Selasa, 08 Januari 2013

Ketika Ifan Belajar Memberikan Solusi :)



Banyak teman bahkan pakar pendidikan beranggapan bahwa mayoritas anak masa kini hanya tahu disuapi. Terbiasa mendapatkan solusi langsung dari orangtua dan lingkungan yang berniat mempermudah hidup mereka atas nama cinta, namun ternyata berefek menurunkan kadar kemampuan analisa dan memecahkan masalah-masalah non akademis atau lingkungan mereka.

Kali ini saya ingin menceritakan, bagaimana akhirnya ketika berada dalam kondisi terjepit Ifan berhasil memberikan solusi dari suatu masalah yang menurut saya cukup pelik.

Begini ceritanya...

Ifan dan Fian masih tetap berkonflik. Sifat mereka yang sama-sama jail, suka meledek dan sensitif kerap menjadi faktor utama perselisihan diantara keduanya.
Seperti yang sering saya tuliskan, Ifan sangat menyenangi pelajaran dan permainan terkait teknologi seperti komputer, PSP, DS dan Wii.
Karena kami membiasakan untuk kebanggaan membeli barang pribadi dengan uang sendiri, maka Ifan  menabung untuk membeli PSP dan Wii. Fian, mulai mengikuti, baru memiliki DS saja.
Dalam beberapa kesempatan, Fian menonton Ifan main PSP. Memang seru sekali melihat betapa tekunnya Ifan mencoba memenangkan permainan demi permainan. (Duh.... Coba kalau untuk semua pelajaran tekun begini ya Nak... hehehe...).
Akhirnya timbul minat Fian untuk memainkan permainan yang sama.
Mungkin karena anak yang lebih kecil, Fian cenderung lebih suka memaksakan kehendak dibandingkan Ifan. Fian juga cenderung lebih suka mengadu setiap kali merasakan perbuatan Ifan tidak menyenangkan dirinya. 

Belakangan ini, Fian seringkali ingin meminjam PSP milik Ifan. Awalnya diizinkan. Namun, karena belum benar-benar mengerti dan menguasai, pernah sekali waktu sekitar tahun lalu rekor Ifan terhapus oleh Fian sehingga Ifan harus memulai permainan dari awal lagi. Hal ini membuat Ifan marah dan trauma.
Meskipun sekarang Fian sudah cukup memahami agar tidak mendelete game yang Ifan main, tapi Ifan tetap khawatir. Akibatnya, Ifan lebih sering tidak bersedia meminjamkan PSP kepada Fian. Fian pun kerap menangis karenanya.

Berbagai upaya telah saya lakukan, namun tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Memberi pengertian Ifan akan baiknya berbagi, bahwa Ifan juga selama ini selalu membutuhkan pinjaman dari Allah dan suatu waktu pasti akan meminjam barang dari orang lain, juga memberi pengertian Fian bahwa pemilik barang memiliki hak penuh untuk meminjamkan atau tidak barang miliknya. 
Namun paling sering akhir dari konflik tersebut adalah Fian menangis sambil berteriak "Abang pelit!!!" jika saya membiarkan Ifan tidak meminjamkan PSP kepada Fian, atau Ifan marah dan cemberut jika saya berhasil meminta Ifan meminjamkan PSP tersebut :(

Pada suatu malam, Ifan dan Fian berkonflik lagi.
Suami saya yang saat itu sedang ada di rumah, sampai lepas kendali. Beliau menyita PSP dari tangan Ifan dan berkata akan menjualnya saja daripada dijadikan bibit pertengkaran antar saudara kandung.
Fian yang cenderung bersifat lebih vokal, segera berteriak, "Jangan dijual, Ayah... Itu punya abang..."
Sementara itu, Ifan berlari ke kamarnya, terlihat sambil menahan tangis. 
Saya pun mendesah nyaris putus asa. 

Saya memberikan waktu sejenak bagi Ifan untuk sendiri. Fian - yang bersikap seperti "ekor" saya jika saya ada di rumah - saya berikan pengertian agar membiarkan saya masuk ke kamar Ifan untuk melakukan pembicaraan tanpa gangguan.
"Fian mau PSP nggak jadi dijual ayah? Kasih bunda waktu untuk diskusi dengan Abang." demikian kata saya tegas kepada Fian.
Fian pun menunggu di luar kamar.

Saya kemudian masuk, dan mendapati Ifan tertunduk murung sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, nyaris menangis.
"Bunda sudah pernah kasih peringatan ke Ifan. Belajarlah untuk saling berbagi, belajarlah untuk saling menyayangi, atau bisa-bisa nanti Ifan nggak memiliki apa-apa lagi. Lihatkan hasilnya? Ayah marah, dan Bunda nggak bisa membantu Ifan lagi kalau sudah begini."
Ifan mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menatap saya dengan sorot mata berapi-api, bercampur dengan airmata yang menggenang.
"Ifan nggak terima keputusan Ayah?" tanya saya langsung dengan tangan terlipat di depan dada.
"Tapi PSP itu Ifan beli dengan uang tabungan Ifan," protesnya.
"Ayah dan Bunda tahu. Uang Ifan Rp 2,5 juta waktu membelinya. Ayah pasti akan mengembalikan uang Ifan secara penuh meskipun hasil penjualan PSP jauh dibawah harga belinya dulu. Masalahnya, harga PSP yang baru hampir Rp 3 juta. Jadi Ifan memang punya uang seperti dulu waktu mau beli PSP, tapi nggak cukup untuk membeli PSP yang baru. Jadi Ifan merugikan diri sendiri karena tidak bersedia berbagi," jelas saya panjang lebar.

Airmata Ifan mulai mengalir karena kemarahan, mungkin karena merasa diperlakukan secara tidak adil.
Karena memahami hatinya, saya mencoba menggali, mencaritahu secara detail inti permasalahan dan kekhawatirannya. 
Lalu saya berkata, "Fan, Bunda nggak ngerti soal PSP sama sekali, jadi Bunda nggak bisa membantu mencarikan solusi. Tapi, kalau Ifan mau PSP nggak jadi dijual, kita harus menemukan cara bagaimana Fian bisa bermain PSP dengan tanpa Ifan khawatir game Ifan terhapus."
"Kenapa Fian nggak beli PSP sendiri?" tuntut Ifan.
"Fian belum bisa berkomitmen merawat mainan. Ayah dan Bunda tidak mau membelikan Fian atau menggunakan tabungan Fian, karena harga PSP cukup mahal. Ifan dulu juga Ayah Bunda izinkan beli DS, Wii dan PSP setelah bisa merawatnya. Ingat kan?" tanya saya retoris.
"Tapi sekarang PSP Ifan jadi mau dijual Ayah gara-gara Fian!" protes Ifan dengan nada marah.
"Bukan hanya gara-gara Fian. Tapi juga gara-gara Ifan sendiri. Ayah dan Bunda memang ingin kalian belajar berbagi. Itu alasan lain Fian belum beli PSP. Toh Fian meminjam PSP saat Ifan nggak sedang main. Kenapa nggak boleh?"
"Soalnya nanti nama Ifan dihapus, Bun..."
"Apa nggak bisa Fian diajari sampai mahir aja, biar yakin nama Ifan di game nggak terhapus?"
"Nggak bisa pasti Bun, kalo di save game-nya kadang bisa bentrok..."
"Yah, kalau gitu bunda udah nggak bisa bantu cari solusi lagi. Coba Ifan pikirkan cara lain, lalu kasih tahu Bunda secepatnya. Siapa tahu kita bisa membatalkan niat Ayah menjual PSP Ifan."

Ifan berdiam diri, terlihat memutar otak. Saya hanya menatapnya, juga dalam diam.
Tiba-tiba seperti terlintas cahaya di mata Ifan, lalu diikuti keraguan, sepertinya agak kurang yakin untuk menyampaikan apa yang ada di pikirannya.

"Bagaimana Fan? Waktu kita nggak panjang..." pancing saya.
"Hmmm..... Bun, gimana kalo Fian beli Memory Card aja. Harga memory card harusnya sih nggak terlalu mahal. Nanti memory card Ifan yang ada di dalam PSP bisa dicopy seluruhnya ke memory card Fian. Jadi kalau Fian mau main, dia bisa pinjam PSP Ifan, tapi pake memory card-nya sendiri... Memory card Ifan akan Ifan keluarkan, jadi permainan Ifan nggak terganggu..." tanya Ifan dengan penuh harap sambil menatap saya.

Saya berlagak sedang berpikir sambil dalam hati kagum setengah mati. Jalan tengah yang luar biasa! Tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membeli PSP baru, tidak memaksa Ifan berperang dengan rasa khawatir, tidak memaksa Fian untuk mengingat-ingat hal yang rumit yang belum dikuasainya, dan tetap mengajarkan mereka untuk berbagi. Kenapa saya tidak memikirkan solusi itu ya? Pastinya karena saya tidak pernah main PSP Ifan :D

"Okay, sekarang yang harus Ifan lakukan adalah menghadap Ayah. Minta maaf dulu karena tadi nggak mau berbagi dengan Fian, lalu sampaikan usul Ifan. Jangan langsung minta jawaban setuju atau nggak. Kasih ayah waktu untuk mempertimbangkan..." saran saya menutup diskusi dengan Ifan.

Saya tidak tahu bagaimana cara Ifan menyampaikan usulan solusinya kepada suami saya. Namun hasilnya, seminggu kemudian, tepatnya hari Minggu malam, 6 Januari 2013, kami membeli memory card baru merk Sony dan meng-copy seluruh isi memory card Ifan untuk Fian sambil jalan-jalan di Electronic City. 
Dan tadi malam sebelum tidur, ketika saya sedang mencuci piring dan merapikan dapur, Fian melaporkan kepada saya, "Bunda, Abang baiiiikkkk sekali... Fian boleh pinjam PSP tapi pakai memory card Fian sendiri!"

Alhamdulillah... Semoga pengalaman ini menjadi awal bagi Ifan untuk belajar memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupannya kelak :)

Jakarta, 8 Januari 2013
Yeni Suryasusanti

Rabu, 28 November 2012

Tentang Pencerahan...



Kerusuhan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa tenangnya perdamaian
Kecemasan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa berharganya rasa aman

Ketakutan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa hebatnya keberanian
Kesakitan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa mahalnya kesehatan

Kegelapan adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa pentingnya penerangan
Kedinginan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa nyamannya kehangatan

Ketidaktahuan adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa tingginya ilmu pengetahuan
Kealpaan adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa utamanya sebuah catatan

Kesendirian adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa hangatnya persahabatan
Kesunyian adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa merdunya suara keramaian

Pengabaian adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa perlunya kepedulian
Kesepian adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa berartinya sebuah kehadiran

Keputusasaan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa kuatnya kemauan
Kepergian adalah cara terbaik
untuk menyadari betapa manisnya kerinduan

Perpisahan adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa indahnya kebersamaan
Kematian adalah cara terbaik 
untuk menyadari betapa bernilainya kehidupan

Di tengah kesibukan aku menganalisa perilaku insan
Dan akhirnya yang muncul hanya sebentuk pertanyaan
Apakah kita harus mengalami yang terburuk dalam kehidupan
baru kita mampu bersyukur atas segala anugerah Tuhan?

Jakarta, 28 November 2012
Yeni Suryasusanti

Selasa, 27 November 2012

Cerita Tentang Seorang Wanita...




Hari ini seorang sahabat bercerita
tentang wanita yang sedang pilu hatinya
karena kekasihnya memutuskan cinta
ketika sudah sampai tahap perkenalan kedua keluarga

Alih-alih marah dan merasa terhina
sang wanita malah sibuk mengasihani dirinya
ia berkata memang wajahnya tidak cantik mempesona
hingga wajar jika tidak ada yang ingin bersanding dengannya

Ingin saya katakan kepada mereka
bahwa wajah mempesona bukan pertanda penikahan pasti bahagia
ingin saya teriakkan kepada dunia
bahwa wajah cantik bercahaya tidak memastikan jalan menuju surga

Ya Allah,
Kemana kah perginya harga diri?
Mengapa kepergian kekasih karena alasan duniawi 
bisa membuat wanita terpuruk mengasihani diri?

Ya Allah,
Kemana kah perginya rasa syukur? 
Mengapa hanya karena merasa tidak cantik berpupur
bisa membuat wanita jatuh tersungkur?

Ya Allah,
Kemana kah perginya rasa percaya?
Mengapa sulit meyakini Allah ciptakan manusia
sebagai makhluk paling sempurna?

Dan akhirnya, saya berkata kepada sang pembawa cerita
bahwa segalanya berpulang kepada diri kita
tentang penghargaan diri maupun tentang cinta
karena semua harus timbal balik adanya...

Jakarta, 27 November 2012
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 24 November 2012

Tentang Curhat :)



"Yen, gue mau curhat..." demikian beberapa sahabat sesekali berkata untuk mengawali cerita hidupnya.
"Sorry, kalo mau sekedar curhat, jangan sama gue deh, gue nggak ada waktu kalau hanya sekedar jadi tong sampah," jawab saya tegas.
Raut wajah sahabat saya itu kontan berubah. Rasa tersinggung, kecewa bahkan marah terlihat bercampur jadi satu pada ekspresi wajahnya.
"Tapiiiiii, kalau loe niatnya untuk mencari solusi, Insya Allah gue mau luangkan waktu untuk membantu..." demikian lanjut saya sambil tersenyum :D

Curhat adalah curahan hati. Dan segala sesuatu yang tercurah dari hati biasanya berpotensi menuai rasa empati dari hati pula. 
Bertahun-tahun lalu, saya belajar hal ini dari mentor Paskibra saya.
Ketika saya masih menjadi orang yang labil, ketika beberapa masalah berat dalam kehidupan saya membuat saya "galau", saya datang kepada beliau untuk bercerita, untuk membagi beban.
Kami selalu duduk berhadapan dengan dihalangi sebuah meja, seperti konsultasi dengan guru pembimbing layaknya. Beliau akan mendengarkan cerita saya hingga selesai, hanya sesekali menyela ketika perlu lebih memahami masalah yang ada. Jika saya - dalam waktu yang sangat jarang terjadi - sampai menitikkan air mata, beliau akan bangkit dan mengambil sekotak tissue dan meletakkannya di depan saya, tanpa memberikan sentuhan sedikitpun meski sekedar untuk menegaskan empati.
Setelah selesai saya bercerita, barulah kami membahas segala kemungkinan untuk memecahkan masalah saya.

Seorang mentor yang baik, tidak akan membuat anak didiknya tergantung secara permanen kepada dirinya. Dia akan membuat anak didiknya perlahan-lahan mandiri, dengan sedikit demi sedikit menumbuhkan kepercayaan diri dan sesekali menjauh dengan tidak selalu bisa meluangkan waktu untuk berkonsultasi.

Itulah yang terjadi pada diri saya.
Setelah menanamkan kepercayaan diri dan mengingatkan keterbatasan manusia dalam mendampingi, beliau mengingatkan saya bahwa hanya Allah yang bisa menyediakan waktu 24 jam seumur hidup kepada manusia.
"Curhat itu bisa menimbulkan ketergantungan. Karena itu curhat hanya boleh dilakukan kepada Allah, sambil meminta bimbingan untuk penyelesaian masalah. Kepada manusia, jangan curhat, tapi sharing pengalaman demi manfaat atau mencari solusi, karena pertolongan Allah dalam menyelesaikan suatu masalah bukan hanya muncul dalam bentuk ilham, namun terkadang muncul dalam bentuk pencerahan dari orang-orang yang ada di sekitar kita," demikian tutur mentor saya.

Karena "Curhat" bisa menimbulkan ketergantungan, saya sebisa mungkin berusaha menghindarinya. 
Kenapa? Karena manusia seharusnya hanya bergantung kepada Allah, bukan kepada selain-Nya termasuk manusia :)

Jadi teman, ketika saya memiliki masalah dan merasa perlu curhat, saya akan melakukan curhat pertama kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya.
Setelah itu barulah saya menjalankan ikhtiar dengan segala daya upaya untuk memecahkan masalah saya, salah satunya bisa dengan 
cara berkonsultasi kepada orang-orang terdekat yang lebih berpengalaman daripada saya bahkan kepada ahli untuk mendapatkan solusi yang sebenarnya juga merupakan jalan pertolongan dari Allah semata.

Alhamdulillah, dengan cara tersebut selama ini saya membuktikan salah satu dari sekian banyak kasih sayang Allah kepada saya :)

Jakarta, 24 November 2012
Yeni Suryasusanti

Kamis, 18 Oktober 2012

Tentang Bahasa Gaul, Iklan dan Pembuat Soal Ujian


Notes ini pendek saja, karena saya sebenarnya sedang tidak punya waktu untuk menulis, tapi ada topik yang membuat hati saya tergelitik :)

Pertama kali mendapat foto ini dari group BBM SD Bhakti, kumpulan Ibu-Ibu sekolah Ifan :D
Saya share ke beberapa group lain dan ke beberapa teman juga.
Ada yang tertawa, tapi ada juga yang memberi berbagai komentar, diantaranya :
"Beneran nih? Kalau kaya gini pemerintahnya kemana ya? Harus bilang wow gitu he... he... he..."
"Pemerintah paling bilang, 'Masalah buat loe?'"
"Ini betulan? Pelajaran apa? Pasti penulisnya gaolllll banget deh... :D"
"Anak pinterrrrrr..."
"Hehehe... Up to date n Gaullll abiezzzzz..."
"Hehehe.... sekarang saya pun berkata W O W..."
"Yang bikin soal kreatip yaaaa??? Sayangnya bukan eikehhhh..."
"Wah... bisa 100 nih anak2 gue hihihi...."
Dan seperti umumnya sebuah materi yang dipublikasikan, maka muncul dua pendapat : pro dan kontra.

Dengan niat menjajaki dan menambah wawasan bersama, saya mengirimkan gambar ini juga kepada 2 orang adik didik saya : Debby Cintya dan Dewi Damayanti 'maya'. Keduanya belum menikah.
Seperti dugaan saya, awalnya respon keduanya cenderung negatif :D
"OMG... hal-hal yang kurang santun malah tambah 'dipopulerkan' ya. Kalau itu sampe muncul di soal ujian, means dunia pendidikan kita sekarang ikut-ikutan juga 'mengaccept' trend yg seperti itu..." demikian reaksi pertama Debby.
Maya lain lagi reaksinya, "Hahahaha.... kocak. Itu beneran soal mbak? Kayak nggak bisa pake pertanyaan yang lain aja."

Reaksi Debby dan Maya inilah yang membuat saya menulis notes ini.
Kedua adik didik saya ini sejak pembinaan ketika menjadi pasukan di Paskibra 78 hingga sekarang terdidik menjadi pribadi yang terbuka, berwawasan cukup luas, diajari untuk tidak hanya melihat satu sudut pandang saja.
Bagi saya, untuk masalah ini mereka menjadi tolak ukur reaksi atas sebuah penerimaan informasi.
Jika mereka saja bereaksi  negatif awalnya, maka banyak orang juga akan demikian.
Terbukti dari komentar di atas, dari penilaian saya, hanya satu komentar yang positif : "Yang bikin soal kreatip yaaaa??? Sayangnya bukan eikehhhh..."
Yang lainnya? Hanya reaksi negatif atau menganggap hanya sebagai lucu-lucuan saja.

Menanggapi jawaban Debby dan Maya pada room BBM kami, saya mulai membuka ruang diskusi seperti biasanya :)
"Satu sisi begitu Deb, tapi ada sisi baiknya. Mereka mau membuat anak-anak 'aware' kalau kata-kata itu nggak bagus karena menggambarkan karakter nggak pedulian."
"Ilmu jadi lebih 'masuk' ya mbak?" Debby mulai bereaksi positif.
"Finally, soal itu meminta anak-anak menganalisa dan pada saatnya memutuskan akan menjadi orang yang bagaimana..." saya melanjutkan.
"Yup, setuju juga mbak. However dengan sistem pendidikan sekarang yang saya amati makin mengkarbit dan instan (kurang membangun pondasi pemahaman), saya cuma khawatir kalau yang ditangkap sama anak-anak itu adalah 'Ihhh soalnya gaol abiss' rather than menangkap message 'apa itu peduli dan apa itu tidak peduli'... Debby mulai mengungkapkan jalan pikirannya seperti biasa setiap kali saya memicunya :)
"Mbak ingat kan mbak sempat harus membantu Ifan memahami definisi kata-kata yang terdapat di buku paketnya karena Ifan nggak mendapatkan itu di sekolah? Saya pun sempat melakukan hal yang sama ke Hazel (keponakan Debby)..." lanjut Debby.
"Iya, itulah tugas orangtua di rumah SEHARUSNYA..." tegas saya, "Tapi ya tau sendiri kenyataannya..."
Debby menutup diskusi kami dengan kata-kata, "Jadi prihatin dengan anak-anak yang tidak memiliki sistem support di rumah yang membantu untuk membangun pondasi dan jembatan berpikir itu..."

Setelah diskusi itu, saya pun berpikir.
Ya, soal ini memang ibarat pisau bermata dua : Semakin populernya kata-kata tersebut dan diikuti oleh hampir setiap ABG bahkan orang dewasa, sehingga manusia tidak lagi mengikuti aturan "Berbicaralah yang baik atau diam", atau kesadaran bahwa kata-kata tersebut mengindikasikan sikap tidak peduli sehingga tidak perlu diikuti.


Di Wikiquote dijelaskan mengenai sebuah kutipan yang mungkin sudah terlupakan oleh banyak orang :


Bahasa menunjukkan bangsa
  1. Tabiat seseorang dapat dilihat dari cara bertutur kata mereka
  2. Kesopansantunan seseorang menunjukkan asal keluarganya
  3. Bahasa yang sempurna menunjukkan peradaban yang tinggi dari bangsa pemilik bahasa tersebut.

Dunia pendidikan memang rentan dengan kecaman, entah itu dengan maksud menjatuhkan ataupun berupa kritik dengan niat baik untuk membangun.
Namun seringkali saya justru merasa heran.
Mengapa dunia periklanan yang mempopulerkan komentar ini untuk segala kalangan - baik pelajar maupun profesional - hanya demi rating sebuah iklan dan meningkatkan penjualan tanpa memikirkan efek negatifnya justru tidak dikecam?
Namun, ketika dunia pendidikan mengangkat masalah ini, muncullah berbagai kecaman.

Pendidikan memang sebaiknya memiliki "satu paket" antara pengajaran untuk pemahaman dan ujian.
Jika kita belum mampu untuk mengubah sistemnya, mungkin sudah waktunya kita berhenti hanya sekedar menyalahkan, dan mulai melakukan tindakan yang mendukung ke arah penyempurnaan.
Seperti soal ujian ini - terlepas dari apakah soal ini benar ada atau hanya hasil rekayasa sang pembuat foto pertama - saya yakin sang pembuat soal dan sang pengirim foto berniat baik mengangkat hal ini.
Soal ini menunjukkan bahwa sang pembuat soal peka dengan gejala lingkungan dan berusaha meluruskannya jika terjadi indikasi penyimpangan.
Saya tidak mengetahui apakah materi ini pernah dibahas di kelas anak-anak, mengenai kesan-kesan akan karakter seseorang dari bahasa yang dipilihnya. Jika memang dibahas, WOW sungguh luar biasa :)
Namun jika belum, maka menurut saya sudah menjadi tugas kita sebagai orangtua, keluarga, sahabat bahkan teman untuk saling mengingatkan akan kebaikan.

Jakarta, 18 Oktober 2012
Yeni Suryasusanti