Jumat, 30 Oktober 2015

Ifan : Antara Keinginan dan Kebutuhan :)

Ulang tahun Ifan tahun ini lumayan unik :)
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kami biasanya merayakan ulang tahun bersama keluarga inti dengan makan bersama keluarga inti di luar rumah atau di rumah saja.
Tahun ini sedikit berbeda, karena jadwal ulangan harian Fian.

Ulang tahun Ifan tahun ini pada hari Rabu, 28 Oktober 2015 tepat pada hari sekolah. Fian kebetulan ada ulangan harian tgl 29 Oktober 2015.
Jadi kami terpaksa berkompromi.
Saya memberikan pengertian kepada Fian, bahwa saya, suami dan Ifan akan pergi untuk membeli hadiah ulang tahun bagi Ifan, sementara Fian karena ada ulangan harian keesokan harinya belajar di rumah dengan Kak Tri, guru privat anak-anak kami.

Seperti biasa, dengan Fian, tiada hari tanpa negosiasi :D
"Makan malamnya gimana?" tanya Fian.
"Abang Ifan pengen Burger King."
"Ayah, bunda dan abang makan disana?"
"Iya, tapi nanti bunda bungkus dibawa pulang untuk Fian."
Awalnya Fian meminta ikut, tapi saya bertanya, "Terus ulangannya gimana? Nggak belajar?"
Fian (7th) pun berpikir dan mengambil keputusan, "Oke deh, Fian di rumah belajar, tapi Fian minta 2 porsi." :D
"Deal." jawab saya menyetujui :)

Tahun ini, suami dan saya memutuskan bersama bahwa sudah saatnya Ifan memiliki HP Android sendiri.
Usianya 15 th, dan tahun depan insya allah akan melanjutkan sekolah ke tingkat atas.
Sebelumnya, kami memberikan pengertian kepada Ifan, dan menunda pemberian Android kepadanya.
Alasannya jelas, belum menjadi sebuah kebutuhan untuk komunikasi, dan peraturan sekolahnya melarang siswa membawa HP berkamera ke sekolah.
Ifan memahami bahwa dia tidak boleh melanggar peraturan sekolah jika masih mau bersekolah disana.
Jadi, walaupun semua sepupunya sudah memiliki Android atau Blackberry sejak SD, tidak demikian dengan anak-anak kami.

Mengapa sekarang? Mengapa tidak nanti saja saat Ifan sudah lulus?
Karena kami ingin Ifan melatih pengendalian diri agar penggunaan HP Androidnya tidak mengganggu kegiatan belajar sehari-hari dari sekarang, dan karena momentnya tepat pas hari ulang tahun :)
Jadi, saat ini kami anggap yang dulunya hanya merupakan sebuah keinginan sudah akan menjadi sebuah kebutuhan untuk saat Ifan nanti melanjutkan ke SMA/SMK yang kegiatannya bisa jadi lebih banyak di luar rumah dibandingkan SMP.

Saat diberitahu kepada Ifan bahwa kami ingin membelikan HP Android, Ifan luar biasa gembira, langsung memeluk erat saya, "Makasih ya Bun..." katanya dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi bunda dan ayah nggak bisa membelikan HP Android yang terlalu canggih atau paling mutakhir ya Fan, yang sedangan saja budgetnya, maksimal sekitar 2 jutaan, supaya cukup awet jadi efisien secara harga dan pemakaian. Karena Ifan belum perlu dan belum pantas menggunakan gadget yang canggih dan terlalu mahal." kata saya memberikan batasan.
"Iya bun, nggak apa-apa, terserah bunda aja baiknya gimana..." jawab Ifan.

Di counter HP, seorang sales mencoba menggiring kami ke Android keluaran terbaru dengan kecanggihan dan harga yang melangit.
Dengan tegas saya menggeleng, "Anak saya baru 15 th, masih SMP kelas 9. Masih belum butuh yang sekelas itu. Kalau sekarang saja saya sudah membelikan yang secanggih itu, nanti seandainya waktu SMA/SMK harus ganti HP, secanggih apa lagi saya harus membelikannya?" jawab saya diplomatis.
"Iya juga ya..." si sales menanggapi sambil terlihat berpikir.
Mungkin dia berpikir, pelit amat ih orangtuanya hahahha....

Jadi, sekarang, karena peraturan sekolah masih belum boleh bawa HP berkamera ke sekolah, HP Android Ifan tinggal di rumah saja. Dan setiap pulang sekolah Ifan baru boleh memegang HP-nya setelah selesai menyusun buku dan mengerjakan tugas sekolah untuk esok hari :)

Dan inilah hasil foto dengan kamera HP Ifan yang baru :*


Jakarta, 30 Oktober 2015
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 07 Maret 2015

Mari Menggunakan Kata "Daripada" dan "Mendingan" Pada Saat Yang Tepat :)

Masih ingat kata mutiara "Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit"?
Tentu masih ya :)

Atau, pernah dengar ungkapan "Kalo bermimpi itu jangan tanggung-tanggung"?
Mungkin pernah ya :)

Apa sih kesamaan antara kedua kutipan diatas?
Keduanya sama-sama menyarankan kita menetapkan suatu keinginan setinggi-tingginya untuk memacu semangat kita dalam mencapainya.

Berbicara tentang cita-cita dan mimpi, bedakan dengan berbicara mengenai target.
Jika untuk cita-cita dan mimpi kita boleh meletakkannya setinggi mungkin, sementara untuk target kita harus lebih realistis.

Katakanlah kita ambil contoh sebuah perusahaan.
Sebuah perusahaan yang sehat akan selalu menetetapkan target yang lebih tinggi daripada hasil pencapaian selama ini. Tapi target ditetapkan tidak boleh terlalu tinggi seperti mimpi. Karena target harus dicapai dalam jangka pendek, sementara mimpi boleh dicapai dalam jangka panjang. Meskipun demikian, sangat jarang target yang ditetapkan menurun dibandingkan target sebelumnya. Seburuk apapun kondisinya, biasanya minimal target yang ditetapkan akan sama dengan target yang sebelumnya. 

Lalu apa kaitannya hal yang saya tulis diatas dengan judul tulisan ini? :)

Saat ini saya melihat banyak orang menggunakan kata "daripada" dan "mendingan" pada saat yang belum tepat, bahkan tidak tepat.

"Daripada berhijab tapi memiliki sifat yang jahat, mendingan nggak berhijab tapi memiliki sifat yang baik."
Mungkin banyak yang setuju kalimat diatas :)
Tapi saya tidak setuju.
Mengapa?
Karena hal diatas bukan merupakan realitas yang harus saya pilih saat itu juga.
Karena kondisi diatas hanya merupakan pengandaian.
Karena saya diminta untuk menurunkan standar nilai-nilai yang telah saya anut pada saat yang belum tepat.
Maka saya memilih tetap dengan standar nilai ideal yang seharusnya yaitu "Berhijab dan memiliki sifat yang baik" dan tidak menentukan pilihan saya dari kedua pilihan yang sama-sama memiliki kekurangan, karena memang tidak perlu :)

Lain halnya jika saya dihadapkan pada keharusan untuk memilih pilihan nyata di depan mata.

Misalnya ada dua orang dengan karakter seperti diatas :
Si A telah berhijab tapi memiliki sifat yang jahat
Si B belum bersedia berhijab tapi memiliki sifat yang baik
Namun keduanya sama-sama profesional dan memiliki kemampuan kerja yang baik.

Situasi 1 :
Saya diminta memilih salah satu dari mereka untuk menjadi rekan kerja saya satu team. Mana yang akan saya pilih?
Tentu saya akan memilih si B.
Mengapa?
Karena keadaan mengharuskan saya memilih salah satu atau team saya akan pincang. Dan saya memilih orang yang beresiko lebih kecil untuk menjadi duri dalam daging dan menghancurkan kerjasama diantara seluruh anggota team.

Situasi 2 :
Saya diminta untuk memilih salah satu dari mereka untuk ikut dalam team negosiasi ke Aceh dan akan berhadapan dgn penduduk asli.
Tentu saya akan memilih si A.
Mengapa?
Karena di daerah yang penduduknya menjunjung tinggi syariah Islam, akan lebih mudah melakukan lobby jika kita terlihat memiliki keyakinan yang sama.
Sama seperti saya akan memilih si B jika kunjungannya ke penduduk asli Manado.
Karena saya harus memilih dengan pertimbangan yang tepat demi suksesnya target dan tujuan bersama.

Ini adalah contoh saat saya harus bersedia mengabaikan standar nilai ideal yang telah saya tetapkan pada saat yang tepat dan menggunakan skala prioritas atas tiap-tiap nilai tersebut karena keadaan mengharuskan demikian.

Namun demikian tetap akan ada type orang yang tidak mau memilih jika pilihannya tidak sesuai standar, dan memilih untuk melepaskan kesempatan menambah anggota team.
Orang type seperti ini akan memilih kerja rodi bersama team yang sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan olehnya daripada memilih salah seorang anggota yang dibawah standar.

Sama seperti kondisi sekarang ini.
"Daripada pemimpin yang santun tapi korupsi, mendingan pemimpin yang kasar tapi jujur".
Jika hal ini ditanyakan kepada saya, "Pemimpin mana yang lebih baik bagimu?
Maka saya akan berkata, "Tidak keduanya. Bagi saya, yang baik adalah pemimpin yang santun dan jujur."
Mengapa?
Karena saat ini pada kenyataannya saya belum perlu menentukan pilihan.
Jadi saya memilih untuk tetap mempertahankan standar nilai ideal yang telah saya tetapkan selama ini.

Namun, jika saya dihadapkan pada kondisi harus memilih seperti misalnya saat Pilkada atau Pilpres, barulah saat itu saya akan mengabaikan standar nilai ideal saya, menerapkan skala prioritas untuk menyesuaikan dengan pilihan yang ada :)

Seperti saat Pilpres yang lalu, itulah saat yang tepat bagi kita bersikap realistis dan mengabaikan standar nilai ideal yang kita inginkan dari seorang Presiden dan orang-orang terdekatnya, dan menggunakan skala prioritas.

Ada yang memilih Bp. Jokowi karena lebih tidak mau memilih Golkar yang orang-orangnya sudah banyak "mengemplang" Indonesia, walaupun mereka juga tidak menyukai PDIP.
Ada yang memilih Bp. Prabowo karena lebih tidak mau memilih Syiah yang berada di team Bp. Jokowi, walaupun mereka juga tidak menyukai Golkar :D
Dan ada banyak pertimbangan lain yang mendasari pemilihan atas kedua calon ketika itu.
Masing-masing punya pertimbangan sendiri, dan itu sah-sah saja karena memang dihadapkan pada situasi kita harus memilih kedua calon yang keduanya memiliki kekurangan alias tidak ideal.

Tapi, tetap juga mungkin ada yang bilang, saya lebih baik golput, daripada memilih yang calon yang keduanya buruk :D
Ya, itu juga hak mereka hehehe...

Jadi, sebaiknya janganlah menggunakan kata "Daripada" dan "Mendingan" pada sesuatu hal yang terkait "Value" alias standar nilai ideal.
Karena value itu sama seperti dgn cita-cita dan impian, yang sebaiknya kita letakkan setinggi-tingginya. Bahkan target saja sebisanya kita tetapkan lebih baik, mengapa untuk value kita bersedia menurunkan standarnya.
Kita bisa menggunakan kedua kata tersebut saat kita memang dihadapkan pada situasi harus memilih.
Dengan demikian, standar nilai yang telah kita tetapkan tidak akan menurun standar idealnya.

Tidak mengapa jika kenyataan yang ada pencapaiannya jauh dibawah standar nilai ideal dalam hidup kita. Kita kan bisa belajar untuk ikhlas menerimanya.
Namun jangan membuat standar ideal kita menurun hanya karena kondisi yang ada. Karena, hal ini berpotensi mengakibatkan pencapaian yang semakin menurun pula...

Jakarta, 6 Maret 2015
Yeni Suryasusanti

Jumat, 06 Maret 2015

Memberi Obat Pada Anak Tanpa Paksaan :)

Tidak ada manusia yang hidup sehat selamanya. Apalagi bayi dan balita, yang kondisi tubuhnya cenderung lebih rentan terhadap virus dan bakteri dibandingkan dengan orang dewasa.
Melihat beberapa teman dan keluarga yang harus memaksa anak agar minum obat ketika sedang sakit, bahkan ada yang sampai dicekoki dgn dipijit hidungnya agar terpaksa menelan, saya ingin sharing bagaimana selama ini saya berhasil memberikan obat kepada Ifan dan Fian tanpa harus dipaksa apalagi dicekoki :)

Ketika melihat suatu masalah, entah masalah orang lain maupun masalah saya sendiri, hal pertama yang terpikirkan oleh saya adalah solusi. Sementara cara menghasilkan solusi adalah dengan menghilangkan sumber masalahnya.

