Kamis, 22 September 2011

Ketika Bunda Harus Berdiplomasi :D



Beberapa waktu yang lalu ketika usai makan malam bersama saya dan Fian - suami saya kebetulan pulang agak larut malam itu - tidak seperti biasanya Ifan meninggalkan meja makan tanpa membawa piring kotornya ke dapur.
Berusaha untuk tetap konsisten pada pengajaran sejak awal, saya memanggil Ifan kembali dan meminta dia meletakkan piring kotornya di tempat cuci piring di dapur ketimbang sekalian membawa piring kotornya bersama piring saya :)

"Ayo Fan, Fian dan Bunda juga bawa piring kotor sendiri ke dapur kog..."

Ifan kembali ke ruang makan, dan memenuhi permintaan saya dengan patuh, tanpa banyak bertanya.
Sejak Ifan kecil, saya memang sudah menjelaskan bahwa meskipun ada asisten yang membantu pekerjaan rumah tangga di rumah, jangan membebankan seluruh pekerjaan kepadanya. Kerjakan hal ringan yang bisa kita kerjakan sendiri, jika bisa membantu lebih malah lebih baik lagi :)

Tiba-tiba, diluar kebiasaannya Ifan dengan nada protes bertanya, "Bunda, Ifan dan Fian bawa piring kotor sendiri ke dapur. Kenapa Ayah nggak?"

Saya sempat terkejut, dan berpikir, "Watch out, Yeni, ternyata Ifan mulai memperhatikan dan menganalisa kebiasaan setiap anggota keluarga..."
Saya menyembunyikan keterkejutan saya dengan senyum dan memeluk Ifan erat-erat, lebih untuk mengulur waktu agar bisa berpikir sehingga saya bisa memberikan jawaban yang cukup diplomatis :D

Dan inilah jawaban diplomatis yang saya berikan :D
"Ifan, ketika Ayah dan Bunda memutuskan untuk menikah, kami juga sepakat untuk saling membantu dalam tugas dan tanggung jawab. Ayah mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah, sedangkan Bunda hanya membantu ayah mencari nafkah. Bunda mempunyai tanggung jawab mengatur urusan rumah tangga, Ayah juga terkadang membantu Bunda. Membantu membawa piring kotor Ayah ke dapur adalah ibadah untuk Bunda. Tapi, kalau Bunda sedang sibuk untuk urusan rumah tangga yang lain seperti waktu Mbak Yanti pulang kampung saat lebaran, Ayah juga membantu Bunda membereskan meja makan sementara bunda mencuci piring kan?"

Ifan terlihat berpikir, namun belum berkata apa-apa.

"Kalau nanti - ketika sudah dewasa - Ifan menikah, Istri Ifan juga bisa membawa piring kotor Ifan ke tempat cuci piring. Tapi, sebagai konsekuensi dari pernikahan, Ifan punya tanggung jawab untuk memberikan nafkah baginya... Kenapa? Ifan sudah siap nikah sekarang?" goda saya sambil tersenyum lebar.

"Ih Bunda, belum lah..." jawab Ifan :D

Mendidik anak-anak tentang adanya tanggung jawab ternyata memang tidak mudah.
Kata-kata saja terkadang belum cukup. Harus ada contoh nyata untuk mereka teladani.

Jadi, jika kebetulan kita bertemu dengan suatu kondisi dimana pelajaran hidup tentang tanggung jawab yang selama ini didengungkan dengan kata-kata namun keteladanannya tidak dicontohkan oleh kita atau pasangan kita, ketika itulah kita harus bisa berdiplomasi.
Tetap mengutamakan kejujuran - tentu saja - namun secara bijak memberikan alasan dibalik ketiadaan contoh teladan tersebut dengan memilih kata-kata yang baik, yang tidak merendahkan pasangan kita.
Dengan demikian, Insya Allah anak-anak kita akan tetap menghargai kedua orangtuanya seperti seharusnya, dan bukan hanya menghargai salah seorang saja, yaitu orangtua yang memberikan contoh keteladanan baginya :)

Jakarta, 22 September 2011
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar