Sabtu, 07 Maret 2015

Mari Menggunakan Kata "Daripada" dan "Mendingan" Pada Saat Yang Tepat :)

Masih ingat kata mutiara "Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit"?
Tentu masih ya :)

Atau, pernah dengar ungkapan "Kalo bermimpi itu jangan tanggung-tanggung"?
Mungkin pernah ya :)

Apa sih kesamaan antara kedua kutipan diatas?
Keduanya sama-sama menyarankan kita menetapkan suatu keinginan setinggi-tingginya untuk memacu semangat kita dalam mencapainya.

Berbicara tentang cita-cita dan mimpi, bedakan dengan berbicara mengenai target.
Jika untuk cita-cita dan mimpi kita boleh meletakkannya setinggi mungkin, sementara untuk target kita harus lebih realistis.

Katakanlah kita ambil contoh sebuah perusahaan.
Sebuah perusahaan yang sehat akan selalu menetetapkan target yang lebih tinggi daripada hasil pencapaian selama ini. Tapi target ditetapkan tidak boleh terlalu tinggi seperti mimpi. Karena target harus dicapai dalam jangka pendek, sementara mimpi boleh dicapai dalam jangka panjang. Meskipun demikian, sangat jarang target yang ditetapkan menurun dibandingkan target sebelumnya. Seburuk apapun kondisinya, biasanya minimal target yang ditetapkan akan sama dengan target yang sebelumnya. 

Lalu apa kaitannya hal yang saya tulis diatas dengan judul tulisan ini? :)

Saat ini saya melihat banyak orang menggunakan kata "daripada" dan "mendingan" pada saat yang belum tepat, bahkan tidak tepat.

"Daripada berhijab tapi memiliki sifat yang jahat, mendingan nggak berhijab tapi memiliki sifat yang baik."
Mungkin banyak yang setuju kalimat diatas :)
Tapi saya tidak setuju.
Mengapa?
Karena hal diatas bukan merupakan realitas yang harus saya pilih saat itu juga.
Karena kondisi diatas hanya merupakan pengandaian.
Karena saya diminta untuk menurunkan standar nilai-nilai yang telah saya anut pada saat yang belum tepat.
Maka saya memilih tetap dengan standar nilai ideal yang seharusnya yaitu "Berhijab dan memiliki sifat yang baik" dan tidak menentukan pilihan saya dari kedua pilihan yang sama-sama memiliki kekurangan, karena memang tidak perlu :)

Lain halnya jika saya dihadapkan pada keharusan untuk memilih pilihan nyata di depan mata.

Misalnya ada dua orang dengan karakter seperti diatas :
Si A telah berhijab tapi memiliki sifat yang jahat
Si B belum bersedia berhijab tapi memiliki sifat yang baik
Namun keduanya sama-sama profesional dan memiliki kemampuan kerja yang baik.

Situasi 1 :
Saya diminta memilih salah satu dari mereka untuk menjadi rekan kerja saya satu team. Mana yang akan saya pilih?
Tentu saya akan memilih si B.
Mengapa?
Karena keadaan mengharuskan saya memilih salah satu atau team saya akan pincang. Dan saya memilih orang yang beresiko lebih kecil untuk menjadi duri dalam daging dan menghancurkan kerjasama diantara seluruh anggota team.

Situasi 2 :
Saya diminta untuk memilih salah satu dari mereka untuk ikut dalam team negosiasi ke Aceh dan akan berhadapan dgn penduduk asli.
Tentu saya akan memilih si A.
Mengapa?
Karena di daerah yang penduduknya menjunjung tinggi syariah Islam, akan lebih mudah melakukan lobby jika kita terlihat memiliki keyakinan yang sama.
Sama seperti saya akan memilih si B jika kunjungannya ke penduduk asli Manado.
Karena saya harus memilih dengan pertimbangan yang tepat demi suksesnya target dan tujuan bersama.

Ini adalah contoh saat saya harus bersedia mengabaikan standar nilai ideal yang telah saya tetapkan pada saat yang tepat dan menggunakan skala prioritas atas tiap-tiap nilai tersebut karena keadaan mengharuskan demikian.

Namun demikian tetap akan ada type orang yang tidak mau memilih jika pilihannya tidak sesuai standar, dan memilih untuk melepaskan kesempatan menambah anggota team.
Orang type seperti ini akan memilih kerja rodi bersama team yang sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan olehnya daripada memilih salah seorang anggota yang dibawah standar.

Sama seperti kondisi sekarang ini.
"Daripada pemimpin yang santun tapi korupsi, mendingan pemimpin yang kasar tapi jujur".
Jika hal ini ditanyakan kepada saya, "Pemimpin mana yang lebih baik bagimu?
Maka saya akan berkata, "Tidak keduanya. Bagi saya, yang baik adalah pemimpin yang santun dan jujur."
Mengapa?
Karena saat ini pada kenyataannya saya belum perlu menentukan pilihan.
Jadi saya memilih untuk tetap mempertahankan standar nilai ideal yang telah saya tetapkan selama ini.

Namun, jika saya dihadapkan pada kondisi harus memilih seperti misalnya saat Pilkada atau Pilpres, barulah saat itu saya akan mengabaikan standar nilai ideal saya, menerapkan skala prioritas untuk menyesuaikan dengan pilihan yang ada :)

Seperti saat Pilpres yang lalu, itulah saat yang tepat bagi kita bersikap realistis dan mengabaikan standar nilai ideal yang kita inginkan dari seorang Presiden dan orang-orang terdekatnya, dan menggunakan skala prioritas.

Ada yang memilih Bp. Jokowi karena lebih tidak mau memilih Golkar yang orang-orangnya sudah banyak "mengemplang" Indonesia, walaupun mereka juga tidak menyukai PDIP.
Ada yang memilih Bp. Prabowo karena lebih tidak mau memilih Syiah yang berada di team Bp. Jokowi, walaupun mereka juga tidak menyukai Golkar :D
Dan ada banyak pertimbangan lain yang mendasari pemilihan atas kedua calon ketika itu.
Masing-masing punya pertimbangan sendiri, dan itu sah-sah saja karena memang dihadapkan pada situasi kita harus memilih kedua calon yang keduanya memiliki kekurangan alias tidak ideal.

Tapi, tetap juga mungkin ada yang bilang, saya lebih baik golput, daripada memilih yang calon yang keduanya buruk :D
Ya, itu juga hak mereka hehehe...

Jadi, sebaiknya janganlah menggunakan kata "Daripada" dan "Mendingan" pada sesuatu hal yang terkait "Value" alias standar nilai ideal.
Karena value itu sama seperti dgn cita-cita dan impian, yang sebaiknya kita letakkan setinggi-tingginya. Bahkan target saja sebisanya kita tetapkan lebih baik, mengapa untuk value kita bersedia menurunkan standarnya.
Kita bisa menggunakan kedua kata tersebut saat kita memang dihadapkan pada situasi harus memilih.
Dengan demikian, standar nilai yang telah kita tetapkan tidak akan menurun standar idealnya.

Tidak mengapa jika kenyataan yang ada pencapaiannya jauh dibawah standar nilai ideal dalam hidup kita. Kita kan bisa belajar untuk ikhlas menerimanya.
Namun jangan membuat standar ideal kita menurun hanya karena kondisi yang ada. Karena, hal ini berpotensi mengakibatkan pencapaian yang semakin menurun pula...

Jakarta, 6 Maret 2015
Yeni Suryasusanti

Jumat, 06 Maret 2015

Memberi Obat Pada Anak Tanpa Paksaan :)

Tidak ada manusia yang hidup sehat selamanya. Apalagi bayi dan balita, yang kondisi tubuhnya cenderung lebih rentan terhadap virus dan bakteri dibandingkan dengan orang dewasa.
Melihat beberapa teman dan keluarga yang harus memaksa anak agar minum obat ketika sedang sakit, bahkan ada yang sampai dicekoki dgn dipijit hidungnya agar terpaksa menelan, saya ingin sharing bagaimana selama ini saya berhasil memberikan obat kepada Ifan dan Fian tanpa harus dipaksa apalagi dicekoki :)

Ketika melihat suatu masalah, entah masalah orang lain maupun masalah saya sendiri, hal pertama yang terpikirkan oleh saya adalah solusi. Sementara cara menghasilkan solusi adalah dengan menghilangkan sumber masalahnya.

Contoh dalam masalah minum obat.
Mengapa anak menolak minum obat?
Saya yakin jawabannya pasti hanya satu : PAHIT!!!

Umumnya pertama kali bayi merasakan diberikan obat berupa puyer. Ketika itulah trauma pertama kali terjadi. Bayi merasakan puyer obat itu pahit. Namun, karena masih belum berdaya apa-apa, meski kali berikutnya mencium bau obat mungkin bayi sudah memalingkan kepala atau bahkan menangis, pemaksaan oleh orangtua masih bisa terjadi. Lama kelamaan, dipaksa secara biasa saja tidak cukup. Ketika bayi tumbuh menjadi batita atau balita yang sudah bisa menolak dengan sikap dan kata-kata, orangtua yang mulai kehabisan akal pun mencekokinya.
Saya pernah melihat bagaimana seorang anak usia 4th menangis tidak mau minum obat, lalu oleh orangtuanya dipegang kepalanya dan dimasukkan obat dimasukkan secara paksa ke mulutnya. Ketika secara reflek anak tersebut mau memuntahkan obat, orangtuanya memencet hidungnya sehingga otomatis sang anak menelan dan obat itupun berhasil masuk.
Drama kejadian itu akan terus berulang hingga anak punya kesadaran bahwa perlu minum obat agar 
segera sembuh, mungkin ketika anak sampai pada di usia 9-10th.

Lalu, bagaimana solusinya agar anak bahkan bayi mau minum obat secara sukarela?
Tentu saja, hilangkan akar permasalahannya, yaitu : OBAT TIDAK BOLEH PAHIT.

Nah, sekarang, bagaimana cara agar obat menjadi TIDAK PAHIT alias menjadi MANIS?
Sebenarnya, kita bisa meminta Dokter menambahkan pemanis pada puyer. Namun, saya pernah mencicipi obat model ini, bagi saya tetap ada rasa pahit, sehingga saya memutuskan untuk menggunakan cara ala saya :)

Cara pemberian obat puyer kepada anak tanpa memaksa ala saya :

  1. Tuang puyer di mangkuk kecil atau di sendok yang cukup.
  2. Tambahkan madu secukupnya untuk melarutkan puyer
  3. Aduk puyer dan madu dengan tusuk gigi supaya rata dan menjadi emulsi
  4. Letakkan sendok di depan anak, colek dengan jari, dan biarkan anak mencicipi dgn menjilatnya
  5. Karena anak sudah merasakan manis, anak tidak akan menolak minum obat yg diberikan kepada anak


Cara ini sudah saya konsultasikan dgn dokter spesialis anak saya sebelumnya. Beliau berkata selama anak tidak ada alergi madu, cara ini boleh digunakan karena obat tidak masalah jika dicampur dengan madu.

Ketika Ifan berusia 4th, mentor paskibra saya mengingatkan untuk mulai melatih Ifan minum obat dengan kapsul. Karena bagaimanapun juga minum obat puyer itu lebih merepotkan.
Cara yang disampaikan oleh beliau adalah dengan berlatih menelan potongan roti yang dipotong kotak-kotak kecil.
Sebelum latihan ini sempat saya jalankan kepada Ifan, Ifan jatuh sakit dan kami pun ke Dokter yang 
biasa menangani Ifan sejak bayi.
Pada saat menulis resep obat, Dr. Ferdy Harahap SPA bertanya apakah Ifan sudah bisa minum kapsul. Saya menjawab belum, namun ingin mulai beralih dari puyer ke kapsul.
Resep obat tetap ditulis dalam puyer. Namun, oleh Dr. Ferdy, saya disarankan membeli kapsul kosong di apotik untuk latihan dulu. Jika berhasil, obat puyer bisa dibawa ke apotik untuk minta dikapsulkan.

Cara saya melatih anak minum kapsul adalah dengan contoh dan kata-kata dilakukan bersama-sama dengan anak :

  1. Siapkan air minum untuk saya dan Ifan
  2. Ambil kapsul kosong, satu kapsul saya pegang dan satu kapsul saya berikan kepada Ifan
  3. Memberikan instruksi sambil mencontohkan dan meminta Ifan mengikuti bersama-sama : Letakkan kapsul di lidah dekat pangkal tenggorokan, kemudian minum sambil menengadahkan kepala ketika menelan.
  4. Kapsul akan dengan mudah meluncur ke tenggorokan
  5. Jika dengan kapsul kosong sudah berhasil dgn lancar, lakukan dengan kapsul yang telah diisi puyer oleh apotik


Karena sudah merasa percaya diri bisa minum obat kapsul, saat kelas 2 SD, Ifan mau mencoba dan berhasil minum obat tablet dan kaplet :)

Semoga sharing ini bermanfaat ya teman-teman :)

Jakarta, 6 Maret 2015
Yeni Suryasusanti