Contoh dalam masalah minum obat.
Mengapa anak menolak minum obat?
Saya yakin jawabannya pasti hanya satu : PAHIT!!!

Umumnya pertama kali bayi merasakan diberikan obat berupa puyer. Ketika itulah trauma pertama kali terjadi. Bayi merasakan puyer obat itu pahit. Namun, karena masih belum berdaya apa-apa, meski kali berikutnya mencium bau obat mungkin bayi sudah memalingkan kepala atau bahkan menangis, pemaksaan oleh orangtua masih bisa terjadi. Lama kelamaan, dipaksa secara biasa saja tidak cukup. Ketika bayi tumbuh menjadi batita atau balita yang sudah bisa menolak dengan sikap dan kata-kata, orangtua yang mulai kehabisan akal pun mencekokinya.
Saya pernah melihat bagaimana seorang anak usia 4th menangis tidak mau minum obat, lalu oleh orangtuanya dipegang kepalanya dan dimasukkan obat dimasukkan secara paksa ke mulutnya. Ketika secara reflek anak tersebut mau memuntahkan obat, orangtuanya memencet hidungnya sehingga otomatis sang anak menelan dan obat itupun berhasil masuk.
Drama kejadian itu akan terus berulang hingga anak punya kesadaran bahwa perlu minum obat agar 
segera sembuh, mungkin ketika anak sampai pada di usia 9-10th.

Lalu, bagaimana solusinya agar anak bahkan bayi mau minum obat secara sukarela?
Tentu saja, hilangkan akar permasalahannya, yaitu : OBAT TIDAK BOLEH PAHIT.

Nah, sekarang, bagaimana cara agar obat menjadi TIDAK PAHIT alias menjadi MANIS?
Sebenarnya, kita bisa meminta Dokter menambahkan pemanis pada puyer. Namun, saya pernah mencicipi obat model ini, bagi saya tetap ada rasa pahit, sehingga saya memutuskan untuk menggunakan cara ala saya :)

Cara pemberian obat puyer kepada anak tanpa memaksa ala saya :

  1. Tuang puyer di mangkuk kecil atau di sendok yang cukup.
  2. Tambahkan madu secukupnya untuk melarutkan puyer
  3. Aduk puyer dan madu dengan tusuk gigi supaya rata dan menjadi emulsi
  4. Letakkan sendok di depan anak, colek dengan jari, dan biarkan anak mencicipi dgn menjilatnya
  5. Karena anak sudah merasakan manis, anak tidak akan menolak minum obat yg diberikan kepada anak


Cara ini sudah saya konsultasikan dgn dokter spesialis anak saya sebelumnya. Beliau berkata selama anak tidak ada alergi madu, cara ini boleh digunakan karena obat tidak masalah jika dicampur dengan madu.

Ketika Ifan berusia 4th, mentor paskibra saya mengingatkan untuk mulai melatih Ifan minum obat dengan kapsul. Karena bagaimanapun juga minum obat puyer itu lebih merepotkan.
Cara yang disampaikan oleh beliau adalah dengan berlatih menelan potongan roti yang dipotong kotak-kotak kecil.
Sebelum latihan ini sempat saya jalankan kepada Ifan, Ifan jatuh sakit dan kami pun ke Dokter yang 
biasa menangani Ifan sejak bayi.
Pada saat menulis resep obat, Dr. Ferdy Harahap SPA bertanya apakah Ifan sudah bisa minum kapsul. Saya menjawab belum, namun ingin mulai beralih dari puyer ke kapsul.
Resep obat tetap ditulis dalam puyer. Namun, oleh Dr. Ferdy, saya disarankan membeli kapsul kosong di apotik untuk latihan dulu. Jika berhasil, obat puyer bisa dibawa ke apotik untuk minta dikapsulkan.

Cara saya melatih anak minum kapsul adalah dengan contoh dan kata-kata dilakukan bersama-sama dengan anak :

  1. Siapkan air minum untuk saya dan Ifan
  2. Ambil kapsul kosong, satu kapsul saya pegang dan satu kapsul saya berikan kepada Ifan
  3. Memberikan instruksi sambil mencontohkan dan meminta Ifan mengikuti bersama-sama : Letakkan kapsul di lidah dekat pangkal tenggorokan, kemudian minum sambil menengadahkan kepala ketika menelan.
  4. Kapsul akan dengan mudah meluncur ke tenggorokan
  5. Jika dengan kapsul kosong sudah berhasil dgn lancar, lakukan dengan kapsul yang telah diisi puyer oleh apotik


Karena sudah merasa percaya diri bisa minum obat kapsul, saat kelas 2 SD, Ifan mau mencoba dan berhasil minum obat tablet dan kaplet :)

Semoga sharing ini bermanfaat ya teman-teman :)

Jakarta, 6 Maret 2015
Yeni Suryasusanti

Rabu, 25 Februari 2015

Ketika Fian Belajar Tentang Kehilangan :)

Tadi malam atas permintaan darurat saya, suami membeli pisang sunpride. Karena belinya di minimarket, pilihan tidak banyak. Akhirnya hanya membeli 3 buah saja yg matangnya sudah pas dan siap dimakan.
Saya sebut darurat, karena Ifan berkata BAB-nya nggak enak, meski belum terhitung diare. Pisang adalah buah alami yg bisa membantu menormalkan.

Yang sedikit itu memang lebih enak jadi rebutan dibandingkan jika membeli banyak :D
Suami saya makan satu, dan sepulang sekolah Ifan juga memakan satu.
Fian yang matanya mulai mengantuk menunggu waktu mengaji ba'da ashar melihat abangnya makan pisang, timbul keinginannya juga. Fian pun mengambil pisang yang tinggal satu tersebut, dan membukanya.
Mungkin karena mengantuk, pisang yg sudah dibuka kulitnya tergelincir dari genggamannya dan jatuh ke lantai.
Ifan segera menghalangi adiknya yang mau mengambil dan tetap memakan pisang tersebut.
"Jangan Fian, udah jatuh ke lantai, kotor, nanti Fian sakit perut!" larang Ifan.
"Tapi belum 5 menit, bangggg!" rengek Fian :D
Ifan tetap berkeras melarang, dan akhirnya Fian menangis.

Kejadian tersebut terjadi saat saya sedang di kamar mandi.
Mendengar tangisan Fian, saya bertanya pada Ifan ada apa. Ifan menjelaskan segalanya, Fian makin kencang tangisnya.
Antara geli dan iba, saya berkata pada Fian, "Kalau Fian mau berhenti menangis dulu, bunda akan keluar dan peluk Fian."

Setelah beberapa kali kalimat itu saya ucapkan, dengan usaha yg keras Fian mengendalikan tangisnya sejenak.

Metode ini memang saya gunakan untuk kejadian yang tidak gawat sejak dulu saya mendidik Ifan, karena saya ingin mereka terbiasa mengendalikan emosi sejak dini, dan tidak memanfaatkan tangisan utk meraih simpati. Meski jika sedih saat bercerita, mereka tetap boleh menangis kembali :)

Dengan Ifan dulu, sangat banyak moment saya untuk terlibat percakapan filosofis, karena memang Ifan bukan anak yang aktif secara fisik, tidak terlalu suka bermain dengan teman sebaya di lingkungan rumah. Menurut Ifan kata-kata mereka cenderung kasar dan tidak sopan :)
Dengan Fian, moment percakapan filosofis jarang terjadi, karena karakter Fian yang bertolak belakang dengan Ifan, dia suka bermain bersama anak-anak tetangga, dan dengan demikian memangkas waktunya bersama saya.

Saya pun memeluk Fian.
"Fian pengen makan pisang, Bun," airmatanya kembali mengalir.
"Tapi kan pisangnya tadi jatuh kena lantai."
"Kan belum 5 menit..."

(Duh ini efek pergaulan dgn teman-teman nih pastinya karena tidak ada istilah belum 5 menit dalam pengajaran saya :D)
"Kira-kira, kalau jatuh kena lantai walau belum 5 menit kumannya udah nempel di pisang belum ya?" tanya saya sambil tersenyum.
"Ya udah sih..." jawab Fian masih dengan berlinang airmata.
"Fian mau makan pisang yang udah ada kumannya? Silakan aja, nanti yg merasakan sakit perutnya juga Fian..." kata saya ringan sambil tetap tersenyum.
"Nggak mauuuu..." Tangis Fian :D
"Ya sudah, bagus kalo gitu..."
"Tapi Fian pengen pisang..."
"Pisang goreng mau? Ada pisang tanduk tuh nanti dibikinin," bujuk saya.
"Nggak mau, maunya pisang kayak tadiiii (sunpride)..."
"Ya sudah, sore ini kan memang bunda mau ke carrefour, nanti bunda beli ya..."

Fian masih juga menangis.

Memang sih, saya mengerti bagaimana kesalnya, pisang yang sudah di tangan dan hampir masuk ke mulut jatuh... Sakitnya tuh disiniiii *tunjuk tenggorokan :D

Akhirnya saya berkata sambil tetap memeluknya,
"Allah mau Fian belajar tentang kehilangan. Bagaimana sedihnya kehilangan sesuatu yang ada di genggaman. Karena semua itu punya Allah, Nak, dan Allah bisa mengambil nikmatnya kapan saja. Dalam hidup Fian nanti, bukan hanya pisang yang mungkin akan hilang. Banyak hal, sayang... Tapi percayalah Allah akan ganti dengan yang lebih baik. Tidak harus sama persis, tapi pasti lebih baik menurut Allah. Sekarang Fian kehilangan pisang karena jatuh, tapi Insha Allah akan diganti dengan pisang lain lebih baik nanti sore bunda beli..."

Tangis Fian mulai reda, tinggal sesenggukan :)

"Ingat bunda pernah pernah cerita kalau bunda sedih waktu kakak Nada meninggal?" tanya saya sambil mengusap rambutnya.
Fian mengangguk.
"Allah juga mau bunda belajar tentang kehilangan. Tapi, Allah juga memberi ganti dengan kelahiran Fian. Meski Fian anak laki-laki bukan anak perempuan seperti kakak Nada, tapi Bunda bahagia Fian ada. Nah, begitu juga dgn pisang, nanti Allah beri gantinya untuk Fian lewat bunda."
"Tapi kalau di carrefour nggak ada gimana?"
"Kalau perlu, kita ke Total Buah. Bunda janji. Masih percaya janji bunda kan? Kalo bunda janji ke Fian nggak pernah ingkar kan?"
Fian mengangguk, masih sedikit sesenggukan.
"Sekarang tarik nafas panjang lalu hembuskan, biar nafasnya lega," pandu saya beberapa kali sambil mengusap sisa air matanya.

Akhirnya airmatanya berhenti mengalir, dan Fian pun mandi untuk kemudian berangkat ke mesjid untuk mengaji :)


*Ah, mungkin sekarang kau belum benar-benar memahami dalamnya percakapan ini Nak, tapi bunda berdoa semoga percakapan ini tertanam dihati. Sehingga jika suatu hari nanti kau mengalami kehilangan yang meremukkan hati, kau tetap bisa berprasangka baik kepada Allah dan menerima dengan ikhlas semua yang telah terjadi...

Jakarta, 25 Februari 2015
Yeni Suryasusanti


Catatan : Setelah tulisan ini dipublish di facebook, mendapat ilmu dari seorang teman yang meninggalkan comment :
Herry Hasibuan Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makanan salah satu kalian jatuh maka hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaknya di makan dan jangan dibiarkan untuk setan” Dalam riwayat yang lain dinyatakan, “sesungguhnya setan bersama kalian dalam segala keadaan, sampai-sampai setan bersama kalian pada saat makan. Oleh karena itu jika makanan kalian jatuh ke lantai maka kotorannya hendaknya dibersihkan kemudian di makan dan jangan dibiarkan untuk setan. Jika sudah selesai makan maka hendaknya jari jemari dijilati karena tidak diketahui di bagian manakah makanan tersebut terdapat berkah.” (HR Muslim no. 2033 dan Ahmad 14218)

Alhamdulillah niat berbagi manfaat malah jadi mendapat manfaat, meskipun untuk kasus pisang dalam tulisan ini memang pisangnya sudah matang sekali sehingga mengakibatkan sulit dibersihkan kecuali dicuci air panas ya... Tapi dengan mengetahui hadist ini akan saya pikirkan bagaimana penerapan yg aman utk anak2 di masa datang :)