Rabu, 26 Januari 2011

Tanggung Jawab, Pengabdian dan Keikhlasan

Selama 1 bulan ini, kembali saya dihadapkan dengan fakta, betapa harus bersyukurnya saya memiliki orang tua (Drs. H. Suryanta Saleh, MM. dan Dra. Hj. Yurdha, MM.) yang mendidik saya dengan sedemikian rupa, baik dengan ilmu dunia, maupun ilmu agama.

Papa dan Ibu, demikian panggilan saya kepada kedua orang tua saya, memotivasi saya untuk menggapai cita-cita, tanpa melupakan bahwa tugas utama seorang wanita adalah sebagai istri dan ibu. Saya selalu ditekankan mengenai pentingnya memiliki prioritas yang tepat urutannya. Selalu didengungkan di telinga saya, bahwa kasih sayang, kelembutan, pengabdian kepada keluarga dan keikhlasan adalah kekuatan yang sangat besar, yang kekuatannya mungkin lebih dari yang dapat saya bayangkan.

Papa selalu mengajarkan saya untuk menjadi perempuan yang realistis dan kuat. Bahwa meskipun kami, ketiga anaknya adalah wanita, harus mampu berpikir, bersikap dan berbicara dengan dasar fakta, bukan dengan perasaan semata. Bekal ini tidak hanya disampaikan dengan kata-kata, namun juga diasah dengan berbagai diskusi dalam masalah keluarga.
Papa selalu berkata, tanggalkan semua gelar dan jabatan kamu diluar rumah, karena begitu kamu menginjakkan kaki di rumah, kamu adalah istri dan ibu.

Ibu mengajarkan saya untuk memahami bahwa reaksi setiap orang dalam menghadapi berbagai situasi bisa berbeda, dan semua perbedaan itu harus bisa saya terima.
Ibu mengajarkan bahwa ibarat tubuh, suami adalah kepala, saya adalah lehernya. Ibu juga sering berkata, ibarat kapal, suami adalah nakhoda, saya adalah jangkarnya. Karena itu, perempuan harus kuat.
Ibu pernah berkata, perempuan yang kuat adalah perempuan yang bisa mengendalikan keadaan dengan penuh kelembutan, sedemikian lembutnya sehingga tidak ada satu orang pun yang merasa dikendalikan.

Namun, pelajaran yang saat ini terasa sangat berharga justru pengalaman saat hidup bersama nenek saya yang beranjak tua.
Di tahun-tahun terakhir kehidupannya, almarhumah nenek ikut tinggal bersama kami. Saya mengalami berbagai konflik akibat hal tersebut. Bagaimana saya dan nenek berebut channel TV, bagaimana lambatnya nenek menyelesaikan makannya di meja makan, bagaimana marahnya beliau pada suatu ketika, saat beranggapan kami membentak beliau karena berbicara dengan nada keras sedang di saat lain beliau tidak mendengar jika kami berbicara pelan, bagaimana manjanya, bagaimana kesalnya beliau jika kurang diperhatikan... dan seterusnya... yang jujur bagi saya yang saat itu masih di usia pertengahan 20-an seringkali terasa mengesalkan.
Tapi ibu saya, dengan penuh kesabaran menghadapi beliau, dengan bijaksana selalu menjadi penengah antara nenek, suami dan anak-anaknya, sehingga konflik tersebut tidak terasa terlalu berat.
Ibu berulangkali menerangkan kepada saya, bahwa ini adalah siklus kehidupan, dimana seorang tua akan kembali bersikap menjadi seperti seorang bayi. 
"Suatu saat, kamu juga akan menghadapi ini, Yeni, entah menghadapi orang tua ataupun suami ketika kalian berdua beranjak tua. Kamu harus memiliki kesabaran, kelembutan, pengabdian dan keikhlasan untuk bisa mengatasi semuanya." demikian kata ibu selalu. 

Kembali ke kehidupan nyata, semua ajaran Papa dan Ibu menjadi sangat berguna karena kondisi kesehatan Ayah Mertua saya (H. Abdul Karim Hasan) saat ini.

Tanggal 1 April 2009 yang lalu, ayah mertua saya yang telah berusia 70 th menjalani operasi By Pass Jantung di RS Jantung Harapan Kita.
Saat sudah dipindahkan ke kamar perawatan, berbagai masalah pun mulai.
Saya yang sedang flu berat selama 3 hari tidak bisa menjenguk (karena khawatir menulari beliau yang masih dalam kondisi sangat rentan). Dan ternyata selama ketidakhadiran saya, ayah menolak untuk makan, meskipun sudah dicoba disuapi oleh kakak ipar (putri ayah yang tinggal satu-satunya) dan ibu mertua saya. Hingga akhirnya ibu mertua saya menelepon dan meminta saya datang.
Dengan berbekal bubur yang pembuatannya telah dikonsultasikan dengan ahli gizi rumah sakit, saya datang, dan berhasil menyuapi ayah, meskipun memakan waktu yang lama. Segala usaha saya lakukan untuk mengalihkan perhatiannya dari makanan : mulai dari bicara tentang hasil pemilu, tentang mesjid dimana beliau menjadi penasehat, bicara tentang makanan kesukaan beliau, beristirahat setiap 3 suap selama 5-10 menit... semua saya lakukan yang penting ayah bisa masuk makanan. "Ayah udah kayak bayi besar," demikian komentar ibu mertua sambil tertawa saat ayah berhasil menghabiskan buburnya.
Selama 2 hari, hanya saya yang bisa memasukkan makanan, sedangkan kakak ipar dan ibu mertua hanya berhasil meminumkan susu jika saya belum datang.
Ternyata, menyuapi orang yang telah beranjak tua apalagi dalam kondisi sakit memang memerlukan kesabaran yang luar biasa, yang biasanya ada pada seorang ibu yang menyuapi anaknya.

Tanggal 13 April 2009, ayah mertua kembali masuk ruang operasi, karena ternyata ada cairan di jantung dan paru-parunya. Keluar dari ruang operasi, keluarga dipanggil. Saya, suami dan anggota keluarga yang laki-laki mendengar langsung penjelasan dokter di ruang ICU, disamping ayah, sedang kakak ipar hanya mengintip dari pintu ruang ICU tanpa berhenti berdzikir. Ibu mertua yang mungkin karena merasa tidak tega melihat langsung kondisi ayah pasca operasi, menunggu berita di luar ruang ICU. 
Secara kasat mata memang terlihat ayah lebih tenang dari pada saat operasi pertama. Namun, justru ketenangan tersebut adalah karena 90% kadar oksigen ayah berasal dari ventilator, sedangkan saat operasi pertama hanya 50% kadar oksigen dari ventilator. Ayah masih dalam kondisi kritis, dengan infeksi di paru-parunya, itu fakta saat ini.

Melihat berbagai reaksi yang muncul saat itulah saya teringat kembali ajaran Ibu saya, bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyikapi situasi dan kondisi. Bahwa saya tidak boleh menuntut orang bersikap sama seperti saya, yang meskipun merasa sangat sedih, tapi tetap berusaha bersikap realistis dan langsung menerima fakta tanpa mencoba menipu diri dengan kondisi yang kasat mata, pun tidak pula langsung mengandaikan segala kemungkinan baik maupun buruk yang bisa terjadi. 

Saya hanya menerima fakta, dan kemudian berdoa meminta yang terbaik kepada Allah. Itu saja. Karena yang terbaik menurut Allah sungguh berada diluar kemampuan saya berpikir sebagai manusia. 
Yang paling penting bagi saya, semua doa dan ikhtiar yang bisa dilakukan untuk menuju kesembuhan akan dijalankan, seperti dengan memasukkan kamera ke paru-paru ayah untuk melihat infeksinya (seperti kabar yang baru saja saya terima via telp siang ini), dan dengan tindakan-tindakan lain yang akan dilakukan untuk upaya penyembuhan. 
Doa, Ikhtiar, Ikhlas dan Tawakal.

Saya percaya, jika Allah menyembuhkan ayah, maka Allah juga akan memberikan kami kekuatan untuk menjalani proses panjang penyembuhan beliau. Allah pasti akan memberikan kami kesabaran, kelembutan, kasih sayang dan keikhlasan dalam pengabdian kami mengurus ayah.

Di lain pihak saya juga percaya, Allah juga akan memberi kami kekuatan untuk saling mendukung dengan sesama anggota keluarga, jika suatu saat nanti ayah dipanggil menghadap Allah, seperti yang akan semua manusia jalani pada akhirnya.

Akhir kata, sharing ini saya tutup dengan doa, "Ya Allah, angkatlah penyakitnya, berikanlah yang terbaik bagi Ayah di usia senja-nya... karena saya sangat menyayanginya..."

Jakarta, 15 April 2009
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar