap dasar dan prosesnya.
Untuk dasar, tidak cukup hanya teori dan filosofi, tapi juga didampingi prakteknya, setidaknya pada awalnya, menjelaskan maksud dan tujuan pendidikan, serta antisipasi kemungkinan2 yg bisa muncul. Lalu anak didik akan dibiarkan praktek sendiri, tapi dengan tetap dipantau dari jauh. Jika terlihat akan "terjeblos ke lubang" maka akan diperingatkan agar hati2. Tapi jika anak tetap jatuh ke lubang ya gpp krn itu bagian dari proses belajar.

Di masa ini, saya banyak melihat orangtua mengajarkan filosofi hidup kepada anaknya. Tapi tidak dilengkapi dgn praktek hidup di dunia nyata yg bisa menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap suatu kondisi.

Contoh nyata, orangtua yg menuntut anaknya mampu berhati2 di kendaraan umum, tapi anak tidak pernah dilatih naik kendaraan umum. Anaknya selalu dalam kenyaman dan keamanan krn naik mobil pribadi. Ketika suatu waktu sang anak terpaksa naik kendaraan umum, langsung sendiri tanpa orangtua dan kehilangan dompet misalnya, lalu sang orangtua berkata, "Kan udah ayah / bunda bilang kalo di kendaraan umum itu harus hati2!"

Saya pertama kali membawa Ifan naik kendaraan umum saat SD. Kami sesekali naik mikrolet yg cenderung mudah krn pasti dapat tempat duduk, lalu busway, dan di lain waktu naik metromini.
Saya menyampaikan meskipun kami memiliki mobil pribadi, dan saat itu Ifan naik antar jemput ke sekolah, namun kehidupan itu selalu berputar. Bisa saja nanti ketika roda nasib berada dibawah tiba2 Allah membuat kami kehilangan berbagai kenyamanan dan kemudahan ini. Saya katakan saya hanya ingin Ifan siap jika suatu hari nanti kondisi mengharuskan Ifan naik kendaraan umum.
Saya mencontohkan bagaimana posisi kaki saat berdiri agar tubuh lebih seimbang sehingga tidak jatuh ketika kendaraan mengerem mendadak spt umumnya kendaraan umum. Itupun Ifan sempat oleng dan nyaris jatuh. Gpp, saya bilang, keseimbangan Ifan akan lebih baik seiring dgn dia terbiasa. Inilah perlunya latihan praktek.
Saya juga menunjukkan bahwa kerumunan orang yg demikian rapat di kendaraan umum rawan untuk pecopetan atau bahkan potensial terjadi kejahatan.
Dgn berada disana, kami melatih kewaspadaan Ifan ketika berada di kendaraan umum.
Awalnya saya yg bicara dgn kondektur ketika meminta berhenti krn kami akan turun, mengajarkan turun dgn kaki kiri lebih dulu dan menjelaskan apa yg mungkin terjadi jika turun dgn kaki kanan. Kali berikutnya saya meminta Ifan yg bicara dgn kondektur utk meminta berhenti tapi masih saya yg mengingatkan bahwa di halte berikut kita akan berhenti. Kali terakhir saya diam saja walau hampir sampai di halte tempat kami berhenti, betul2 hanya mendampingi dan membiarkan Ifan seolah naik bis sendiri dgn menentukan tempat berhenti dan bicara dgn kondektur.
Semua dilakukan secara bertahap hingga Ifan bisa kami lepas naik kendaraan umum sendirian.
Kapan kami melepas Ifan naik kendaraan umum sendiri?
Ketika Ifan bilang siap dan bisa setelah mencoba beberapa kali dgn saya dampingi.

Saat mengetahui Ifan akan naik busway utk pergi dan pulang sekolah di SMK Telkom, suami saya menambahkan nasehatnya. Gunakan handsfree utk HPnya saat di busway boleh sambil mendengarkan lagu, agar ketika HP berbunyi dia tidak perlu mengeluarkan HP dan memancing terjadinya kejahatan selain jadi penanda bahwa ketika tiba2 lagu berhenti maka kemungkinan ada yg mengambil HPnya atau baterai HPnya habis sehingga akan sulit kami hubungi jika perlu :)

Mungkin ada orangtua yg kurang sepakat mengenai cara ini. Lah, kita aja dulu nggak diajari orangtua kita dgn detail spt itu tapi kita bisa paham sendiri kog hehehhe...
Tapiiii... bertahun2 mendidik adik2 Paskibra 78 dan para staff saya di kantor dulu, saya menemukan perbedaan yg sangat besar utk anak2 yg lahir sebelum dan setelah th 1985.
Entah karena apa, anak2 yg lahir setelah th 1985 sepertinya kebanyakan lebih sulit mengkorelasikan nilai2 hidup dgn applikasi hidup. Mereka harus diajari detail baru bisa paham :(

Lalu bisakah anak2 menjadi paham jika pendidikannya "tidak lengkap" dari dasar (teori dan prakteknya) juga prosesnya (berbagai ilmu utk antisipasi)?
Bisa saja.
Tapi kemungkinan besar akan lebih lama prosesnya dan lebih "babak belur" juga :)

Salahkah orangtua yg "tidak lengkap" mengajari?
Tentu tidak, krn banyak faktor yg menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Tapi menjadi salah jika orangtua yg "tidak lengkap" mengajari namun menuntut anaknya "sempurna" dgn tidak melakukan kesalahan.
Dan sayangnya, hal itulah yg saat ini banyak terjadi...

*Saya pun harus introspeksi diri, dan belajar mengikhlaskan anak melakukan kesalahan meski telah kita ajari... karena dari kesalahan tersebut mereka akan belajar dan insya allah kelak akan memiliki filosofi hidup sendiri...

Jakarta, 2 Agustus 2016
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar