Sabtu, 30 April 2011

Membalas Kejahatan Dengan Kebaikan :)


Di sekolah Ifan (SD Bhakti YKKP Jakarta Barat) dilarang membalas jika ada yang dijahati teman. Mereka diajarkan untuk segera melaporkan kepada guru.
Hal ini sempat menjadi dilema untuk saya dan suami, karena khawatir anak-anak menjadi "terlalu" pengadu :)
Apalagi yang namanya pelaporan memerlukan proses, sementara "rasa sakit" sudah terlanjur terasa di hati (bahkan mungkin di badan jika terjadi kontak fisik).
Saat Ifan kelas 2 SD, saya pernah dipanggil wali kelas Ifan karena Ifan memukul temannya. Ternyata setelah ditelusuri bersama kasusnya, Ifan memukul temannya karena membela teman lain yang dipukul terlebih dahulu. Sang teman yang dijahati takut dan tidak mau melaporkan kejadian tersebut kepada guru, dan Ifan mungkin karena rasa setia kawan yang tinggi membalaskan sakit hati temannya :D
Namun tetap, meskipun karena membela teman, Ifan juga dihukum menulis sama seperti teman yang memukul terlebih dahulu heheheh...

Dulu, saya termasuk orang-orang yang pantang "menjahati" orang lain. Namun terus terang, jika saya (atau sahabat saya) "diganggu", maka saya akan membalas dengan kemarahan yang meluap-luap sehingga jika dinilai hasil akhirnya mungkin "kejahatan" saya tercatat lebih berat karena seperti kata ibu saya, saya ahli berkata-kata tajam :(
Saat itu, setiap kali ada sahabat yang mengingatkan saya, "Jangan dibalas Yen, biar Tuhan aja yang balas..." maka saya akan berkata, "Kelamaan kalo nunggu di akhirat nanti." atau "Ini balasan Tuhan untuk dia, Tuhan kasih balasan lewat gue." Huaaaaa dan itu sama saja membuat diri saya sama jahatnya dengan yang menjahati :((

Kemarin Isa Alamsyah menulis soal Hukum dan Keadilan di Komunitas Bisa!. Tulisan beliau membuat saya berpikir.
Bicara soal keadilan, idealnya memang hukum dan keadilan adalah satu paket yang tidak terpisahkan. Namun sayangnya secara teori maupun praktek, hukum dan keadilan tidak selalu berjalan seiring.
Meskipun demikian, sekalipun hukum masih belum sempurna, aturan hukum selalu berusaha mendekati keadilan dan ada logika hukum yang bisa kita pahami. Dengan memahami logika hukum maka kita minimal tidak menjadi korban aturan hukum yang tidak kita pahami, karena semakin kita memahami hukum kita semakin bisa mendekati keadilan dalam penerapannya.

Isa Alamsyah memberikan juga 2 contoh kasusnya.

Contoh Pertama :
Misalnya ada orang memukul Anda, jika tidak Anda balas dan laporkan ke polisi maka yang memukul akan kena pasal penganiayaan. 
Tapi kalau Anda balas, maka masuknya ke perkelahian, dan pada posisi itu Anda tidak bisa menuntut hukum.

Contoh Lain :
Kalau ada yang memukul Anda, dan Anda membalas dengan memukul balik dengan menggunakan buku, atau dengan melempar handphone, maka Anda jadi yang melanggar hukum. Karena Anda akan kena pasal perkelahian tidak seimbang. Anda pakai alat sedangkan yang memukul Anda tidak pakai alat.
Sekalipun pukulan orang lain lebih keras daripada balasan Anda dengan buku misalnya, yang menggunakan alat bisa jadi terlihat lebih bersalah.
Karena itu hati-hati, sekalipun kita membela diri, ketika kita pakai alat, malah kita yang bisa dijebloskan ke hukum. Ini konteksnya kalau kita konflik dengan teman, tapi kalau melawan kriminal bebas membela diri.
Guru yang melempar murid dengan gagang penghapus, memukul murid dengan penggaris, bisa dituntut dengan pasal ini. Makanya ketika saya nyambi kerja di Jakarta International School, segala macam body contact sangat dilarang (termasuk menegur siswa bule dengan mencentil, mencolek, semua bisa masuk ke pasal penganiayaan dengan level tertentu).
Senior yang bully ketika di sekolah, bisa juga dijerat dengan pasal penganiayaan kalau sudah ada body contact.
Tapi kalau bully-nya hanya kata-kata, paling bisa dijerat dengan pasal "tindakan yang tidak menyenangkan" dan ini pasal karet yang sangat luas penggunaannya.

Itu jika kita berkaca pada hukum buatan manusia.
Padahal hukum yang lebih tinggi adalah buatan Allah, dan sudah ada panduannya pula. Hanya saja memang terkadang kita belum "sempat" membaca dan memahaminya serta belum "mampu" menjalankannya dengan sepenuh hati :)

Saya kutipkan kisah antara Nabi Muhammad SAW dengan sahabatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq yang pernah saya baca di http://muhammadassad.wordpress.com/ sebagai referensi :

Pada suatu hari Rasulullah bertamu ke rumah Abu Bakar Ash-Shidiq. Ketika sedang mengobrol dan temu kangen dengan Rasulullah, tiba-tiba datang seorang Arab Badui bergaya preman dan langsung mencela Abu Bakar. Makian kotor serta umpatan-umpatan kasar keluar dari mulut orang itu. Namun, Abu Bakar tidak menghiraukannya. Ia melanjutkan perbincangan dengan Rasulullah. Melihat hal ini, Rasulullah memberikan senyum terindahnya kepada Abu Bakar.

Merasa tidak berhasil dan diabaikan, orang Arab Badui itu kembali memaki Abu Bakar. Kali ini, makian dan hinaannya lebih kasar. Namun, dengan keimanan yang kokoh serta kesabarannya, kembali Abu Bakar  tidak menghiraukannya dan tetap membiarkan orang tersebut memaki. Rasulullah kembali memberikan senyum terindahnya.‎ Merasa makin tidak dipedulikan, maka semakin menjadi-jadi lah kemarahan orang Arab Badui ini.

Untuk ketiga kalinya, ia mencerca Abu Bakar dengan makian yang lebih menyakitkan. Kali ini, selaku manusia biasa yang memiliki hawa nafsu, Abu Bakar tidak dapat menahan amarahnya. Dibalasnya makian orang Arab Badui itu dengan makian pula. Terjadilah perang mulut. Seketika itu juga, Rasulullah beranjak dari tempat duduknya dan langsung meninggalkan Abu Bakar tanpa mengucapkan salam. ‎

Melihat hal ini, selaku tuan rumah, Abu Bakar sadar dengan kesalahannya dan langsung berlari mengejar Rasulullah yang sudah sampai halaman rumah.
Kemudian, Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, jika aku berbuat kesalahan, mohon jelaskan dan maafkan kesalahanku. Jangan biarkan aku dalam kebingungan.”  
 Rasulullah lalu menjawab, “Sewaktu orang Arab Badui itu datang lalu mencelamu dan kamu tidak menanggapinya, aku tersenyum karena banyak malaikat di sekelilingmu yang akan membelamu di hadapan Allah.”

Beliau melanjutkan, “Begitu pun yang kedua kali ketika ia terus menghinamu dan kamu tetap membiarkannya, maka para malaikat semakin bertambah banyak jumlahnya di sisimu. Oleh sebab itu, aku semakin tersenyum. Namun, ketika yang ketiga kali ia menghinamu dan kamu menanggapinya serta kamu membalas makiannya, maka seluruh malaikat pergi meninggalkanmu, dan hadirlah iblis di sisimu untuk semakin memanasimu. Oleh karena itu, aku tidak ingin berdekatan dengannya, dan aku tidak memberikan salam kepada kamu."

Berikut ini saya kutipkan pula petunjuk Allah dalam menghadapi perbuatan buruk :

“Balaslah perbuatan buruk mereka dengan yg lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 96).

“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula.” (QS. Ar-Rahman [55]: 60)

“Mereka itu diberi pahala dua kali lipat disebabkan kesabaran mereka dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.”(QS. Al-Qashash [28]:54)

“Siapa yang datang membawa kebaikan, baginya pahala yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan siapa yang datang membawa kejahatan, tidaklah diberi balasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan seimbang dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.”(SQ. Al-Qashash [28]:84)

Dalam semua ayat di atas jelas bahwa segala kebaikan akan mendapat balasan yang lebih baik dan setiap kejahatan dibalaskan setimpal dengan apa yang dilakukan.
Betapa baik dan adilnya Allah... Allah memberikan ganjaran yang lebih kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Namun untuk pelaku kejahatan dibalas setimpal dengan kejahatannya.
Allah, yang memiliki seluruh umat, tidak mendholimi sedikitpun terhadap orang-orang yang berbuat jahat dengan membalas kejahatan dua kali lipat lebih berat dari kejahatan yang dilakukannya, melainkan setimpal. Dengan demikian, apa hak kita untuk membalas kejahatan dengan berbuat kejahatan yang sama? Bukankah dengan berbuat demikian meskipun dengan alasan membela diri atau demi harga diri maka kita kelak juga akan mendapat balasan dari Allah?

“You may lose the battle but you win the war” demikian ungkapan istilah yang pernah saya baca.
Kata battle diartikan sebagai perang kecil dan war adalah sebuah perang yang lebih besar.
Sama dengan ungkapan "mengalah untuk menang".
Kita sering mengartikan bahwa yang namanya mengalah itu ya berarti kalah, padahal tidak demikian. Mengalah bukan berarti kalah, namun mengalah untuk merangkul dan selanjutnya untuk menang.

Dalam kasus peraturan di sekolah Ifan, mengalah untuk tidak membalas kejahatan teman dengan kejahatan yang sama (we lose the battle) bertujuan agar si anak mendapat bimbingan dari guru (tentu dengan kasih sayang) dengan harapan dia akan menyadari perbuatannya tidak baik dan merubah sikap menjadi baik (we win the war).
Sedangkan jika langsung dibalas dengan kejahatan (we win the battle) tentu sang anak tetap malah akan semakin jahat dan bukan tidak mungkin akan menjahati temannya secara lebih parah (we lose the war).

Cukup menggelitik, ternyata sejak SD anak-anak sekarang sudah diarahkan untuk membela diri dengan cara yang benar meskipun bagi kita yang dibesarkan di masa yang berbeda semua itu terkesan mengajarkan anak menjadi seorang pengadu dan tidak bisa membela diri.
Jadi bukan hanya Ifan yang belajar, saya juga :)
Saya belajar bahwa dengan membalas kejahatan dengan kebaikan, bukan berarti kita membiarkan pelaku kejahatan tidak diadili. Kita hanya menghindarkan diri dari membalas kejahatan karena emosi pribadi yang berarti membiarkan setan ikut berperan. Pengadilan tetap berlaku, tentu dengan tidak melibatkan emosi, sehingga pengadilan benar didasarkan atas keadilan dan hukum semata.

Kapan anak kita diajarkan membela diri? Di SMP kah?
Rasanya itu adalah tugas selanjutnya yang harus kita pikirkan sebagai pribadi dan orang tuanya untuk mengajarkan diri sendiri dan anak-anak untuk bijak memilah permasalahan yang ada, seperti apa masalah yang membutuhkan pembelaan diri segera seperti membela diri dalam keadaan nyawa terancam, dan seperti apa masalah yang bisa melalui proses panjang secara hukum dan peraturan yang berlaku.
Dengan mulai memikirkan hal ini, kita tidak tergantung hanya dengan institusi sekolah dalam mengarahkan anak-anak kita nanti.
Jadi, ayo kita sama-sama belajar dan berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan, meskipun hal itu terasa lebih mudah diucapkan daripada dilakukan :)

Jakarta, 30 April 2011
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar