Kamis, 27 Januari 2011

Jilbab Saya : Awal Perkenalan, Prosesnya dan Saat Ini

"Iman tak dapat diwarisi
Dari seorang ayah yang bertakwa
Ia tak dapat dijual beli
Ia tiada di tepian pantai..."

Sepenggal syair lagu Raihan diatas saya kutipkan untuk mengawali sharing saya kali ini, tentang "Jilbab", atau apa pun sebutan yang benar untuk penutup kepala, leher dan dada bagi wanita muslimah.

Seperti umumnya wanita dari keluarga muslim, sebenarnya sudah sejak kecil saya mengetahui tentang kewajiban menutup aurat berdasarkan Al Qur'an dan Hadist. Tetapi mungkin karena sanksi jika tidak mengenakan jilbab tidak langsung saya rasakan, (tidak seperti jika terlambat datang ke sekolah maka tidak boleh masuk kelas dan di suruh pulang dengan membawa surat untuk orang tua dari guru BP hahahha) maka pengetahuan itu hanya tinggal pengetahuan saja.

Awal perkenalan saya dengan jilbab, adalah ketika saya "terpaksa" mengenakan jilbab karena mengikuti bimbingan belajar di Nurul Fikri untuk persiapan menghadapi UMPTN. Peraturan di Nurul Fikri saat itu, semua siswa perempuan diwajibkan mengenakan "Jilbab" bukan "Busana Muslimah". Jadi karena bimbingan belajar itu berlangsung setelah pulang sekolah, saya tetap mengenakan seragam sekolah saya (baju putih tangan pendek dan rok abu-abu sepanjang lutut) tapi menutup kepala saya dengan jilbab.
Guru bimbingan karir kami saat itu, Kak Hilmy Wahdi, kerap menegur saya karena mengenakan jilbab sambil berjalan menuju kelas, apalagi jilbab saya tidak menutup kepala dengan sempurna.
"Yeni, kog jilbabnya seperti Benazir Bhuto," itu sindiran yang selalu diutarakan oleh Kak Hilmy saat melakukan absen kehadiran :D

Selepas dari Nurul Fikri, panggilan untuk berjilbab sama sekali tidak pernah datang pada saya. Juga saat menikah, bahkan saat setelah melahirkan Ifan dimana saya merasa begitu dekat dengan maut, panggilan itu juga belum datang.
Jika ditanya oleh tante saya yang paling bawel soal agama (hihihihi sorry tetaaaa), Noverita Nukman, kapan saya akan menutup aurat, saya hanya menjawab sambil tersenyum, "Doakan ya teta, agar Yeni mendapat hidayah."
Sempat terpikirkan oleh saya bahwa mungkin saya akan mengenakan jilbab kelak, jika saya sudah tua, dan setelah kembali dari berhaji (oh... alangkah naifnya saya ya... hahahah).

Saat menjalankan ibadah puasa ramadhan pada tahun 2001, saya mengalami kejadian yang menurut saya aneh. Setiap melakukan shalat, air mata saya selalu mengalir tanpa henti, hingga shalat selesai. Padahal, untuk orang yang keras kepala seperti saya (I admit this from the bottom of my heart hahaha), menangis ketika shalat adalah hal yang asing bagi saya.
Selama 1 bulan penuh, hidup saya tidak tenang. Saya menceritakan hal ini kepada suami saya, tapi kami pun tidak berhasil menemukan alasan mengapa hal itu terjadi.
Pada hari raya Idul Fitri, panggilan pertama itu datang. Tiba-tiba di hari khusus itu saya ingin mengenakan jilbab, bukan hanya mengenakan kerudung seperti tahun-tahun sebelumnya. Ajaibnya, saat melakukan shalat pada hari itu, air mata saya tidak lagi mengalir. Tetapi, ketika melakukan perjalanan untuk kunjungan silaturrahim ke keluarga, mendengar lirik lagu Raihan di mobil, tenggorokan saya tercekat, dan mata saya terasa berair.
Malam harinya, saya berdiskusi dengan suami, tentang kegalauan hati saya, apakah ini merupakan hidayah untuk berjilbab?

Logika, pengetahuan dan emosi saling berperang.
"Saya belum siap," kata emosi saya. "Apanya yang belum siap, mari kita siapkan," sahut logika saya.
"Jakarta panas gitu lho," kata emosi saya. "Lebih panas juga Arab, tempat perintah jilbab diturunkan," bantah logika saya.
"Masih banyak sikap dan kebiasaan saya yang kurang baik yang tidak cocok dengan jilbab," kata emosi saya lagi. "Ya berubah dong..." kata logika saya.
"Koleksi baju muslimah belum cukup," emosi saya mengeluarkan senjata pamungkasnya. "Ya beli dong mulai dari sekarang..." tegur logika saya.
Akhirnya malam itu suami saya mencoba mencari jalan tengah atas kebimbangan saya, "Gini aja bun, kalau bunda belum siap berjilbab setiap hari, pakai aja kalau kita mau ke rumah saudara-saudara dulu, sambil berlatih membiasakan diri, dan sembari memperbanyak koleksi baju muslimahnya..."

Tapi, hidayah itu - jika kegalauan di bulan Ramadhan itu bisa disebut sebagai hidayah - hilang kembali. Setelah Ramadhan dan Syawal berlalu, saya tidak lagi menangis dalam shalat sehingga saya tidak lagi merasa terganggu. Niat mencicil beli baju muslimah pun hanya tinggal cerita, karena setiap kali mau membeli baju, yang terlihat bagus di mata saya kembali baju-baju yang ketat saja :D

Hingga akhirnya, kegalauan itu kembali datang pada hari ulang tahun saya yang ke 27, pada tanggal 31 Desember 2001, saat saya berkumpul merayakan bersama keluarga suami, saat Ayah mertua saya tercinta (Almarhum H. Abdul Karim Hasan) memimpin doa bersama, untuk kebahagiaan dan kesehatan saya.
Saat itu, jujur, yang terbayang di depan mata saya adalah kematian.
Saya teringat almarhumah kakak ipar saya (Ir. Safria Mirda), kakak suami yang tertua. Kak Saf, begitu panggilan kami, adalah wanita yang sangat baik. Tegas namun mengayomi adik-adiknya. Beliau meninggal mendadak di usia 33 th, meninggal 1 bulan setelah pernikahan saya, di dalam tidur pula, saat sedang menidurkan putra keduanya. Beberapa jam sebelumnya beliau masih sempat menggorengkan pempek untuk suaminya. Minggu depannya beliau baru mau masuk kerja kembali sehabis cuti melahirkan, dan sudah menyiapkan busana muslimah utk mulai dikenakan saat hari pertama kerja. Tahun itu beliau berencana naik Haji. Tapi, takdir berbicara lain. Kak Saf berpulang ke rahmatullah, sebelum melengkapi niatnya berbusana muslimah.
Kembali kepada saya, pikiran tentang kematian berkecamuk di kepala saya. Bagaimana jika saya meninggal malam ini? Sebelum sempat menutup aurat saya... sedangkan sebenarnya secara garis besar saya sudah mengetahui azab yang menanti saya kelak di akhirat akibat tidak menutup aurat.

Keesokan harinya, kebetulan ada keluarga yang melangsungkan acara pernikahan. Hari itu matahari bersinar cukup terik. Untuk menguji diri, saya meminta izin kepada suami untuk mengenakan busana muslimah. Saya berpikir bahwa saya pasti tidak akan tahan gerahnya... tapi ternyata saya salah total.
Betul, saya berkeringat. Tapi saya tidak "kepanasan". Bisa dikatakan saya tidak merasa terganggu sama sekali dengan kondisi udara saat itu.

Malamnya, kembali saya berdialog dengan diri sendiri.
"Saya tidak punya cukup koleksi baju muslimah," dibantah dengan "kamu punya banyak celana panjang dan blazer untuk bekerja."
"Saya tidak punya jilbab," dibantah dengan "alhamdulillah kamu masih tinggal dengan ibumu, dan beliau berjilbab, dan koleksi jilbab beliau lumayan banyak."
"Saya takut tidak menarik lagi, takut tidak merasa nyaman dan percaya diri seperti sekarang ini," dibantah dengan "buatlah model jilbab yang menarik bagi suamimu, dan kamu merasa cantik memakainya."
Akhirnya emosi saya menyerah... selepas shalat isya. Saya menyampaikan niat saya berjilbab mulai esok hari kepada suami dan Ibu saya. Mata suami saya berkaca-kaca karena bahagia. Ibu saya menangis, dan menyampaikan bahwa Ibu mendokan agar saya diberi hidayah oleh Allah saat beliau umroh di bulan Ramadhan yang lalu, dan menurut saya ternyata doa beliau lah yang menjadi penyebab banyaknya kejadian aneh selama Ramadhan yang lalu.

Tanggal 2 Januari 2002, saya mulai berjilbab. Berbagai reaksi muncul saat itu.
Umumnya, memberi selamat dan meminta saya mendoakan mereka segera menyusul. Kakak tertua saya, Yati Suryakusuma, bereaksi santai dengan tertawa, "Wah, jadi tinggal gue sendiri nih yang belum pake jilbab ya..."
Tapi juga ada yang bereaksi negatif, meragukan niat saya. Komentar "Yeni yakin? Jangan sampai nanti jilbab bongkar pasang..." disampaikan baik secara langsung maupun lewat Ibu saya.
Menanggapi reaksi negatif tersebut, saya hanya tersenyum dan menjawab, "Tolong, jangan ragukan niat saya. Tolong kuatkan saya dengan doa, agar saya tidak melepas lagi jilbab saya..."

Jika kita berniat kuat, Insya Allah diberi kemudahan oleh Allah. Itu saya alami dengan jilbab saya. Allah memberikan jalan bagi saya untuk tetap merasa cantik dengan jilbab saya. Buku tentang model jilbab mulai banyak beredar. Sebutlah "Jilbab Cantik" oleh Ratih Sanggarwati. Wanita-wanita berjilbab di sekeliling saya pun jadi inspirasi bagi saya, bahwa cantik dengan jilbab itu sangat mungkin. Adik sepupu saya sendiri, Amirah Nugrahani, dan teman saya di milis NCC, Luluk Lely Soraya, merupakan wanita yang menurut saya selalu terlihat cantik dengan jilbabnya.

Bagi saya pribadi, jilbab saya bukanlah pertanda saya sudah sempurna dalam akhlak dan ibadah saya. Masih cukup banyak sifat, pandangan hidup dan perilaku saya yang mungkin belum sejalan dengan jilbab saya. But at least, saya berusaha untuk membuat perubahan diri saya berjalan ke arah yang lebih baik, meskipun selangkah demi selangkah.

Saat ini, seperti seorang mahasiswa yang nyaman dan bangga dengan identitas jaket almamaternya, pada akhirnya, alhamdulillah, saya merasa nyaman dan bangga dengan jilbab saya, identitas saya sebagai seorang muslimah. 





Jakarta, 17 Juli 2009
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar