Sabtu, 05 Februari 2011

Menikah Karena Mengharap Ridha Allah ?


Sudah sekian lama saya tergelitik untuk mencari arti kata "Ridha Allah".
Hal ini terjadi karena melihat berbagai tulisan tentang usaha menggapai "Ridha Allah", namun jujur saat itu bagi saya sungguh artinya masih abstrak.
Dari hasil googling, ada satu penjelasan yang cukup memuaskan saya, saya baca di http://putrinet.wordpress.com/2008/09/26/pengertian-ridha-dan-pasrah/ :

Ridha berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridha Allah kepada hamba-Nya dan ridha hamba kepada Allah (Al-Mausu’ah Al-Islamiyyah Al-’Ammah: 698). Ini sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya, ”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8). Ridha Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan ridha seorang hamba kepada Allah mempunyai arti menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah.

Dari kutipan QS 98 : 8 diatas, saya mengartikan bahwa berarti Ridha Allah kepada hamba-Nya berbanding lurus dengan Ridha Hamba kepada Allah. Berarti saya tidak akan bisa menggapai Ridha Allah tanpa saya Ridha kepada Allah, yaitu dengan menerima aturan dan ketetapan Allah dengan sepenuh hati, bukan hanya setengah-setengah.

Kemudian, apa hubungan Ridha Allah dengan Menikah dalam tulisan saya kali ini?
Tidak lain tidak bukan adalah karena saya sering menganalisa bahkan tidak jarang bertanya pada para sahabat yang akan/telah menikah, atas dasar apa mereka memilih pasangan hidupnya :)

“Biasanya, seorang wanita dinikahi karena empat pertimbangan: harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, hendaknya engkau lebih memilih wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Bagi saya, sungguh luar biasa, dari saat hadist ini tercatat hingga sekarang ternyata dasar pertimbangan pemilihan pasangan hidup memang tidak jauh dari hal diatas, berlaku untuk pria dan wanita. Terbukti Al Qur'an dan Hadist memang untuk sepanjang masa :)
Ada yang alasan utama menikah karena sang pria/wanita memiliki banyak harta (entah itu harta pribadi ataupun keluarga), ada karena kedudukan/nasab (entah itu berupa jabatan/profesi ataupun kedudukan pribadi/keluarga di lingkungan masyarakat), ada pula yang karena kecantikan/ketampanannya dengan harapan kelak memiliki keturunan yang cantik dan tampan pula tentunya :D
Dalam penilaian saya yang dikelilingi lingkungan yang plural, terhitung sedikit orang-orang yang saya kenal yang memiliki alasan utama menikah karena agamanya...

Atas izin beberapa sahabat yang ingin teman-teman belajar dari kegagalan tanpa perlu merasakan kegagalan pribadi, saya angkat alasan memilih pasangan hidup dan konsekuensi yang saat ini mereka tanggung...

Salah seorang sahabat wanita memilih pasangan hidupnya dengan pertimbangan sang pria sudah mapan dan berasal dari keluarga kaya, dan saat mereka menjajaki hubungan terlihat sangat penyayang. Hingga saat ini alhamdulillah sang suami masih sangat penyayang, namun yang membuat rumah tangga mereka tidak pernah tenang ternyata sang istri tidak pernah dihargai dan dipandang sebelah mata oleh keluarga suami karena dianggap hanya ingin mengerogoti harta kekayaan keluarga.

Beberapa sahabat lain, menikah karena "sudah terlalu lama dalam masa penjajakan, didesak keluarga karena terlalu lama pacaran dan merasa sudah mengenal betul calon pasangan hidup", namun menemukan kenyataan bahwa begitu menikah dan hidup bersama dalam ikatan pernikahan hubungan sudah terasa hambar, atau sang pasangan hidup memiliki kepribadian yang jauh berbeda dengan yang ditampilkannya saat masa penjajakan, sehingga tak jarang umur pernikahan akhirnya hanya seumur jagung saja.

Ada pula kisah sahabat yang paling membuat saya terpukul karena ternyata dalam beberapa kasus, "mengenal calon pasangan secara pribadi saja ternyata belum cukup".
Sahabat saya mengenal seorang wanita di bulan ramadhan. Dari percakapan yang terjalin selama 1 th masa penjajakan, mengenai harapan akan pasangan hidup, harapan akan masa depan keluarga, terkesan sang wanita adalah seorang yang cukup mengenal agama meskipun belum menutup aurat. Profesi sang wanita yang kebetulan seorang dokter turut menjadi bahan pertimbangan. Sahabat saya berharap sang wanita bisa membantu merawat ibunya jika sudah tua atau sakit kelak.
Tanpa ada referensi dari orang lain yang menguatkan penilaian pribadinya, sahabat saya akhirnya memutuskan untuk menikahi wanita itu... dan menemukan kenyataan bahwa sang istri ternyata hanya sebatas memahami agama dari kata-kata saja, namun belum menjalankannya.
Merasa bahwa ini adalah tugasnya sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga, sahabat saya tanpa bosan berusaha membimbing sang istri untuk menjalankan kewajiban agama. Kadang berhasil, kadang gagal. Entah karena sang istri belum mendapat hidayah Allah? Wallahualam.
Hingga ujian yang cukup berat dari Allah datang kepada sahabat saya 3 bulan yang lalu. Sahabat saya mengalami stroke. Akibatnya, sebelah kanan fungsi tubuhnya saat itu terganggu : mata kanan menjadi rabun, tangan dan kaki kanan menjadi lemah.
Saat mendengar berita itu, jujur meskipun kaget dan sangat sedih sempat ada rasa syukur saya kepada Allah, "Alhamdulillah ya Allah kau pasangkan sahabat saya dengan wanita yang seorang dokter, sehingga Insya Allah bisa membantu sahabat saya melewati masa panjang pemulihan akibat stroke ini..."
Namun pada awal Ramadhan yang lalu, sahabat saya menghubungi saya melalui telepon, untuk bercerita bahwa sang istri meninggalkan dirinya dan meminta bercerai sedangkan sahabat saya masih belum pulih sama sekali!!
Ya Allah... bagai disambar petir rasanya mendengar berita itu...
Dari cerita sahabat saya, mamanya dan adik-adiknya yang saat ini secara bergantian merawat sahabat saya dan mengantarnya untuk terapi pemulihan, terungkap bahwa sang istri sama sekali tidak merawat sahabat saya saat stroke menyerangnya. Saat masih di rumah sakit, pengurusan sahabat saya diserahkan penuh kepada suster dan mama sahabat saya. Ketika sudah bisa di rawat jalan, keluarga sang istri membayar 2 orang perawat laki-laki untuk mengurus sahabat saya di rumah. Sang istri tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, bahkan terkadang lebih dari biasanya... hingga puncaknya adalah saat sahabat saya dan sang istri terlibat pertengkaran mengenai kurangnya perhatian dan pengurusan sang istri, dalam keadaan emosi sang istri meminta cerai karena sudah tidak tahan dengan kondisi sahabat saya.
Saat saya menulis notes ini, sang istri masih berada di rumah orang tuanya dan gugatan cerai belum diajukan secara resmi olehnya ke pengadilan agama...

Dari cerita diatas, saya sama sekali bukan mengajak teman-teman untuk menghujat istri sahabat saya, sama sekali tidak! Bukan pula saya mengharap simpati kepada sahabat saya atas ujiannya.
Namun, saya ingin mengungkapkan bahwa pertimbangan sahabat saya saat memilih pasangan hidup dengan pertimbangan "profesi sang calon yang kebetulan seorang dokter berharap membantu merawat ibunya jika sudah tua atau sakit kelak" ternyata dihadapkan kepada kenyataan pahit bahwa jangankan nanti saat ibunya tua dan sakit, saat sahabat saya sakit justru dia ditelantarkan... penilaian dan harapan pribadi sahabat saya telah berbalik mengkhianatinya...
Untuk sahabat saya, doa saya semoga sabar dan ridha menjalani ujian Allah ini... Insya Allah Ridha Allah sampai kepadamu berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaanmu... Amin... :)

Di lain sisi, beberapa orang sahabat saya yang menikah dengan niat ibadah, dengan pertimbangan agama dari pasangan hidupnya, justru menjalani pernikahan bagaikan surga dunia :)

Salah seorang pendidik Paskibra saya menikahi istri karena agama dan kesabarannya saat sakit parah.
Ketika beliau sakit sejak hampir 1 th yang lalu, bolak balik di rawat di rumah sakit dan rawat jalan hingga saat ini, tidak bisa mencari nafkah selama hampir 8 bulan, alhamdulillah sang istri dengan setia merawat, mendampingi dan memberi semangat yang tak putus hingga beliau sembuh seperti sediakala :)

Ratna dan Poppy, pernah menuliskan indahnya pernikahan mereka karena Allah :)

Suami Ratna yang dipilih karena agamanya, sungguh berusaha mengamalkan sunnah rasulullah yang penuh kasih kepada istri dan anak-anak mereka. Alhamdulillah... saya sampai dibuat terharu membaca ceritanya :)
Berikut link cerita Ratna :
Cinta Seorang Suami

Sedangkan Poppy menulis tentang indahnya pacaran secara halal karena dilakukan setelah menikah :
Episode: Menikah karena Allah........[Berjilbab: It's not the End, It's the Beginning (IX)]

Berikut saya kutipkan sebagian tulisannya :

Guru saya mewanti-wanti proses ta'aruf ini tidak boleh berlangsung lebih dari 6 bulan atau nanti kalian akan tercebur dalam kondisi ta'aruf mendekati pacaran, main hati yang akhirnya sakit hati dan lain sebagainya.
CV pun saya buat dengan sepenuh hati lengkap dengan sholat hajat dan sholat tahajud tiap malam. Saya buat sejujur-jujurnya. Saya buat selengkap-lengkapnya. Jangan sampai ada yang terlewat. Karena saya tahu saya orang yang cukup rumit, sehingga suami saya harus siap menerima saya dengan segala "kerumitan" saya. Saya serahkan CV saya kepada guru saya...Tiga hari kemudian saya menerima CV seorang laki-laki yang merasa mampu menerima saya dan merasa sevisi dengan saya dari CV yang saya kirimkan. Sebelum membuka CVnya saya sholat tahajud dulu, memastikan hati saya agar menyerahkan kepada Allah semata, apabila ini baik untukku menurut Mu ya Allah, mudahkan hatiku untuk menerimanya.....
Ketika membuka CV yang pertama kali saya buka adalah tulisannya bukan photonya...Dan Subhanallah, saya sangat tertarik dengan CV nya karena saya merasa apa yang dia suka sama dengan yang saya suka, apa yang dia rasa menarik sama dengan yang saya rasa menarik dan lain sebagainya. Saya merasa sevisi, semisi dan sepemikiran dengannya. Hati saya bergejolak: Inilah laki-laki yang saya inginkan.

Saya sendiri dan sekian banyak sahabat mungkin pada akhirnya membuktikan dan harus mengakui kenyataan bahwa pacaran yang kami sebut sebagai masa penjajakan namun bagi kalangan agamis disebut sebagai berkhalwat, ternyata memang tidak menjamin mulusnya sebuah pernikahan, memang tidak menjamin kita mengenal pasangan hidup kita luar dalam.

Sebelum Poppy menulis tentang Ta'aruf secara detail, jujur dulu saya mendapat kesan bahwa Ta'aruf ibarat "membeli kucing dalam karung" heheheh... Bagaimana mungkin kita menjalani rumah tangga dengan seseorang yang belum kita "kenal betul"? Demikian pemikiran saya dulu.
Namun ternyata, setelah membaca prosesnya, akhirnya saya menilai justru Ta'aruf adalah jalan yang paling aman dalam menemukan pasangan hidup, karena ada referensi yaitu Ustadz/Ustadzah yang menguatkan bahwa calon pasangan hidup bukan hanya "menampilkan screen saver" yang cantik demi mulusnya proses perkenalan, dimana sang pemberi referensi karena paham agama akan sangat berhati-hati melakukan prosesnya.

Dari tulisan Poppy diatas tentang proses Ta'aruf yang sangat detail, mata saya mulai terbuka bahwa mungkin memang itulah kunci kebahagiaan rumah tangga : Menikah dengan niat mengharap Ridha Allah dengan menerima aturan dan ketetapan Allah tentang proses menuju pernikahan dengan sepenuh hati, bukan hanya setengah-setengah.

Mungkin akan ada sahabat yang berkata, "Ah, Ta'aruf juga belum tentu menjamin kebahagiaan... Buktinya banyak ustadz yang poligami juga."
Yah, saya hanya bisa berkata, jika memang demikian, maka Ridha lah atas ketentuan Allah. Manusia wajib berusaha mencari jalan keluar dari setiap permasalahan hidup, dan Allah memberikan ketentuan tentu dengan segala hikmahnya. Inilah bedanya sikap Ridha dengan Pasrah :)

Ridha menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap Pasrah yang menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam Ridha terdapat makna yang hampir sama dengan Pasrah yaitu menerima dengan lapang dada suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit :)

Sedikit bercerita mengenai awal hubungan saya dan suami, ada kejadian yang tidak pernah akan saya lupakan.
Saat saya memutuskan untuk menerima suami saya, satu kalimat saya : "Gue sudah capek pacaran putus. Kalo memang loe mau sama gue, gue maunya kita pacaran menuju pernikahan, bukan asal sekedar pacaran aja."
Syarat dari kedua orang tua saya adalah : muslim dan merupakan nilai plus jika berasal dari keluarga yang kental nilai agamanya.
Sedangkan satu kalimat suami saya : "Pertanyaan gue hanya satu, ini syarat dari keluarga gue : Apakah loe bisa mengaji?"
Ternyata, di adat dan tradisi keluarga suami saya, pada prosesi adat pernikahan ada satu malam "betamat" alias khatam Al Qur'an. Kedua pengantin/calon pengantin bergantian membaca ayat Al Qur'an di akhir Juz 30 hingga khatam, dengan microphone yang dipasang ke seluruh penjuru kampung.
Suami bercerita pernah ada pengantin yang tidak lancar membaca Al Qur'an, dan dikemudian hari ternyata keturunan mereka ada yang bandel, maka akan tersebutlah, "Gimana anak/cucunya mau baik, waktu kakek/nenek/ayah/ibunya menikah nggak bisa ngaji..." heheheh...

Well, dari pengalaman pernikahan saya yang penuh liku-liku dan batu sandungan yang mungkin akibat kami berdua tidak terlalu terpikir untuk menetapkan pilihan yang benar-benar memahami dan menjalankan agama, namun bisa saya tarik suatu kesimpulan bahwa pernikahan kami Insya Allah hingga saat ini terselamatkan (dan semoga hingga maut memisahkan kami kelak) karena kedua orang tua kami menentukan nilai agama tersebut dalam memilih calon menantu :)

Rasulullah menjelaskan, ”Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan barang siapa yang menikahi karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.” (Al- Hadits)

Setelah sedikit demi sedikit mulai memperhatikan agama, hampir bisa saya katakan mustahil akan ditemukan pasangan hidup yang shaleh/shalehah, jika seseorang mencarinya di tempat-tempat yang tidak baik dan dengan cara yang tidak diridai Allah dan Rasulullah. Pasangan yang mulia hampir tidak mungkin didapatkan dengan ramalan dukun atau mengikuti anjuran TV dengan ikut reg_spasi.
Akan lebih mudah dengan memperbaiki diri dengan sempurna mungkin, maka jodoh yang sempurna itu akan tiba, seperti cerita Poppy dalam "Menikah Karena Allah" :)

Karena ketika kita hanya bersandar pada segala hal yang bersifat duniawi, ingatlah semua itu bisa menghilang kapan saja, bahkan dalam sekejap.
Wajah yang cantik/tampan bisa hilang karena kecelakaan, karena stress yang menimbulkan jerawat atau memudar karena usia yang kian bertambah.
Payudara yang menggairahkan bisa hilang karena keganasan kanker payudara atau mengendur karena usia yang semakin tua.
Badan yang tegap bisa hilang karena stroke, cacat akibat kecelakaan, atau menjadi bungkuk karena osteoporosis yang menyerang di hari tua.
Harta yang berlimpah bisa hilang sekejap karena kebakaran, kebangkrutan ataupun semakin menipis karena dihambur-hamburkan.
Kenyamanan komunikasi bisa hilang karena kejamnya fitnah, atau bahkan sekedar karena cemburu.
Getar-getar cinta yang dulu menggebu-gebu bisa memudar seiring dengan berlalunya waktu.

Ketika semua hal yang bersifat duniawi yang kita jadikan sandaran hilang, kemana lagi kita harus bersandar jika bukan kepada Allah ?
Akhirnya saya menyimpulkan, mencari pasangan hidup, janganlah seperti seseorang yang membeli kucing di dalam karung. Sebab, indah suaranya, elok rupanya, belum tentu putih hatinya. Semakin tinggi gelarnya, juga belum tentu tinggi ilmu agama atau akhlaknya.
Hidup terdiri atas serangkaian pilihan. Dari berbagai pilihan tentang pasangan hidup, yakinlah bahwa memang memilih pasangan yang memiliki pemahaman serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasulullah dengan sepenuh hati adalah yang terbaik.

Dengan memahami serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasulullah, Insya Allah seorang suami atau istri tidak akan saling menelantarkan hanya karena ketidakpuasan seksual. Mereka akan berusaha mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut secara bersama-sama.
Dengan memahami serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasulullah, Insya Allah seorang suami atau istri tidak akan saling meninggalkan hanya karena kesulitan hidup. Mereka akan bersabar, dan berusaha mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut secara bersama-sama.
Dengan memahami serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasulullah, Insya Allah akan selalu ada semangat untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada agar tidak saling menyakiti.
Dengan memahami serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasulullah, Insya Allah seorang suami atau istri akan selalu berusaha untuk memelihara cinta dan kasih sayang di antara mereka, saling menjaga satu sama lain, dan selalu berusaha memberi yang terbaik dari diri mereka dan saling membahagiakan dalam berbagai hal.

Dengan memahami serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasulullah, Insya Allah pasang-surutnya hubungan tidak akan membuat suami atau istri saling meninggalkan atau menyakiti satu sama lain...
Dengan memahami serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasulullah, Insya Allah saat suami atau istri melakukan kesalahan dan menyakiti hati pasangan hidupnya, mereka akan segera menyesal, meminta maaf dan bertekad tidak akan mengulangi kesalahan tersebut, dan pasangan hidupnya pun akan menyambut permintaan maaf itu dengan tangan terbuka...

Bagi kita yang sudah terlanjur memilih pasangan hidup bukan karena alasan utama agama, at least yang bisa kita lakukan adalah ridha atas ketentuan Allah, kemudian bertekad mendidik dan mengarahkan putra putri kita agar memahami serta menjalankan aturan dan ketetapan Allah dan Sunnah Rasullullah, agar kelak mereka memutuskan memilih pasangan hidup mereka dengan pertimbangan agamanya sehingga kelak pernikahan mereka pun akan seperti surga dunia... Insya Allah :)

Jakarta, 18 September 2010
Yeni Suryasusanti

1 komentar: