Kamis, 03 Februari 2011

Anak : Gangguan atau Hiburan?


Tulisan ini saya buat atas permintaan seorang adik didik saya, Debby Cyntia, yang saat ini sedang bekerja di Satui, Kalimantan.
Setiap kali cuti, Debby selalu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah saya, dan dengan begitu melihat keseharian saya dengan Ifan dan Fian.
Dalam beberapa kesempatan, Debby mengungkapkan bahwa dia melihat saya selalu menikmati kebersamaan dengan anak-anak saya. Di lain waktu, dia pernah juga melihat beberapa orang tua yang berinteraksi dengan anak hanya sebagai kewajiban.
Bagaimana perjalanan saya sampai ke titik menikmati kebersamaan dengan Ifan dan Fian dalam setiap keadaan, inilah yang akan saya sharing kali ini...

Ketika saya memutuskan siap untuk menikah, saya juga telah mempersiapkan mental saya untuk mendidik anak. Saya yakin telah siap menjadi seorang ibu. Saya banyak membaca, mencaritahu bagaimana pola didik dan asuh yang baik, diskusi dengan senior yang telah berkeluarga, hanya untuk mendapatkan gambaran bagaimana lingkungan yang kondusif untuk perkembangan jiwa seorang anak. Saat itu saya yakin saya bisa, setidaknya saya kira begitu, tanpa menyadari betapa sangat berat ternyata peran dan tanggung jawab seorang ibu :D

Di awal-awal tahun menjadi seorang ibu, saya menemukan kenyataan bahwa banyak "teori" yang pelajari yang menjadi "mentah" karena ternyata saya belum siap sepenuhnya menjadi seorang ibu. Bukan dalam cara mendidik anak, namun lebih ke arah psikologi saya sebagai pribadi. Ketidaksiapan itu ditandai dengan terkadang muncul perasaan sedikit "terbebani" oleh anak, menganggap anak terkadang sebagai gangguan. Meskipun perasaan itu tidak muncul setiap saat, hanya sesekali di dalam hati, tetapi tetap mengganggu... dan menandakan kekurangmatangan saya sebagai pribadi...

Contoh nyata yang hingga kini terkadang saya sesali, Ifan tidak mendapatkan hak-nya atas ASI eksklusif karena ketidaktahuan saya soal manajemen ASI, dan bahwa setiap pikiran bawah sadar seorang ibu menyusui mempengaruhi produksi ASI.
Kekhawatiran terikat sepanjang waktu dengan bayi karena harus menyusui, merasa bahwa susu formula merupakan jalan tengah terbaik bagi masalah saya, dan keinginan untuk menjadi langsing seperti sediakala secepatnya, ternyata membuat produksi ASI saya tersendat sehingga sejak lahir Ifan sudah dibantu susu formula untuk kebutuhan minumnya.
Ketika masa cuti berakhir, pikiran bawah sadar akan repotnya memompa asi dan harus terburu-buru pulang kerja untuk menyusui akhirnya membuat produksi ASI saya berhenti total.
Dengan sangat menyesal harus saya akui, Ifan hanya mendapatkan ASI 3 bulan saja, di campur dengan susu formula pula, karena ketidaksiapan mental saya untuk menjadi seorang ibu :(
Akibatnya, seperti yang sekarang bisa kita baca dalam banyak literatur dan buku yang mengkampanyekan manfaat ASI, daya tahan tubuh Ifan kurang prima. Flu, batuk, bahkan bronchial astma mudah Ifan derita jika kondisi tubuhnya sedang kurang baik :(

Di samping masalah ASI, masih ada masalah lain lagi, masalah "ME TIME".
Keinginan untuk sesekali hang out bersama teman-teman setelah usai jam kerja, keinginan untuk mendampingi suami dalam berbagai kesempatan untuk bersosialisasi, dan terkadang ada rasa sedikit repot jika bepergian dengan anak tanpa pengasuh, menjadi masalah bagi saya meskipun hal itu tidak membuat saya mengabaikan pola didik yang sudah saya pelajari dan tetap mendidik anak saya dengan sepenuh hati.
Usia saya yang saat itu masih terbilang muda (menjelang 26 th) memang tidak bisa saya jadikan alasan bahwa saya masih membutuhkan "ME TIME" yang cenderung agak sering. Kembali lagi bahwa hal itu adalah karena keegoisan saya dan ketidaksiapan mental saya menjadi seorang ibu.

Semakin bertambahnya usia saya, pengalaman hidup, dan pengetahuan saya tentang hidup berkeluarga, saya semakin menyadari bahwa untuk menjadi seorang ibu seutuhnya, saya harus siap kehilangan "ME TIME", atau paling tidak menguranginya hingga batas minimal, setidaknya sampai anak saya sudah lebih besar dan sudah bisa menerima penjelasan verbal mengenai hal tersebut. Sedangkan untuk masalah ASI, demi membentuk anak yang sehat, saya harus siap untuk melakukan persiapan yang baik meskipun terkadang upaya itu bertentangan dengan keinginan atau selera makan saya di saat hamil dan menyusui. Lebih luasnya lagi, menjadi seorang ibu berarti saya harus siap mengutamakan kepentingan anak-anak di atas keinginan saya pribadi, dalam segala hal.

Berdasarkan kesadaran itu, selama kehamilan kedua di usia menjelang 30 th, saya mempersiapkan mental saya lebih matang. Mengatur pola makan sehat (banyak sayur, banyak buah, banyak minum) sejak masa kehamilan dan selama masa menyusui adalah salah satu cara saya untuk mempersiapkan ASI yang banyak bagi sang calon bayi. Saya buang jauh-jauh keinginan untuk menjadi langsing dengan cepat dengan cara diet setelah kelahiran Nada.
Alhamdulillah, Nada mendapatkan haknya atas ASI eksklusif selama 6 bulan, dan saya terus menyusui Nada hingga usia 16 bulan di bulan Desember 2005, menyapihnya tepat 3 bulan sebelum Nada berpulang ke rahmatullah.

Kembalinya Nada kepada Allah di tahun 2006 dan keguguran janin di usia 10 minggu pada tahun berikutnya memukul kesadaran saya, betapa selama ini mungkin saya masih kurang bersyukur atas karunia Allah dengan hadirnya anak-anak dalam kehidupan saya.
Meskipun dalam keseharian saya sudah menganggap anak sebagai hiburan, namun mungkin dalam beberapa kesempatan di dalam hati saya terkadang masih menganggap anak sebagai gangguan, terutama di saat saya lelah sepulang bekerja, atau pada saat saya dan suami ingin menghabiskan waktu hanya berdua.

Sungguh benar bahwa, kematian adalah nasehat yang paling baik.
Dalam duka saya, saya berusaha semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan saya mulai sedikit lebih banyak mempelajari bagaimana menjadi seorang muslimah yang istiqamah, istri shalihah dan bagaimana menjadi seorang ibu yang amanah.
Belum sepenuhnya berhasil tentu saja heheheh, tapi setidaknya saya telah belajar untuk ikhlas menjalani peran sebagai seorang ibu.

Fian mendapatkan haknya atas ASI eksklusif selama 6 bulan, dan saya terus menyusui Fian hingga kini, Insya Allah hingga Fian berusia 2 tahun, seperti perintah Allah dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah Ayat 233 :
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya, dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Lelah sepulang bekerja tidak akan saya jadikan alasan untuk mengabaikan hak Ifan dan Fian akan kualitas emosi dan waktu yang terbaik dari saya, karena saya akhirnya menyadari bahwa dalam agama Islam, seorang ibu bekerja untuk membantu mencari nafkah keluarga adalah sebuah pilihan, bukan sebuah kewajiban, sedangkan mendidik dan mengasuh anak dengan cara yang baik adalah sebuah keharusan. Jadi, pilihan yang saya buat tidak sepantasnya jika merugikan hak Ifan dan Fian, hak mereka untuk di dampingi oleh seorang ibu yang penuh cinta.
"ME TIME" saya pun bertransformasi dari yang semula harus selalu pergi keluar rumah tanpa anak, menjadi menikmati waktu santai di rumah saat Ifan dan Fian sudah tidur baik hanya dengan membaca buku, menonton tv atau sekedar main game di komputer dan internetan. Bekerja pun ternyata menjadi "ME TIME" untuk saya. Terkadang saya dan suami keluar hanya berdua untuk menonton, dengan izin Ifan tentunya :D

Dalam setiap situasi, baik yang menyenangkan maupun melelahkan, bahkan dalam situasi yang mengesalkan sekalipun, pada akhirnya saya bisa bersyukur atas anugerah yang Allah berikan kepada saya, dan saya akan berusaha semampu saya memenuhi amanah dari-Nya.

Saat ini, Alhamdulillah, bagi saya anak tidak lagi menjadi gangguan, dan bukan pula hanya sekedar hiburan.
Pada akhirnya, apa pun situasinya, saya menganggap anak sebagai amanah, anugerah, kenikmatan, kebahagiaan dan masa depan :)

Jakarta, 4 April 2010
Yeni Suryasusanti

4 komentar:

  1. Subhanallah sangat menyentuh sekali tulisan ibu ini. semoga tulisan ini bisa memotivasi saya untuk semakin ikhlas dalam membesarkan anak saya. selama ini sepertinya saya belum benar2 matang secara psikologis membesarkan anak yang menurut saya sangat aktif, sehingga kadang mengganggap anak sebagai 'beban'.

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, senang sekali bisa memotivasi... semoga tulisan ini bisa membawa manfaat bagimu dan terutama bagi anakmu :)

    BalasHapus
  3. terima kasih Mbak Yeni buat tulisannya...sangat inspiratif.....memang menjadi ibu itu tidak gampang seperti yang dituliskan.....mudah-mudahan saya pun bisa menjaga dan mendidik amanah yang telah Allah berikan....amin

    BalasHapus
  4. @Reka : Amin... Amin... Ya Rabbal 'Alamiinnn... :)

    BalasHapus