Jumat, 17 Juni 2011

Nilai Akademik vs Nilai Kehidupan



Hari ini adalah hari pengambilan rapor SD Bhakti YKKP Jakarta Barat.
Ifan sudah berangkat ke sekolah sejak pagi, karena ingin menonton acara performance teman-temannya.
Waktu saya bertanya, "Kira2 naik kelas nggak Fan?"
Ifan hanya tersenyum sambil mengangkat bahu... dia terlihat jauh lebih gembira, jauh lebih tenang dibandingkan saat pembagian rapor semester lalu :)

Semester lalu, ada nilai Ifan yang dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Cerita awalnya ada disini:

Antara Pengajar dan Pendidik : Ketika Saya Harus Memilih Peran...

Makanya ketika pembagian rapor semester lalu, Ifan terlihat agak lesu (meskipun tetap menampilkan sikap cuek juga hehehe...), karena sejak awal bersekolah saya sudah mengajari Ifan bahwa "Rapor hanyalah rangkuman dari hasil selama 1 semester, yang dilihat dari hasil latihan, uji kompetensi, ujian tengah semester dan ujian akhir semester."

Sejak awal semester ini, Ifan, Kak Tri (Guru Privat yang mengajar Ifan sejak bulan November 2010) dan Saya bekerja sama untuk memperbaiki nilai Ifan agar bisa naik kelas. Kebijakan di SD Bhakti, jika ada 3 nilai rapor yang di bawah KKM, maka siswa tidak akan bisa naik kelas. Masalahnya, nilai KKM yang ditetapkan cukup tinggi menurut saya, meskipun saya juga memahami, standard tinggi yang diterapkan semata-mata agar lulusan dari SD Bhakti memiliki kualifikasi yang unggul dan bisa diterima di SMP yang unggulan pula :)

Alhamdulillah, kerja sama ini membuahkan hasil yang baik, jauh lebih baik dari semester lalu. Hasil rapor tadi, semua nilai Ifan berhasil jauh melewati KKM (dengan nilai rata-rata 80,4) meskipun secara peringkat Ifan masih di tengah-tengah, tapi juga jauh meningkat dibanding semester lalu Ifan di kumpulan peringkat bawah :D

Tadi pagi saya sempat membuat status tentang anak-anak dan pembagian rapor:

"Sebenarnya, rapor hanyalah hasil akhir perjuangan selama 6 bulan. Tapi kenapa mayoritas anak2 justru takut pada hari pengambilan rapor ya? Bukannya seharusnya khawatir saat menjalani prosesnya selama 6 bulan? hehehhe..."

Beberapa teman ada yang ikut berkomentar, tapi ada dua komentar teman saya yang membuat saya menyadari mengapa ketakutan itu terjadi.

"Karena paradigma ortu di indonesia masih sama dari dulu sampe sekarang mba, yaitu tolak ukur kecerdasan anak dilihat dari hasil nilai2 mereka yg notabene nilai akademik. Kalo nilai raport anak kurang memuaskan, pasti reaksi hampir smua ortu sama---> yaitu: Marah, mereka bilang malu sama teman2 mama, teman2 papa, dsb...jadi jangan salahkan anak yang merasa dieksekusi saat pembagian raport, perasaan takut saat terima raport jauh mengalahi saat proses ujian berlangsung. Jadi mungkin qta sbg ortu harus mulai memperbaiki paradigma tentang nilai2 akademik anak, karena tingkat kecerdasan masing2 anak bukan melulu dari segi akademik, banyak para cendikia yg ngga excellent dlm akademiknya saat usia sekolah tapi mencapai kondisi maksimum saat usia produktif mereka, mereka bisa menghasilkan, menciptakan, mendedikasikan kemampuan mereka secara optimal....CMIIW" demikian kata teman saya, Dian Eka.

"Budaya bangsa kita, tidak diajarkan untuk menghargai proses melainkan hasil akhirnya.. :P" demikian komentar lain dari teman saya, Andreas Eko Widiarto.

Ternyata yang menyebabkan anak-anak takut menghadapi pembagian hasil (apapun bentuknya) mayoritas adalah kemarahan orangtua. Juga betapa ternyata Indonesia telah ikut menganut "Management by Objective" yang demikian kental sehingga melupakan bahwa proses juga berperan penting.

Dan hal ini membuat saya teringat percakapan Ifan dan temannya (laki-laki) pada hari pengambilan rapor semester lalu di bulan Desember 2010 saat kami makan nasi goreng di depan sekolah setelah mengambil rapor Ifan.

"Fan, gimana rapornya?" tanya temannya.
"Ada yang dibawah KKM. Kamu?" sahut Ifan.
"Sama dong..."
Diam sejenak, kemudian temannya kembali bertanya.
"Kamu dimarahin nggak sama mama-mu?"
"Nggak tuh, aku dipeluk, terus hanya dinasehatin aja supaya belajar lebih sungguh-sungguh dan lebih rajin, nggak dimarahin, nggak dihukum. Bunda-ku kan baik..." ujar Ifan sambil tetap makan nasi gorengnya.
"Wah... enak banget kamu... kalau aku habis dimarahin mamaku..." cerita temannya.

Saya mendengarkan dalam diam. Dan seketika itu juga merasa bahagia bercampur rasa terharu karena dinilai baik oleh Ifan dan bersyukur kepada Allah karena yang ada dalam pikiran saya saat menerima rapor Ifan yang nilainya kurang memuaskan adalah, "Seorang anak yang menerima hasil yang kurang baik juga sudah cukup terpukul. Kemarahan orangtua - apalagi di depan orang banyak - hanya membuat anak menjadi lebih terpuruk. Toh saya sudah bisa membaca hal ini akan terjadi ketika saya menerima hasil latihan dan uji kompetensi Ifan dan diantaranya ada yang dibawah KKM. Kemarahan atas hasil itu percuma. Proses lah yang harus kami perbaiki." 

Banyak saya baca, generasi masa kini adalah anak-anak yang memiliki rasa persaingan yang tinggi, namun kurang memiliki rasa percaya diri dan kejujuran pada diri sendiri, sehingga terkadang demi mendapatkan nilai yang tinggi mereka bersedia menghalalkan segala cara bahkan yang tidak logis sekalipun. Contoh nyata, banyak siswa yang mendatangi Ponari hanya untuk merendam pensil yang akan digunakan untuk mengerjakan UAN :(

Yah, menurut saya, untuk mengatasi masalah ini kita - para orangtua - yang terutama harus melakukan introspeksi diri...

Jakarta, 17 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar