Selasa, 14 Juni 2011

[Sharing Puisi] Cerita Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Tetangganya


Hari ini di group Millenial Learning Center, saya mendapatkan posting puisi ini, yang sungguh mengetuk nurani.
Membacanya saya seketika teringat jasa Ibu yang tidak mungkin bisa terbalas. Terutama karena saya sama seperti tokoh dalam puisi ini - Lia - yang lahir sungsang dari rahim ibunda. Bedanya, Ibunda Lia dibantu kelahirannya dengan bedah caecar, sedangkan Ibu saya berjuang melahirkan saya dengan persalinan secara normal. Bayangkan beratnya perjuangan beliau untuk melahirkan saya ke dunia...

Pernah saya membaca ucapan Umar bin Khattab RA, "Ajarkan sastra kepada anak-anak kalian. Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani."
Well, saya memang pernah merasa menjadi orang yang penakut, mungkin juga pengecut pada suatu masa di masa lalu. Meskipun saat ini saya masih belum merasa menjadi orang yang "pemberani", namun memang sastra dan seni, entah itu prosa, lirik lagu ataupun puisi, seringkali menggugah kesadaran dalam diri.

Puisi ini membuat saya merasa tersindir, betapa mudah saya ikut-ikutan suatu tradisi tanpa berusaha menganalisa apakah hal itu ada manfaatnya atau tidak, dan apakah dengan ikut melaksanakan tradisi itu berarti saya telah menyerupai kaum tertentu.
Padahal jelas Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya". (HR. Abu Daud No. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)

Alhamdulillah, puisi ini saya baca disaat yang tepat, menjelang ulang tahun putra bungsu saya yang ke 3 th, Ahmad Balda Arifiansyah.
Kebetulan saat ini di keluarga besar kami memang masih membudaya acara tiup lilin untuk merayakannya, dilakukan setelah doa bersama... Meskipun lilin ditiup hanya untuk acara suka-suka, bahkan diulang-ulang sesuai siapapun yang meminta...

Sungguh mengubah sebuah tradisi memang tidaklah mudah, tetapi sebenarnya juga tidak terlalu susah, jika niat dalam hati sudah kuat ingin melakukan hijrah.
Kita hanya perlu menggantikan tradisi lama dengan yang baru, dan sekedar penjelasan mengapa perubahan ini perlu...
Untuk acara ulang tahun Fian - dan Ifan - tahun ini dan seterusnya, semoga nasi kuning yang dibuat dengan penuh cinta dan dibungkus doa - tanpa tiup lilin - cukup sebagai perayaannya :)

Anyway, puisi yang sangat panjang ini saya posting disini sebagai pengingat diri, dan siapa tahu jika teman-teman membaca puisi ini juga bisa terketuk nurani...

Bapak Taufik Ismail, terima kasih untuk puisi yang penuh hikmah ini :)

Jakarta, 14 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Tetangganya

1

Seminggu lalu
datanglah undangan
untuk kami anak-anak penghuni panti asuhan
diantarkan seorang ibu
dan anak gadisnya.

Sekolahnya kira-kira di SMA
mereka naik Corolla biru
dari pakaian, cara bicara dan perilaku
kelihatan tamu ini orang gedongan
golongan yang hidup lebih dari kecukupan.

Mereka mengundang
anak-anak panti asuhan
untuk ikut acara ulang tahun
Rebo jam tujuh malam.

Dan berangkatlah kami pada waktu yang ditentukan
berjumlah dua puluh tiga, termasuk bapak dan ibu asrama
jalan kaki bersama, karena jaraknya cuma terpisah sepuluh rumah saja.

Rombongan disilakan masuk dengan ramah
dan anak-anak berusaha duduk di belakang-belakang saja
tapi disuruh berbaur dengan tamu-tamu lainnya
para remaja belasan tahun
mereka sehat-sehat, harum-harum
berbaju mahal dan tembem-tembem pipinya
saya berjuang melawan sifat minder saya
duduk di tengah ruang tamu yang luas.

Di atas karpet bersila, pegal dan canggung
di antara jajaran barang antik dan macam-macam perabotan
di bawah lampu kristal bergelantungan.

Tapi alangkah aku jadi heran
tidak ada acara potong kue dan tiup lilin
tidak ada tepuk tangan mengiringi
lagu Hepi-Bisde-Tuyu
Hepi-Bisde-Tuyu.

2

Lalu seorang remaja membaca
Surah Luqman dengan suara amat merdunya
dan suaranya berubah jadi untaian mutiara
yang berkilauan jadi kalung di leher pendengarnya.

Kemudian
Lia yang berulang tahun
berpidato sangat mengharukan
dalam acara seperti ini
bukan saya yang jadi pusat perhatian
diperingati atau dihargai

tapi mama
ya, mama kita
ibunda kita
dan
ayahanda.
Ibunda dan ayahanda
pusat perhatian kita.

Hari ini, enam belas tahun yang lalu
mama melahirkan saya
posisi saya sungsang
saya terlalu besar
jadi mama harus sectio caesaria 

mama dibedah,
berdarah-darah
seluruh keluarga khawatir dan berdoa
di luar ruang operasi
duduk menanti berita
dalam kecemasan luar biasa
tapi alhamdulillah
kelahiran selamat
walaupun mama sangat menderita

Sekarang ini, enam belas tahun kemudian
ulang tahun saya dirayakan
saya pikir, tidak logis saya jadi pusat perhatian
harus mama yang jadi pusat perhatian
mama. Bukan saya
saya pikir, tidak logis saya minta kado
harus mama yang diberi kado

Anak gadis itu berhenti sebentar
dia sangat terharu
kemudian dia mengambil sebuah bungkusan
kertas berkilat, diikat pita berbentuk bunga.

Mama
terima kasih mama, terima kasih
mama telah melahirkan
saya dengan susah payah
mama menyabung nyawa
berdarah-darah.

Persis
malam ini, 16 tahun yang lalu
terimalah rasa terima kasih ananda
tidak seberapa harganya.

Mamanya berdiri
terpukau pada kata-kata anak
gadisnya
terharu pada jalan pikirannya
yang dia tak sangka-sangka
dia langsung memeluk anaknya
terguguk-guguk menangis
keduanya tersedu-sedu
hadirin menitikkan air mata pula
suasana mencekam terasa
dan hening agak lama

3

Kemudian kakak pembawa acara berkata
para hadirin yang mulia
ini memang kejutan bagi kita
karena dengan tahun yang lalu
acara ini berbeda
Lia tidak mau tiup lilin jadi acara
karena ditemukannya di ensiklopedia

Manusia di Zaman Batu di Eropah
percaya pada kekuatan
nyala lilin, begitu tahayulnya
bisa mengusir sihir, roh jahat, leak dan
memedi begitu katanya
termasuk si jundai, setan, hantu, kuntilanak dan
gendruwo.

Dan itu berlanjut ke zaman Romawi kuno
lalu dikarang lagi
berikutnya superstisi
yaitu apabila lilin-lilin itu sekali tiup nyalanya
semua mati.

Maka akan terkabul
apa yang jadi cita-cita di dalam hati.

Lia tidak mau acara ulang tahunnya 
oleh tahayul jadi bernoda
acara yang ditentukan oleh budaya jahiliah zaman
purbakala.

Katanya: “Kok tiupan nyala 16 lilin 
bisa menentukan nasib saya?
Allah yang menentukan nasib saya.

Sesudah kerja keras saya
saya tidak mau dibodoh-bodohi tahayul
walaupun itu datangnya dari
barat atau pun timur juga.

Saya tidak mau dibodoh-bodohi budaya mereka
minta kado dari papa dan mama
minta kado dari keluarga dan
kawan-kawan saya.

Saya tidak mau cuma jadi kawanan burung kakaktua
burung beo yang pintar meniru adat Belanda dan Amerika
dalam acara ulang tahun kita
begitu katanya.

Sesudah bertangis-tangisan
dengan ibunya
berkatalah yang berulang tahun itu

Hadiah paling saya
harapkan dari kalian
adalah doa bersama
sesudah hamdalah dan
salawat
karena saya ingin jadi anak yang baik laku
jadi perhiasan di leher ibuku
jadi penyenang hati ayahku
rukun dengan kakak-kakak dan
adik-adikku
bertegur-sapa dengan semua tetangga
dan kelak ketika dewasa
berguna bagi Indonesia.

4

Anak yatim piatu yang mendapat undangan itu
lihatlah bersama kawan-kawannya
disilakan makan bersama-sama
dengarlah kisah kesannya.

Kini, dalam acara makan kunikmati nasi
beras Rajalele yang putih gurih
dendeng tipis balado, ikan emas panggang
dan udang goreng, besar dan gemuk-gemuk
belum pernah aku memegang udang sebesar itu.

Di asrama ikan asin dan tempe
seperti nyanyian yang nyaris abadi
kadang-kadang makan pun cuma sekali sehari.

Ketika kulayangkan
pandangku ke depan
kulihat tuan rumah yang baik hati itu
bapak dan ibu itu
berdiri bersama Lia anak gadisnya
berbicara amat mesranya.

Kubayangkan ayahku almarhum
mungkin seusia dengan bapak ini
beliau meninggal ketika umurku setahun.

Kubayangkan ibuku almarhumah
wafat ketika aku kelas enam SD
mungkin seusia pula dengan ibu itu.

Tidak pernah aku merayakan ulang tahunku
Tidak pernah.

Semoga sorga firdaus jua
Bagi ibu bapakku

Panas
mengembang di atas pipiku
tak tertahan
titik air mataku.

Taufik Ismail,
1980, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar