Hari Selasa, 24 Maret 2009 pagi, Fian (Ahmad Balda Arifiansyah), putra bungsu saya yang baru berusia 9 bulan agak demam. Tidak tinggi awalnya, suhu hanya 37,2. Setelah memberi paracetamol dan memberi pesan pada pengasuh untuk mengukur suhu tubuhnya setiap 1 jam, saya berangkat kerja.
Di kantor, setiap 1 jam saya menelepon ke rumah, untuk mengecek kondisi Fian. Demamnya tidak kunjung turun, tapi suhu tubuhnya masih dibawah 38. Mulai keringat dingin di telapak tangan saya. Pesan pada pengasuh pun bertambah, jika suhu sampai 38,5, segera lari ke UGD RS Harapan Kita dan saya akan menemui mereka di sana.
Lagi, saya merasakan dukungan orang-orang sekitar saya. SMS ke Dr. Attila Dewanti, diyakinkan bahwa penanganan saya sudah tepat : Paracetamol maksimal setiap 6 jam sekali, dan seka tubuhnya terutama di bagian leher dan ketiak jika panas meningkat. Telepon ke Dr. Ikhsan Mokoagow (adik Paskibra SMAN 78), dan dipesankan agar jangan lupa sedia Ibuprofen yang dimasukkan melalui anus di kulkas.
Pulang kerja, mampir di apotik membeli stok obat dan kompres.
Malamnya, demam Fian meningkat hingga 38,5. Untung Ibuprofen sudah tersedia. Penanganan obat pun berubah, Paracetamol setiap 8 jam, dan Ibuprofen diantaranya jika suhu tubuh melonjak diatas 38,5. Trauma akibat Nada yang dulu Ensefalitis dengan diawali kejang demam di tengah tidur siangnya, membuat saya secara otomatis tiap jam terjaga untuk mengukur suhu tubuh Fian. Suami pun ternyata tak luput dari trauma. Saat menyusui Fian saya mengirim sms, rencananya mengabari kondisi terakhir Fian. Baru mengetik, "Fian," tanpa sengaja terpencet tombol send. Buru-buru mengetik kelanjutannya, eh, telp langsung berdering, suami telepon ke rumah, "Fian kenapa?"
"Fian sedang sama bunda di kamar" kata pengasuh Fian.
"Lihat dulu sana," desak suami saya....
"Maaf yah, tadi kepencet send..."saya pun mengabari kondisi terakhir Fian, dan suami segera meluncur pulang.
Tgl 25 Maret 2009, saya izin tidak masuk kerja (Alhamdulillah punya kantor dan rekan kerja yang sangat pengertian...) Fian dibawa ke dokter. Ternyata tenggorokannya merah, radang, padahal tidak terdengar suara batuk sama sekali.
Selama 2 hari itu suhu badan Fian naik turun. Saya dan pengasuh secara bergantian menjaga Fian saat tidur siang. Dzikir pun tak lepas dari hati saya agar bisa tetap tenang.
Sempat tengah malam mencapai 39,2 hingga saya terlompat dari tempat tidur dan berteriak kepada suami yang masih berada di depan komputer di ruang keluarga dan mendengarkan seluruh aktifitas di kamar melalui baby monitor, "Ayah, Fian 39, proris di kulkas!"
Suami saya langsung loncat, dan Ibuprofen pun diberikan. Setelah saya memasukkan obat Fian melalui anusnya, barulah efek trauma itu terasa. Sekujur tubuh saya gemetar... dan suami memeluk saya untuk menenangkan...
Tgl 27 Maret 2009, meskipun pagi itu suhu tubuh Fian sudah cenderung stabil, kami tetap memeriksakan darahnya sesuai anjuran dokter karena malamnya masih naik ke 38,0, hanya untuk memastikan Fian tidak terkena DB. Saya izin tidak masuk kerja lagi...
Yang ingin saya bagi kali ini adalah... tentang trauma. Saya tidak bicara dari sisi kedokteran, pun tidak dari sisi psikologi. Saya hanya berbicara sebagai seorang Ibu yang pernah kehilangan anaknya dengan diawali kejang demam, dan trauma itu yang ternyata masih tersisa.
Alhamdulillah, meskipun trauma itu masih ada, akal dan nalar saya dan suami tetap bisa berfungsi.
Alhamdulillah, kami berdua tidak terlalu panik sehingga tetap bisa melakukan apa-apa yang diperlukan.
Alhamdulillah, trauma bagi kami akhirnya menjadi "sensor" dan "alarm" untuk tetap waspada dan tidak menganggap enteng kondisi putra kami yang tentunya dapat saja berakibat fatal.
Ternyata trauma, jika tetap dimanage dengan akal sehat, masih bisa berguna.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Semoga suatu hari nanti saya dan suami bisa terlepas dari trauma ini, atau paling tidak akan bisa memanage trauma ini dengan lebih baik lagi.
Saat ini Fian sudah sembuh dari demam dan radangnya. Terima kasih saya tak terhingga kepada D-NET karena pengertiannya, Dr. Attila, Ikhsan, kakak, keponakan, kerabat dan teman-teman yang menyampaikan doa kesembuhan bagi Fian via FB karena membaca status FB saya yang sempat online saat suhu Fian sedang turun.
Saya bahagia memiliki kalian semua sebagai teman dan saudara...
Jakarta, 29 Maret 2009
Yeni Suryasusanti
Di kantor, setiap 1 jam saya menelepon ke rumah, untuk mengecek kondisi Fian. Demamnya tidak kunjung turun, tapi suhu tubuhnya masih dibawah 38. Mulai keringat dingin di telapak tangan saya. Pesan pada pengasuh pun bertambah, jika suhu sampai 38,5, segera lari ke UGD RS Harapan Kita dan saya akan menemui mereka di sana.
Lagi, saya merasakan dukungan orang-orang sekitar saya. SMS ke Dr. Attila Dewanti, diyakinkan bahwa penanganan saya sudah tepat : Paracetamol maksimal setiap 6 jam sekali, dan seka tubuhnya terutama di bagian leher dan ketiak jika panas meningkat. Telepon ke Dr. Ikhsan Mokoagow (adik Paskibra SMAN 78), dan dipesankan agar jangan lupa sedia Ibuprofen yang dimasukkan melalui anus di kulkas.
Pulang kerja, mampir di apotik membeli stok obat dan kompres.
Malamnya, demam Fian meningkat hingga 38,5. Untung Ibuprofen sudah tersedia. Penanganan obat pun berubah, Paracetamol setiap 8 jam, dan Ibuprofen diantaranya jika suhu tubuh melonjak diatas 38,5. Trauma akibat Nada yang dulu Ensefalitis dengan diawali kejang demam di tengah tidur siangnya, membuat saya secara otomatis tiap jam terjaga untuk mengukur suhu tubuh Fian. Suami pun ternyata tak luput dari trauma. Saat menyusui Fian saya mengirim sms, rencananya mengabari kondisi terakhir Fian. Baru mengetik, "Fian," tanpa sengaja terpencet tombol send. Buru-buru mengetik kelanjutannya, eh, telp langsung berdering, suami telepon ke rumah, "Fian kenapa?"
"Fian sedang sama bunda di kamar" kata pengasuh Fian.
"Lihat dulu sana," desak suami saya....
"Maaf yah, tadi kepencet send..."saya pun mengabari kondisi terakhir Fian, dan suami segera meluncur pulang.
Tgl 25 Maret 2009, saya izin tidak masuk kerja (Alhamdulillah punya kantor dan rekan kerja yang sangat pengertian...) Fian dibawa ke dokter. Ternyata tenggorokannya merah, radang, padahal tidak terdengar suara batuk sama sekali.
Selama 2 hari itu suhu badan Fian naik turun. Saya dan pengasuh secara bergantian menjaga Fian saat tidur siang. Dzikir pun tak lepas dari hati saya agar bisa tetap tenang.
Sempat tengah malam mencapai 39,2 hingga saya terlompat dari tempat tidur dan berteriak kepada suami yang masih berada di depan komputer di ruang keluarga dan mendengarkan seluruh aktifitas di kamar melalui baby monitor, "Ayah, Fian 39, proris di kulkas!"
Suami saya langsung loncat, dan Ibuprofen pun diberikan. Setelah saya memasukkan obat Fian melalui anusnya, barulah efek trauma itu terasa. Sekujur tubuh saya gemetar... dan suami memeluk saya untuk menenangkan...
Tgl 27 Maret 2009, meskipun pagi itu suhu tubuh Fian sudah cenderung stabil, kami tetap memeriksakan darahnya sesuai anjuran dokter karena malamnya masih naik ke 38,0, hanya untuk memastikan Fian tidak terkena DB. Saya izin tidak masuk kerja lagi...
Yang ingin saya bagi kali ini adalah... tentang trauma. Saya tidak bicara dari sisi kedokteran, pun tidak dari sisi psikologi. Saya hanya berbicara sebagai seorang Ibu yang pernah kehilangan anaknya dengan diawali kejang demam, dan trauma itu yang ternyata masih tersisa.
Alhamdulillah, meskipun trauma itu masih ada, akal dan nalar saya dan suami tetap bisa berfungsi.
Alhamdulillah, kami berdua tidak terlalu panik sehingga tetap bisa melakukan apa-apa yang diperlukan.
Alhamdulillah, trauma bagi kami akhirnya menjadi "sensor" dan "alarm" untuk tetap waspada dan tidak menganggap enteng kondisi putra kami yang tentunya dapat saja berakibat fatal.
Ternyata trauma, jika tetap dimanage dengan akal sehat, masih bisa berguna.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Semoga suatu hari nanti saya dan suami bisa terlepas dari trauma ini, atau paling tidak akan bisa memanage trauma ini dengan lebih baik lagi.
Saat ini Fian sudah sembuh dari demam dan radangnya. Terima kasih saya tak terhingga kepada D-NET karena pengertiannya, Dr. Attila, Ikhsan, kakak, keponakan, kerabat dan teman-teman yang menyampaikan doa kesembuhan bagi Fian via FB karena membaca status FB saya yang sempat online saat suhu Fian sedang turun.
Saya bahagia memiliki kalian semua sebagai teman dan saudara...
Jakarta, 29 Maret 2009
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar