Selasa, 08 Februari 2011

Antara Pengajar dan Pendidik : Ketika Saya Harus Memilih Peran...


"Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya," merupakan kalimat yang sering didengungkan di bacaan-bacaan parenting.
Selama ini, alhamdulillah saya menjalani fungsi itu dengan suka cita dan rasa bahagia :)
Sejak Ifan lahir hingga usia menjelang masuk SD, saya dan suami masih memegang seluruh fungsi : pengajar, pelatih dan pendidik.
Kekhawatiran karena mendengar kabar sulitnya test yang harus dijalani untuk masuk SD membuat saya dan suami pernah memutuskan memberikan guru privat untuk Ifan, hanya 2 kali dalam seminggu, karena keterbatasan saya dalam mencari contoh soal masuk SD bagi Ifan. Dengan adanya guru privat, soal tersebut teratasi, dan Ifan pun lulus test masuk SD Bhakti (dari peserta test 5 kelas, hanya 3 kelas yang diterima).
Kak Ririn, guru privat les Ifan yang kebetulan tetangga di komplek kami dan juga lulusan IKIP Jakarta, tetap kami pertahankan selama sekitar 2 tahun, hingga saat hubungan kerja yang manis ini harus berakhir ketika Kak Ririn menikah dan mengandung putra pertamanya.
Sejak saat itu, saya kembali melakukan sendiri fungsi pengajaran bagi seluruh pelajaran sekolah Ifan, disamping bersama suami juga menjadi pelatih dan pendidiknya.

Hingga tahun ajaran lalu, alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik. Meskipun seringkali Ifan hanya masuk 10-15 besar dikelasnya karena kesenjangan nilai yang lumayan tajam antara mata pelajaran favorit Ifan dengan mata pelajaran yang dianggap sulit baginya :D
Dari kelas 1 hinggal kelas 3, Bahasa Inggris, Matematika, Agama, IPA dan PLBJ yang merupakan pelajaran eksakta ataupun paling tidak berupa hafalan yang bisa divisualisasikan biasanya mendapat nilai minimal 85, bahkan di rapor terkadang nilainya diatas 90. Namun pada pelajaran lain yang merupakan hafalan murni, seni dan koordinasi, Ifan mengalami sedikit kesulitan dan mendapatkan nilai 70-80 saja.

Tahun ajaran ini, saat Ifan duduk di kelas 4, saya sangat kaget saat melihat buku latihan matematikanya penuh coretan guru. Nilai 40, 30, bahkan 0 dan catatan dengan spidol merah bertuliskan "bengong saja" oleh gurunya bersanding dengan nilai 100, 80, 60. Pada salah satu Uji Kompetensi Ifan bahkah terpaksa mengikuti remedial. Wow!! Meskipun sempat shock juga, saya pun mencaritahu karakter guru matematikanya tahun ini dari orang tua siswa lain.
Ifan memang memiliki masalah dalam konsentrasi. Pikirannya seringkali penuh dengan entah apa sehingga kadang-kadang dia bisa mencetuskan kata-kata yang sangat jauh berbeda dengan topik yang sedang saya bicarakannya dengannya :)
Namun, tetap saja tulisan "bengong saja" di buku latihan matematika membuat saya tergelitik. "Ibu guru juga ngapain aja di kelas sampai anak saya bisa bengong?" merupakan salah satu pertanyaan yang hingga kini tidak terjawab.
"Apakah Ibu hanya melakukan fungsi "mengajar", tapi tidak fungsi "mendidik"?" merupakan pertanyaan lain yang berkecamuk di pikiran saya setelah mengetahui bahwa sang guru ternyata merupakan guru senior yang telah mengajar di SD Bhakti sejak salah seorang orang tua siswa sekolah disana, meskipun tahun lalu tidak memegang mata pelajaran matematika. Apalagi mengingat pernah kepala sekolah menyampaikan kepada saya bahwa saat ini termasuk sulit mendapatkan pengajar yang juga seorang pendidik. Kebetulan sang kepada sekolah merupakan senior saya saat di SMA (10 angkatan diatas saya) dan kami pernah sedikit bertukar pikiran sekitar 2 tahun yang lalu.

Seorang pengajar biasanya hanya mementingkan satu hal : telah menuntaskan materi pengajaran, tidak terlalu perduli apakah si penerima materi menguasai atau tidak.
Seorang pendidik akan berusaha mencaritahu tentang berapa banyak ilmu yang terserap oleh anak didiknya dan bahkan merasa tertantang untuk mencari jalan pengajaran yang berbeda jika ternyata banyak siswa yang tidak berhasil menyerap ilmu yang diajarkannya.

Bukan hanya tentang matematika, pelajaran hafalan murni lainnya pun tidak kalah meresahkan saya. Kata-kata dalam buku cetak yang menggunakan bahasa yang relatif "canggih" pun terasa sedikit mengganggu. Kata "aspirasi" dan sejenis kata asupan lainnya sering terbaca oleh saya.
"Ifan tahu apa arti aspirasi?" tanya saya saat kami membahas materi pelajaran IPS dan PKN.
Dengan polos Ifan menggeleng. Duh.... dan saya pun setelah menghela nafas panjang mencoba mengajarkan materi tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti Ifan sambil berusaha menjelaskan arti setiap kata "canggih" yang saya temukan di buku cetaknya :(

Setiap kali pulang kerja, saya berkutat dengan pengajaran pelajaran sekolah Ifan, sehingga pelan-pelan akhirnya Fian pun merasa kepentingannya sedikit diabaikan...
"Bundaaaa......" panggil Fian pada suatu malam, saat saya sedang berada di kamar Ifan, belajar bersama saat UTS yang lalu.
"Bunda sedang ngurusin abang dulu," kata pengasuh Fian berusaha meredam keributan.
"Fian juga mau diuyus donggggg..." protes Fian dengan suara cadelnya. "Bundaaaaa........ Fian juga mau belajang matika!!!" teriak Fian sambil menggedor pintu kamar Ifan yang memang terkunci.
Saat diizinkan masuk, Fian akhirnya mengganggu konsentrasi belajar Ifan, sehingga saya pun kerap kesulitan mengendalikan diri saat mengatasinya sehingga terpaksa bersuara keras kepada keduanya :(
Saat suami sedang pulang cepat pun, Fian tetap berteriak menangis, "Fian mau bobo sama bundaaaaa aja.........." ketika suami saya mengajak Fian tidur karena saya masih belum selesai mengajari Ifan.

Kendala ini tak luput dari perhatian orang tua saya, terutama Ibu saya yang juga merupakan pensiunan guru.
"Nen, apa nggak lebih baik Ifan ikut bimbingan belajar?" suatu malam Papa saya membuka percakapan dengan hati-hati.
"Untuk apa Pa? Neni masih sanggup mengajari Ifan pelajaran sekolahnya kog. Semua pelajaran dari hitungan, bahasa, agama, hafalan sampai seni dan musik, kecuali olah raga. Lagian kalau ikut bimbingan belajar, kapan lagi waktunya? Ifan pulang sekolah aja udah jam setengah tiga," secara tidak sadar saya membela diri, mungkin karena merasa dianggap tidak mampu.
Papa hanya tersenyum sambil berkata, "Papa hanya khawatir Neni kurang istirahat nanti sakit. Pulang kantor langsung ngajar Ifan, kadang makan baru setelah itu, trus menidurkan Fian..."
"Nggak apa-apa Pa, doakan aja Neni sehat. Neni minum vitamin kalau perlu kog," kata saya melembut setelah mengetahui bahwa Papa hanya mengkhawatirkan kesehatan saya.

Besoknya, gantian Ibu yang telepon saya :D
"Nen, Papa kemarin udah ngomong sama Neni soal Ifan?"
"Iya udah Bu, tapi Neni masih sanggup ngajar pelajaran Ifan. Jadi sebenarnya menurut Neni belum perlu lah Ifan les segala..."
"Iya, Neni masih bisa, Ibu yakin, tapi bagaimana dengan Fian? Fian juga punya hak yang sama dengan Ifan dalam mendapatkan perhatian Neni... Kalaupun nggak ikut bimbingan belajar, kan bisa ambil guru privat seperti dulu lagi yang waktunya bisa disesuaikan, jadi Ifan nggak perlu capek keluar rumah..."

Dug, rasa tertinju dada saya. Ya, saya melupakan hak Fian :(
Perhatian untuk Fian tentu tidak cukup hanya dengan menonton tv bersama selama tidak sampai 30 menit setelah selesai mengajari Ifan, memeluk sebentar dan mengeloninya saat hendak tidur.
Apalagi karena Fian sering bangun siang, pagi hari dia tidak bermain dengan saya dulu. Sedangkan Ifan setiap pagi saya dampingi sebelum berangkat sekolah.
Dengan berat hati saya terpaksa mengakui, porsi waktu efektif saya memang lebih banyak bersama Ifan dibandingkan Fian :(

"Tapi Bu, Neni belum siap kehilangan peran... Selama ini jujur Neni bahagia karena Ifan nggak pernah mengidolakan perempuan lain selain Neni. Ifan bahkan pernah bilang meskipun senang diajar oleh Kak Ririn, tapi Ifan tetap lebih suka kalau Neni yang mengajar..." demikian sepotong percakapan saya dengan Ibu saya.
"Neni, Ibu hanya memberikan masukan. Ifan itu sangat dekat dan selalu ingin dekat dengan Neni makanya lebih suka Neni yang mengajar. Fungsi orang tua itu banyak. Pengajar, pelatih, pendidik. Fungsi pengajar bisa didelegasikan. Toh selama ini sejak Ifan sekolah, fungsi tersebut sebagian besar sudah diserahkan. Yang penting orang tua tidak mendelegasikan peran sebagai pendidik. Kan guru privat juga tidak setiap hari. Paling banyak seminggu 3 kali kan? Selebihnya Neni masih bisa berperan sebagai pengajar. Waktu efektif untuk bercanda bersama dengan Fian dan Ifan pun pasti lebih banyak karena sudah terbantu pengajaran dengan adanya guru privat," tutur Ibu saya dengan bijaksana.
"Kenapa dulu Neni nggak mengalami kesulitan dengan almarhumah Nada ya Bu? Nada dulu nggak pernah protes Neni mengajari Ifan..." kenang saya.
"Karena dulu Ifan masih TK jadi pelajarannya belum berat dan menghabiskan waktu, dan mungkin karena Nada perempuan dan masih lebih kecil dari Fian jadi belum bisa protes... Ingat Neni, beda anak, beda pula sifat dan penanganannya..." pesan Ibu kepada saya.

Meskipun tetap menyampaikan pendapat Papa dan Ibu tersebut kepada suami, rasa ego saya yang khawatir kehilangan peran atas diri Ifan mengakibatkan saya belum sepenuhnya bisa menerima usul tersebut dengan hati terbuka.
Hingga pada suatu malam, suami saya pun mengeluarkan pendapatnya...
"Kalau Bunda sampai sakit karena kurang istirahat, Fian menjadi cemburu dengan Ifan dan merusak hubungan yang baik selama ini, dan pelajaran Ifan yang semakin menurun karena konsentrasi yang buyar akibat ketika belajar selalu diganggu oleh Fian, memang malah akan merepotkan semua... Ayah izinkan Bunda mencari guru privat untuk Ifan demi kebaikan bersama..."
"Maafkan Bunda ya Ayah... nggak bisa menjalankan semuanya..." mata saya pun secara otomatis berkaca-kaca ketika kata-kata itu keluar dari bibir saya.
"Nggak apa-apa Bun. Ingat, Bunda bukan Dewa," kata suami saya tersenyum mengetuk kesadaran saya.

Alhamdulillah ya Allah... sungguh beruntung saya memiliki Papa, Ibu dan suami yang bijaksana...
Benar, saya bukanlah superwoman yang bisa melakukan segalanya. Ada waktunya ketika saya harus memilih peran... karena masih ada Fian yang juga membutuhkan peran penuh saya untuk mewarnai hidupnya.
Sama seperti saat saya memutuskan untuk mendidik asisten rumah tangga dan mendelegasikan sebagian besar pekerjaan rumah tangga dan dapur pada setiap hari kerja agar lebih banyak memiliki waktu untuk bercengkrama dengan anggota keluarga, kecuali saat kami menjadikan kegiatan masak dan membuat kue di hari libur sebagai ajang kebersamaan keluarga :)

Satu hal yang pasti, saya tidak akan bisa mendidik mereka dengan baik jika saya belum bisa mengatasi ego saya sendiri...
Suatu hari nanti, peran saya sebagai wanita utama dalam kehidupan Ifan dan Fian pun akan tergeser, digantikan oleh teman-teman, Istri dan anak-anak mereka kelak.
Namun, meskipun peran saya dan suami sebagai pengajar dan pelatih suatu hari nanti akan berganti, sebagai orang tua kami akan terus menjadi pendidik bagi putra kami meskipun mereka telah memiliki keluarga sendiri dan menjadi seorang pendidik pula...
Well, seperti Ibu dan Papa yang tidak pernah melepaskan peran mereka dalam mendidik saya hingga sekarang :D

Sejak dini saya harus belajar mengikhlaskan semuanya, mengikhlaskan peran saya yang harus berganti seiring dengan berjalannya waktu. Karena seperti yang sebenarnya telah saya tahu, semua yang saya miliki di dunia hanyalah merupakan titipan dari Allah semata.
Yang paling penting saya telah berusaha menjalankan peran saya sebaik-baiknya, hingga kelak saat saya diminta pertanggungjawaban oleh Yang Maha Kuasa, Insya Allah saya bisa menjawab semuanya... Amin... :)

Jakarta, 25 Oktober 2010
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar