Tulisan ini saya buat karena tergelitik dengan cerita suami saya
tentang sebuah resepsi pernikahan yang dihadirinya bersama Papa saya dan
Ifan.
Ketika undangan tersebut datang ke rumah untuk Papa saya, sudah terdengar omelan Papa ketika membacanya.
"Undangan kog Bahasa Inggris semua redaksinya. Emangnya dia orang apa sih?"
Hahahaha....
Omelan
ini bukan karena Papa tidak menguasai Bahasa Inggris, sama sekali
bukan. Sejak masih aktif bekerja Papa juga bolak balik ditugaskan ke
luar negeri dan penguasaan Bahasa Inggris Papa sangatlah baik.
Namun, Papa berpegang teguh pada peribahasa Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung dan selalu berusaha tidak menjadi Kacang yang lupa pada kulitnya.
Jadi
penggunaan Bahasa Inggris sepenuhnya pada Undangan Pernikahan dimana
yang menjadi mempelai adalah orang Indonesia lumayan mengganggu perasaan
Papa :D
Menyimpang sejenak dari topik cerita, beberapa
hasil kerja saya merupakan Formulir Administrasi untuk pelanggan. Saya
selalu membuatnya 2 bahasa untuk mengantisipasi pelanggan asing. Namun,
bahasa yang diutamakan adalah Bahasa Indonesia, ditandai dengan peneraan
Bahasa Indonesia dahulu baik pada judul formulir maupun isi formulir,
baru kemudian pada baris berikutnya diberikan terjemahan Bahasa
Inggrisnya.
Bagi saya ini merupakan pernyataan sikap, karena
formulir ini digunakan oleh mayoritas pelanggan Indonesia sedangkan
pelanggan asing hanya minoritas saja :)
Dari Undangan Pernikahan yang Papa terima, terbersit tanya dalam pikiran saya.
Seberapa jauh sang pengantin dan keluarganya ikut andil dalam pudarnya kecintaan pada Bahasa Indonesia?
Karena
dengan memberikan undangan yang berbahasa selain Bahasa Indonesia
berarti ikut membantu menyebarkan Trend penggunaan Bahasa Asing pada
acara resmi keluarga.
Berapa banyak calon pengantin dan keluarga yang akan mengikutinya?
Karena
saya tidak ikut hadir pada acara pesta pernikahan tersebut, saya
bertanya pada suami saya yang mengantar Papa bersama Ifan tentang
kesannya terhadap acara pesta pernikahannya.
"Keren sih...
Mewah... Tapi... Nggak ada aura tradisionalnya. Yang tradisional hanya
baju adat dan pelaminannya. Selain itu, kesannya modern, seperti yang
biasa dibuat EO gitu deh..."
Islam memang mengatur tentang akad nikah.
Setiap
akad nikah pastinya akan menjadi moment yang membuat isi dada kita
bergetar. Bahkan, kita terkadang ikut tegang dan menahan napas ketika
mempelai pria sedang mengucapkan ijab kabul.
Namun untuk pesta pernikahan, atau walimah, sepanjang pengetahuan saya tidak ada aturan baku penyelenggaraannya.
Saya jadi teringat acara pesta pernikahan saya sendiri.
Dimana aura tradisional demikian kental baik ketika pesta di Jakarta maupun saat pesta ngunduh mantu di Lampung.
Untuk acara di Jakarta, kami tidak menjalani upacara acara adat lengkap.
Acara
perkenalan keluarga dilakukan sekitar setahun sebelum menikah. Acara
Lamaran dilakukan 2 bulan sebelum menikah. Acara seserahan malam sebelum
akad nikah. Ketiga acara tersebut dijalankan tanpa nuansa adat
tradisional, hanya memenuhi etika dan norma sosial. Sementara akad nikah
dijalankan sesuai arahan KUA.
Baru pada acara pesta pernikahan ada nuansa tradisional yang kuat.
Undangan pesta pernikahan kami pun bernuansa wayang golek.
Kami
bukan hanya menggunakan pakaian adat Sunda dan pelaminan yang sesuai
dengan asal daerah Papa saya. Namun juga pelengkap acaranya seperti
atraksi mapag pengantin untuk penyambutan pengantin yang ditutup dengan
tarian tradisional.
Alat musik yang ada di dalam ruangan yang
digunakan sebagai musik latar bukanlah Keyboard dan Biduanita, melainkan
Degung Sunda :)
Terlebih lagi saat di Lampung, dimana keluarga suami saya memang masih sangat kuat adat istiadatnya.
Mengutip ucapan almarhum ayah mertua saya yang bijaksana, "Adat
wajib dijalankan, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka Adat akan ditinggalkan
dan ajaran Islam yang wajib dijalankan."
Tidak heran, pada masa itu saya menilai pesta pernikahan merupakan moment yang terasa sangat sakral yang membuat dada kita tergetar baik dari aura ruangannya, pengantinnya maupun para undangannya.
Lalu, pergeseran budaya terjadi. Tentu diawali oleh beberapa generasi muda yang terpengaruh kata globalisasi.
Bukannya
saya tidak menyukai romantisme... Namun jujur saya katakan, bagi saya
agak menyedihkan bagaimana pesta pernikahan bergeser dari sesuatu yang sakral menjadi sesuatu yang sekedar romantis.
Getaran hati yang saya rasakan sungguh jauh berbeda.
Dulu,
ketika memasuki gedung pernikahan yang penuh nuansa tradisional, maka
saya akan langsung menarik nafas dalam-dalam dengan dada bergetar.
Namun sekarang, ketika saya memasuki ruangan pesta dimana biasanya para tamu langsung disambut dengan parade foto pre wedding, maka reaksi saya umumnya
bukan lagi menarik nafas dalam dengan dada bergetar, namun reaksi saya
malah seperti layaknya bintang iklan di TV yang bersuara manja dan
seolah bermimpi, "Ooohhhh... sooo sweetttt...." :D
Dari acara pesta pernikahan yang dihadiri suami saya, terbersit tanya dalam pikiran saya.
Seberapa
jauh sang pengantin dan keluarganya ikut andil dalam pudarnya kecintaan
pada Adat Istiadat dan bahkan hilangnya Budaya Asli Indonesia?
Karena
dengan mengadakan pesta pernikahan bertema Internasional berarti ikut
membantu menyebarkan Trend penggunaan budaya internasional pada acara
resmi keluarga Indonesia.
Berapa banyak calon pengantin dan keluarga yang akan mengikutinya?
Kemudian,
di depan Papa saya, suami saya bercerita tentang antusiasme Ifan ketika
mengelilingi ruangan untuk melihat makanan dan minuman apa saja yang
tersaji di sana.
Berikut percakapan keduanya...
"Ayah, tau nggak, diluar situ ada Bir, Wine dan Champagne lho Yah!" celoteh Ifan bersemangat.
"Kog Ifan tau itu minuman apa aja?" suami saya sambil nyengir balas bertanya.
"Ifan tanya sama pelayannya itu apa... trus dijelasin deh!" tutur Ifan.
"Oooooo.... Emangnya Ifan mau nyicip kog pake tanya-tanya?" selidik suami saya sambil tersenyum.
"Nggak kog, Ifan mau tau aja itu apa... Ifan nggak mau minum kog... Haram!" sahut Ifan tegas dengan suara cukup keras :D
Di
dekat Ifan, banyak kepala menoleh ketika kata "Haram" diucapkan Ifan
dengan tegas namun enteng sambil berjalan. Bahkan seorang bapak yang
tadinya memegang gelas minuman, langsung meletakkan gelasnya tanpa
menghabiskan dan berlalu ke lain ruangan :D
Saya
bertanya kepada Papa saya, karena beliau merupakan teman dari orangtua
salah satu mempelai, "Lho, bukannya oom itu muslim pa? Kog pestanya ada
bir segala?"
"Iya muslim, dan besannya setahu Papa muslim juga,
tapi penyelenggara pestanya sepertinya besannya sih, dan memang tamunya
banyak orang bule dan cina juga..." jawab Papa saya.
Dari minuman alkohol yang hadir pada acara pesta pernikahan itu, terbersit tanya dalam pikiran saya.
Seberapa
jauh sang pengantin dan keluarganya ikut andil dalam dosa memberikan
minuman yang tidak baik efeknya kepada para tamu meskipun kebanyakan
yang meminum adalah tamu non muslim yang tidak menetapkan keharaman atas
minuman tersebut?
Karena dengan menyediakan minuman
beralkohol pada pesta pernikahan bisa menjadi godaan bagi tamu muslim
yang belum begitu kuat akidahnya untuk mencoba meminum minuman yang
diharamkan tersebut.
Berapa banyak calon pengantin dan keluarga yang akan mengikuti trend ini juga nantinya?
Inilah
tulisan pertama saya di tahun 2014, disempatkan untuk dituliskan dan
didorong pula oleh keharuan serta kebanggaan akan ketegasan Ifan yang
semoga saja kelak bisa berpengaruh baik bagi lingkungannya...
Sungguh, saling tolong menolong dalam kebajikan dan saling ingat mengingatkan dalam kesalahan adalah tugas umat Islam...
Mungkin
ada baiknya, jika sebelum melakukan sebuah tindakan yang memberikan
pengaruh kurang baik pada orang-orang di sekitar kita, hendaklah kita
bertanya pada diri kita : Seberapa jauh kita ikut bertanggungjawab?
Jakarta, 4 Februari 2014
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar