Selasa, 07 Mei 2013

Tentang Rezeki, Ikhtiar dan Rasa Syukur :)




Hari Senin selalu merupakan hari yang padat bagi saya, sehingga saya lebih sering pulang jauh melewati batas waktu kerja normal di kantor  yaitu pukul 5 sore.

Biasanya, karena harus berkejaran pula dengan batas akhir waktu sang asisten pulang hari yang menemani Ifan dan Fian di rumah, maka seringkali saya memilih naik ojek meskipun tentu saja biaya transportasi saya akan lebih melambung tinggi dibandingkan dengan jika saya memilih naik bis baik yang reguler maupun Trans Jakarta.
Jika kebetulan orangtua saya sedang datang berkunjung karena mereka masih cukup banyak terlibat dengan kehidupan pasca pensiun di Jakarta, maka saya agak lebih bisa leluasa memilih jenis transportasi :)

Seperti Senin malam kemarin, saya memilih menggunakan Bis Reguler dan bukannya Trans Jakarta.
Beberapa rekan pernah bertanya mengapa, karena bukankah bis Trans Jakarta lebih sejuk karena AC-nya dan lebih cepat karena jalur "hampir" bebas hambatannya?
Namun pada kenyataannya, dengan menggunakan bis Trans Jakarta, saya akan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menunggu bis dan harus transit pula. Belum lagi kecil kemungkinan saya akan mendapatkan tempat duduk sehingga saya akan berdiri hampir di sepanjang perjalanan saya. Waktu perjalanan juga menjadi tidak jauh berbeda karena waktu yang diperlukan untuk transit dan lamanya waktu yg dihabiskan untuk menunggu bis berikutnya. Jadi, hanya menang sejuknya AC saat di dalam bis saja.
Sedangkan dengan bis reguler, dari lokasi kantor saya selalu masih ada tempat duduk di dekat jendela yang tersisa. Memang ada beberapa titik kemacetan, tapi jika dibandingkan secara keseluruhan maka waktu yang dihabiskan hampir setara dengan perjalanan menggunakan bis Trans Jakarta. Asalkan tidak hujan sehingga jendela harus ditutup rapat dan mengakibatkan udara menjadi pengap, menggunakan bis reguler sebagai pilihan transportasi masih terasa cukup nyaman bagi saya :)

Belum lagi pengalaman di sepanjang jalannya.
Jujur harus saya akui, lebih banyak hikmah yang saya dapatkan ketika saya bersentuhan dengan masyarakat yang umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah di perjalanan yang menggunakan bis regular.
Jauh lebih banyak hikmah yang saya temui daripada menggunakan Trans Jakarta, Ojek, Taksi, apalagi mobil pribadi.

Terutama tentang bersyukur.
Sungguh, jauh lebih mudah bersyukur ketika kita dihadapkan dengan orang-orang yang kurang beruntung jika dibandingkan dengan keadaan kita secara materi, bukti nyata nikmat Allah yang lebih banyak kita terima dari sisi materi meskipun belum tentu dari sisi lainnya.

Malam itu, bukan hanya rasa syukur yang saya rasakan. 
Namun juga bagaimana Allah memberikan rezeki maksimal ketika ikhtiar kita juga maksimal, dan bagaimana segala sesuatu yang disampaikan dari hati akan terasa pula di hati penerimanya.

Seperti biasa, perjalanan dengan bis reguler akan diwarnai kehadiran para pengamen jalanan.
Ada yang mengamen namun menyisipkan kata-kata pembuka yang bernada pemerasan sehingga lebih terasa sebagai preman yang berkedok pengamen, ada yang menjual penderitaan untuk membeli rasa iba para penumpang, ada pula anak-anak kecil yang katanya di exploitasi. 
Namun demikan, diantara sekian jenis pengamen itu ada saja saya temukan seorang pengamen yang betul-betul pantas menjual suara.

Malam itu, seorang pengamen remaja - kalau tidak bisa saya sebut sebagai pra remaja - yang menjual suaranya di bis reguler yang saya tumpangi telah menimbulkan kesan yang mendalam di hati saya.

Awalnya saya tidak memperhatikan sekitar, tenggelam dalam suara mp3 yang terdengar melalui headset di kedua telinga saya.
Namun entah mulai dari titik mana, saya mulai memasang telinga mendengarkan suaranya diantara gelegar lagu mp3 saya yang akhirnya saya pencet tombol off-nya.
Pengamen itu menyanyikan lagu jenis Rap. Jujur saya tidak mengenal sama sekali lagunya, karena lagu Rap yang saya kenal di zaman saya ya hanya lagu-lagu Iwa K yang beberapa lirik dan lagunya saya hafal diluar kepala :D
Suaranya yang masih bernada tinggi seperti belum dewasa benar terdengar bersemangat dan sepenuh hati melantunkan kata-kata bernada Rap maupun menyanyikan alunan lagu saat tiba di bagian refrainnya.

Wow, batin saya seketika, ketika saya mengenali bahwa pengamen remaja itu menyanyi dengan hatinya. 
Saya - yang memang sejak remaja juga berkecimpung di bidang tarik suara - langsung bisa mengenali caranya bernyanyi. Karena nyanyian yang dilantunkan dari hati akan terasa hingga ke hati.
Berkali-kali saya menghela nafas kagum.
Untuk seorang pengamen jalanan, kualitas permainan gitarnya cukup lumayan, suaranya pun bagus meskipun tidak terlalu luar biasa indah seperti penyanyi yang telah terbiasa berlatih di studio latihan. Namun saya sungguh mengagumi kesungguhannya.
Diabaikannya penuhnya bis kota, dan keringat mengalir di keningnya yang sebagian tertutup topi pet berwarna merah. Suaranya terkadang terdengar seperti membutuhkan air untuk melegakan tenggorokan, namun dia tetap bernyanyi seolah terbawa kenikmatan.

Saya mulai memperhatikan si pengamen remaja itu secara fisik.
Beberapa pengamen jalanan yang memang rutin mencari nafkah di bis reguler sudah saya hafal orangnya. Namun si pengamen remaja ini baru sekarang saya temui.
Saya langsung menduga-duga, mungkin dia seorang anak sekolah yang sedang libur karena kakak kelasnya sedang UN, atau bahkan anak sekolah yang baru saja selesai UN, karena rasanya tinggi badannya tidak jauh dari tinggi badan putra saya, Ifan (yang saat ini masih kelas VI), hanya lebih kurus saja.
Dia juga berpakaian cukup rapi dan bersih, tidak ada anting-anting di sebelah telinga ataupun tato di tangannya, seperti yang banyak saya lihat pada tubuh pengamen jalanan pada umumnya.
Santun. Itu adalah kata yang paling tepat menggambarkan penampilannya.

3 lagu Rap yang dia nyanyikan. Dan ditutup dengan kata-kata manis doa selamat di jalan bagi para penumpang, juga ditutup dengan senyuman dan salam secara Islam.
Kemudian sang pengamen remaja membuka topinya untuk digunakan sebagai wadah menampung pemberian dari para penumpang.

Kebetulan saya duduk di dekat jendela agak di baris belakang di sebelah kanan, sehingga bisa melihat penumpang yang berjajar hingga di baris depan.
Semua penumpang - termasuk saya sendiri - sepertinya beranggapan bahwa sang pengamen muda pantas mendapatkan imbalan lebih atas hiburan yang telah dia berikan dengan sepenuh hati. Tidak ada yang memberikan uang logam. 
Saya bisa memastikan karena jujur saya memperhatikan dengan seksama. Seluruh penumpang yang memberi uang di baris kanan bis reguler tersebut memberikan uang kertas ketika sang pengamen remaja dengan sopannya tersenyum, mengucapkan kata "permisi" dan "terima kasih" sambil mengulurkan topi merahnya kepada para penumpang.

Ketika itulah hikmah saya dapatkan.

Pengamen remaja ini membuktikan kepada saya bahwa Allah Maha Adil dalam menebar rezeki. 
Di gunung, di laut, di gurun bahkan di kutub, rezeki sudah ditebar Allah untuk seluruh makhluk di bumi. 
Hanya tinggal bagaimana cara kita berikhtiar menjemput rezeki yang tersebar hingga sampai di ujung jemari.

Pengamen remaja ini mengajarkan kepada saya tentang indahnya ikhtiar yang dilakukan dari hati.
Yang sepertinya tidak merasakan lelah yang menghampiri, meski keringat menetes di dahi.
Namun sekali lagi kasih sayang Allah terbukti, bagi yang meluruskan niat, mengikhlaskan hati, maka akan menuai kemudahan dalam mencari rezeki.

Pengamen remaja ini juga mengajarkan kepada saya, bahwa tidak perlu kita bersuara kasar dan memaksakan kehendak ketika kita ingin mendapatkan apa yang menjadi tujuan kita.
Kata-kata santun yang disampaikan dengan bahasa yang tertata rapi, bahkan dengan terlebih dahulu memberikan kebaikan seperti dengan menyampaikan doa setulus hati, jauh lebih efektif dan membuat orang dengan ikhlas memberi, bukan dengan terpaksa dan kemudian menggerutu di dalam hati.

Pengamen remaja ini sekali lagi mengajarkan kepada saya tentang rasa syukur, yang ketika saya tiba di rumah segera saya ajarkan kembali kepada Ifan dengan bercerita tentang bagaimana kita patut bersyukur.
Karena Ifan bisa bersekolah tanpa perlu bersusah payah membantu mencari nafkah.
Karena Ifan bisa makan dan membeli tanpa harus memeras keringat mengais rezeki.
Karena Ifan masih memiliki kedua orangtua yang dengan sepenuh jiwa raga mengusahakan yang terbaik untuknya.

Malam itu, Ifan memeluk saya, mengucapkan terima kasih atas segalanya.
Malam itu, lewat doa, saya pun mengucapkan terima kasih kepada sang pengamen remaja.

Jakarta, 7 Mei 2013
Yeni Suryasusanti

2 komentar:

  1. saya salah satu silent rider-nya mba yeni... sudah lama menunggu tulisan barunya. dan akhirnya... lagi-lagi membuat saya terhanyut... dan juga bersyukur ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih banyak ya Finda sudah jadi rider blog-ku *peluuukkk*
      iya, belakangan ketimbun kerjaan jadi nggak sempat banyak berpikir dan menganalisa sekeliling jadi nggak sempat jadi bahan renungan dan tulisan...
      doakan allah memberikan padaku waktu dan kemampuan bagiku utk secara berkala tidak terlalu lama bisa membuat tulisan baru ya... :)

      Hapus