Ada beberapa fenomena di lingkungan sekitar saya yang belakangan ini membuat saya sedikit terganggu.
Hal ini mungkin muncul akibat sejak SMA saya - dan mungkin adik-adik paskibra yang dekat dengan salah seorang mentor Paskibra 78, Agung M. Saleh merasakan hal serupa - terbiasa membahas hampir seluruh gejala yang terlihat pada lingkungan sekitar kami, sambil mencoba mereka-reka mengapa hal itu terjadi dan mencoba merefleksikan pada diri kami sebagai bahan introspeksi. Mencari hakikat, itu bahasa yang sering kami gunakan :)
"Kurang kerjaan loe emang ya, segala yg kayak gitu dibahas," pernah salah seorang sahabat saya berkomentar :D
Tapi sungguh, bisa berjam-jam tanpa bosan kami membahas segala hal tentang pengamatan fenomena di lingkungan sekitar kami jika sedang kumpul bersama teman-teman Paskibra 78...
Tentang Hamparan Sajadah
Di awal-awal bulan Ramadhan dan pada hari-hari besar Islam, saya terkadang sedikit merasa terganggu dengan kebiasaan di mesjid komplek kami di barisan wanita : hamparan sajadah tanpa penghuni, yang dihamparkan diatas sajadah mesjid yang berbentuk karpet berbentuk jajaran sajadah pula.
Para wanita biasa datang jauh lebih dulu dari waktu yang ditentukan untuk shalat, meletakkan sajadah pribadinya, kemudian pulang kembali untuk mengerjakan rutinitas di rumahnya. Tidak jarang pula menyuruh para pembantu untuk melakukannya. Khawatir mesjid penuh dan tidak kebagian tempat, begitu alasannya saat saya bertanya.
Akibatnya, jamaah wanita yang datang belakangan menemukan mesjid di bagian wanita telah penuh oleh sajadah, namun kosong tanpa pemiliknya. Akhirnya menjadi serba salah karena jika menggeser sajadah khawatir yang punya menjadi marah.
"Kog mirip dengan pelaksanaan Calo Kereta Api menjelang mudik lebaran," pernah terpikir suatu saat oleh saya demikian heheheheh...
Belum lagi sajadah yang dibentangkan berukuran besar-besar, dan pemiliknya yang meskipun berukuran tubuh kecil akan shalat ditengah-tengah, sehingga celah antar jamaah akan menganga lebar. Pada saat imam mesjid meminta jamaah merapatkan shaf, maka para wanita akan merapatkan sajadah, bukan merapatkan badan, seolah tidak rela jika sajadah mereka ditimpa oleh wanita lain.
Salah seorang sahabat NCC saya, Ani Lizzarni, pernah menuliskan kegalauan serupa dalam tulisannya yang berjudul Hamparan Sajadah http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150255139420109 :)
Kotak-kotak sajadah, mungkin secara tidak langsung membuat para wanita berpikir tentang "batas area".
Pernah saat shalat di suatu mesjid, saya lupa mesjid apa yang jelas mesjid besar, saya menemukan karpetnya merupakan karpet tebal dan polos, hanya ada batas antar shaf, bukan antar jamaah, sehingga memudahkankan jamaahmerapatkan shaf tanpa secara mindset terkotak-kotak oleh batas antar jamaah ataupun sajadah karena jamaah tidak perlu lagi membawa sajadah di mesjid yang sudah memiliki karpet yang sangat indah dan tebal.
Berbeda dengan barisan pria, saya tidak pernah menemukan para pria meng"kavling" mesjid dengan sajadah-sajadah mereka. Pun tidak pernah melihat para pria kesulitan merapatkan shaf ketika akan mulai shalat.
Beberapa pertanyaan yang membuat saya galau :
- Apakah booking kavling dengan hamparan sajadah ini secara bawah sadar dilakukan wanita karena wanita membutuhkan rasa aman dan nyaman lebih besar dibanding pria?
- Jika para wanita telah mengetahui aturan bahwa saat shalat kerapatan shaf adalah hal utama namun tidak menjalankannya, apakah ini menunjukkan gejala bahwa wanita ternyata lebih sulit mematuhi peraturan dibandingkan pria jika aturan tersebut tidak membuatnya nyaman?
- Apakah kesulitan merapatkan shaf pada jamaah wanita ini berbanding lurus dengan lebih mudahnya wanita dipecahbelah dibandingkan pria?
Meskipun demikian, alhamdulillah saya masih menemukan wanita yang merasakan kegalauan serupa dengan saya, sehingga kami senantiasa mengingatkan diri kami masing-masing agar jangan sampai melakukan hal-hal yang membuat kami galau ini :)
Sifat dan tata cara merapikan shof telah tercantum dalam banyak hadits diantaranya sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir RA, beliau berkata, ”Rasulullah SAW pernah menghadap manusia dengan wajahnya seraya mengatakan, 'Rapikanlah shaf-shaf kalian (3x). Demi Allah, kalian merapikan shof kalian, atau kalau tidak maka Allah akan menjadikan perselisihan diantara hati kalian.’ Nu’man berkata, ’Lalu saya melihat seorang merapatkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” (HR. Abu Dawud no. 662)
Tentang Shalat Berjamaah
Masih tentang seputar jamaah pria dan wanita, saya melihat jika ada pria yang sedang shalat sendiri di measjid/mushalla, dan datang pria kedua yang juga ingin shalat, saya selalu melihat pria kedua menepuk bahu pria pertama pertanda ingin ikut berjamaah dan berdiri satu langkah kebelakang di samping pria pertama. Kemudian jika datang pria ke ketiga, maka dia akan menepuk bahu pria kedua, dan secara otomatis pria kedua mundur satu langkah sehingga mereka membentuk shaf di belakang imam, sehingga pria keempat dan seterusnya datang belakangan akan langsung mengisi shaf di kiri dan kanan mereka.
Jika ada lebih dari satu pria datang pada saat rakaat terakhir sudah dilakukan, maka mereka akan menunggu sebentar untuk setelahnya shalat berjamaah di kloter berikutnya.
Sangat jarang saya melihat pria yang shalat di mesjid/mushallah tidak berjamaah, kecuali saat itu memang hanya sendirian.
Berbeda di barisan wanita, meskipun saat itu jamaah pria sedang shalat berjamaah, bisa dihitung dengan jari jamaah wanita mengikutinya.
Sebagian besar justru shalat sendiri-sendiri.
Pernah saya mau shalat di mushalla sebuah mall yang terpisah tempat shalat wanita dan prianya, saya bertanya kepada seorang wanita berjilbab trendi yang juga sudah siap melaksanakan shalat, "Mau berjamaah, mbak?"
Sang wanita terlihat agak sedikit kaget, dan menjawab, "Oh, silakan duluan aja mbak..."
Setelah saya selesai shalat, saya menemukan dia selesai tidak lama setelah saya selesai :)
Pernah juga saya menepuk bahu seorang wanita yang sedang shalat sendiri di mushalla khusus wanita dengan tujuan ingin ikut sebagai jamaah, wanita tersebut tetap shalat sendiri dan tidak mengeraskan takbirnya :D
Tentang hal ini, berikut kegalauan saya :
- Dengan bacaan dan gerakan yang sama, dengan selisih waktu yang tidak jauh berbeda, namun untuk pahala yang jauh lebih besar, mengapa wanita lebih sulit diajak shalat berjamaah dibandingkan pria? Apakah hal ini karena begitu banyaknya tugas wanita sehingga merasa khawatir shalat berjamaah lebih lama waktunya dibandingkan shalat sendiri dan menyebabkan berkurangnya waktu mereka untuk menyelesaikan tugas?
- Mengapa ada cukup banyak wanita yang tidak tahu cara shalat berjamaah dan cara menjadi imam/makmum ditengah shalat agar menjadi shalat berjamaah? Apakah karena kurangnya pembahasan di kalangan pengajian wanita mengenai hal ini?
Rasulullah s a.w. bersabda,"Shalat berjamaah itu lebih utama nilainya dari shalat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat” (HR Bukhari dan Muslim).
Tentang Menghakimi Orang Lain dan Berbicara Tanpa Pertimbangan
Beberapa tahun belakangan ini sungguh sering terlihat oleh saya bagaimana banyaknya orang yang dengan mudahnya menghakimi orang lain atas sesuatu yang dijalankan dalam kehidupannya, mulai dari menghakimi presiden, pemerintah, DPR, sampai menghakimi sahabat bahkan kerabat.
Motifnya bisa beragam. Bisa jadi karena merasa lebih pintar atau lebih mengerti dari orang yang dikritiknya, sekedar ingin menonjolkan konsep tentang diri sendiri, atau bisa jadi hanya karena hal yang paling sederhana : ketidaktahuan bagaimana persisnya keadaan dan akibat yang akan terjadi jika orang yang mengkritik tersebut mengalami sendiri seluruh kejadiannya, sehingga dengan mudah mereka menggampangkan permasalahannya.
Contoh paling umum yang pernah saya baca dari media, komentar atas sebuah berita, "Ganyang Malaysia, kita perang saja daripada harga diri kita diinjak-injak!"
Saya sangat paham ini ditunjang oleh idealisme dan cinta tanah air. Saya pun tidak akan menganggap komentar ini salah atau berlebihan bahkan saya akan mengacungkan jempol saya keempat-empatnya (tangan dan kaki) jika yang berkomentar konsekuen dengan ucapannya : yaitu saat benar-benar terjadi perang, orang tersebut dengan gagah berani akan angkat senjata atau minimal merelakan harta bendanya untuk membantu biaya perang. Jangan sampai setelah benar-benar terjadi perang, kembali orang tersebut akan berkomentar gara-gara pemerintah masyarakat di susahkan dengan kondisi perang :)
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kritik, bahkan kritik membangun sangat diperlukan untuk intropeksi diri. Hanya saja, orang yang sering mengkritik terkadang lupa, bahwa ada cara yang santun untuk menyampaikan sebuah pendapat :)
Belum lagi jika ada unsur "sok tahu", yang berarti orang yang menyampaikan kritik tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari masalah yang di kritisi, hanya mengetahui sebagian data saja, sehingga tentu saja kritikan tersebut terdengar absurd oleh orang yang mengetahui masalahnya dengan jelas :)
Bukti nyata, belum lama ini saya menerima kritikan dari seorang kerabat, yang mengatakan bahwa saya salah karena saya terlihat "menikmati" ujian hidup dan menurut pendapatnya saya kurang berserah diri kepada Allah.
"Ujian itu untuk diselesaikan, bukan dinikmati, Yeni..." katanya.
"Loe terlalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan, menurut gue, loe kurang berserah diri kepada Allah!" lanjutnya.
Saat mendengar kritikan tersebut, jujur saya sangat terpukul, sangat tersinggung dan sulit menerimanya. "Siapa loe yg merasa tahu seluruh hidup gue sehingga berani menghakimi gue?" demikian batin saya bicara.
Kemudian setelah saya intropeksi diri dan yakin bahwa kritikan kerabat saya itu tidak benar, saya akhirnya menyadari bahwa penilaian itu disampaikan mungkin karena kerabat saya tidak melihat saya merasa "terganggu" dengan ujian hidup saya dan karena melihat rasa syukur saya yang tidak putus meskipun ujian menghampiri. Maka hal itu diartikan sebagai "menikmati ujian dan tidak mencari jalan keluar" olehnya.
Padahal, tentu saja saya selalu berusaha mencari jalan keluar karena Islam mewajibkan manusia untuk berikhtiar. Hanya saja, mungkin jalan keluar yang saya ambil tidak saya publikasikan kepada orang yang tidak ada kaitannya dengan permasalahan hidup saya. Pun jika saya publikasikan, mungkin tetap akan menuai kritik pula karena perbedaan pola pikir dan dasar pertimbangan antara saya dengan kerabat saya :)
Sedangkan mengenai terlalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan sehingga mengesankan saya kurang berserah diri kepada Allah, tidak ada yang bisa saya sampaikan selain bahwa saya dilatih untuk tidak bertindak dan berbicara tanpa berpikir, sejak saya kecil, terutama sejak saya bergabung dengan Paskibra 78, sejak mengenal mentor saya : Ayu Magdina dan Agung M. Saleh :D
"Kerjakan kewajibanmu dulu, baru kamu boleh menuntut hak," kata guru PMP saya saat SD.
Mengapa? Karena yang bagi kita merupakan kewajiban akan menjadi hak bagi pihak lain. Jika semua orang sudah mengerjakan kewajibannya, maka tidak akan ada lagi "hak yang harus di tuntut" karena semua hak tentu sudah terpenuhi :)
"Kerjakan porsimu dulu, jangan sibuk mengurusi porsi orang lain," kata mentor Paskibra saya :)
Terutama juga mengutip ucapan Presdir kantor saya, "Jangan datang pada saya hanya dengan membawa masalah. Bawa juga alternatif solusi."
Benar, untuk itulah para manager dan general manager di gaji, untuk membantu mencari alternatif solusi. Nantinya Presdir akan memilih alternatif solusi yang diajukan, mana yang dianggap tepat untuk menyelesaikan masalah perusahaan, atau bisa saja Presdir mengemukakan solusi lain yang tidak terpikirkan oleh manager dan general managernya :D
Inilah alasannya mengapa saya mungkin terlihat terlalu banyak pertimbangan sebelum bertindak maupun berpikir. Saya ingin menyelesaikan porsi saya terlebih dahulu.
Allah memberi manusia otak untuk berpikir, akal untuk mencari jalan keluar, dan hati nurani untuk mempertimbangkan. Jika saya tidak menggunakan pemberian Allah tersebut sesuai dengan porsinya, dengan seenaknya menyerahkan semuanya kepada Allah mentah-mentah, bagi saya itu berarti sama saja dengan saya memperbudak Allah :)
Bagi saya, jika kita sudah menuntaskan bagian kita, tugas kita, pertimbangan kita, barulah kita boleh menyerahkan semua kepada Allah. Apa pun hasilnya akan bisa kita terima dengan ikhlas karena kita sudah menyelesaikan porsi kita. Bisa jadi dengan segala pertimbangan kita, Allah bahkan kelak memilihkan jalan yang tidak masuk dalam pertimbangan kita semula.
Inilah bukti bahwa menuntaskan porsi kita bukan berarti tidak menyerahkan diri kepada Allah. Karena saat semua hal sudah kita pertimbangkan, kita tetap menyerahkan hasil akhirnya pada Allah.
Meskipun demikian, tentu saja tidak semua orang berpendapat sama dengan saya, dan akibatnya akan selalu ada orang-orang seperti kerabat saya, yang tiba-tiba saja mencetuskan kritikan hanya karena kita berbeda sikap dan pola pikir :)
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Muttafaq ‘Alaihi) Lalu dalam hadist lain disebutkan: “Allah SWT memberi rahmat keapda orang yang berkata baik lalu mendapat keuntungan, atau diam lalu mendapat keselamatan.” (HR. Ibnul Mubarak)
Merasakan bagaimana terpukulnya mendapat kritikan langsung yang disampaikan tanpa berpikir panjang dan dengan cara yang kurang santun, membuat saya belajar untuk berhati-hati menyampaikan pendapat, membuat saya belajar untuk tidak menghakimi orang lain, karena selengkap apa pun saya mengetahui tentang orang lain dan masalah yang dihadapinya, tentu saja hanya orang itu sendiri yang lebih tahu kondisi sesungguhnya. Saya bukan Tuhan yang bisa mengetahui semua isi hati dan permasalahan umatnya tanpa diceritakan :)
Untuk teman-teman yang pernah merasakan pedasnya kritikan, berikut saya kutipkan dari buku La Tahzan :
Anda tidak akan pernah dapat membungkam mulut manusia untuk tidak melakukan pelecehan terhadap kehormatan Anda. Meski demikian, Anda dapat melakukan kebaikan dan menghindari perkataan dan kritikan mereka.Jangan pernah membalas cercaan atau olok-olok yang melukai hati Anda! Karena, kesabaranmu dalam menghadapi semua itulah yang akan dengan sendirinya menguburkan semua kehinaan. Kesabaran adalah sumber kemuliaan, diam adalah sumber kekuatan untuk mengalahkan musuh, dan memaafkan adalah sumber dan tangga untuk mencapai pahala dan kemuliaan.Ingat, separuh dari orang yang pernah mencerca atau mengkritik Anda itu akan melupakan cercaan mereka, sepertiganya tidak sadar dengan apa yang mereka lontarkan, dan selebihnya tidak akan mengerti apa dan mengapa mereka mencerca Anda. Maka dari itu, jangan pernah cercaan mereka kau masukkan hati dan jangan pula berusaha untuk membalas apa yang mereka katakan itu.
Bila kita ingin diterima oleh semua pihak, dicintai semua orang, dan terhindar dari cela, berarti kita telah menginginkan sesuatu yang mustahil terjadi dan mengangankan sesuatu yang terlalu jauh untuk diwujudkan.
Dari pada mengangankan sesuatu yang mustahil, akan jauh lebih bermanfaat jika kita memperbanyak keutamaan, memperbaiki akhlak, dan meluruskan setiap kesalahan yang telah terlanjur kita perbuat :)
Jakarta, 5 Oktober 2010
Di hari Ulang Tahun Paskibra 78,
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar