Selasa, 27 September 2011

Wedang Pengusir "Masuk Angin" :)


Hari Rabu yang lalu, 21 September 2011, saya mewakili kantor untuk suatu meeting di Hotel Aston, Pasteur, Bandung.
Seperti biasa, karena pertimbangan pribadi dan keluarga, setiap perjalanan dinas yang bisa saya jalani dengan "pulang hari" maka saya memilih untuk tidak menginap meskipun telah disediakan kamar bagi saya dan tamu lain :)

Pagi hari saya berangkat dengan travel, dan tiba di lokasi meeting lebih cepat dari waktu yang tertera di undangan. Di perjalanan, AC di mobil travel lumayan dingin, tapi belum terlalu terasa menyiksa.
Namun di ruang meeting, dinginnya luar biasa... padahal saya berbusana muslimah tertutup rapat heheheh...
Selama ini saya sering merasa terlindungi dari cuaca dengan busana saya,  dan baru akan membawa jaket / jas ketika pergi ke tempat yang terkenal dingin seperti Lembang. Bandung saya anggap tidak terlalu beda dengan Jakarta :D
Tapi, sore itu turun hujan lumayan deras. Perjalanan pulang dari Bandung dengan travel di tengah hujan semakin menambah rasa dingin AC mobil. Jadi rasa dingin yang saya rasakan terutama di daerah punggung kian berkepanjangan.

Sampai hari Jumat, 23 September 2011, rasa dingin di punggung saya tidak mau hilang. Meskipun secara medis katanya tidak ada yang namanya masuk angin, saya merasa terserang "masuk angin".
Saya selama ini hampir tidak pernah di "kerok" jika masuk angin, dan lebih sering mengandalkan pijitan si Mbok Saminah atau suami saya untuk mengeluarkan anginnya dengan bersendawa :)
Tapi si Mbok Saminah ternyata sedang pulang kampung, sedangkan suami saya kebetulan pulang agak larut malam. Saya sudah mencoba minum ramuan untuk mengatasi masuk angin yang terkenal untuk orang pintar, namun belum berhasil mengatasi "masuk angin" dan perut kembung saya yang ternyata cukup parah.
Suhu tubuh saya hari itu pun agak meningkat. Kening mulai terasa hangat. Seorang teman satu divisi, Sinthia memberikan Redoxon untuk saya agar tidak terserang flu. Namun, karena angin yang tak kunjung keluar dari perut saya, akhirnya perut saya kram di Jumat sore itu :(

Alhamdulillah, pada sore hari itu saya sedang chatting di YM dengan salah seorang sahabat baik saya, Nadia Devita (alias Nadia Paritrana) yang juga member NCC (Natural Cooking Club - www.NCC-Indonesia.com), dan saya ceritakan kondisi kram perut saya akibat "masuk angin" tersebut.
Daaaannn..... Nana memberikan resep ramuan pamungkasnya :D
Saya memberikan instruksi melalui telepon kepada asisten di rumah, kebetulan seluruh bahan yang dibutuhkan tersedia. Jadi sesampainya di rumah saya tinggal menghangatkan ramuan dan menikmatinya :)

Wedang Pengusir "Masuk Angin"
Recipe by Nadia Devita / Nadia Paritrana

Bahan :
6 ruas jahe (sebesar jempol orang dewasa)
8 batang sereh
12 butir cengkeh
4 butir kapulaga
1-2 lembar daun jeruk
3 gelas air
Madu sesuai selera

Cara Membuat :
  1. Bakar jahe sebentar, kemudian kupas kulitnya hingga bersih (versi aku, plus di geprek dikit jahenya).
  2. Rebus bersama bahan lain hingga mendidih dan air menyusut menjadi 2 gelas saja
  3. Minum hangat-hangat dengan dibubuhkan madu sesuai selera
Ramuan diatas sukses mengusir "masuk angin" saya tanpa kerokan dan urut :D
Saya share disini atas perkenan Nana untuk teman-teman semua.
Jangan tanya rasanya... Coba aja deh heheheh...
Pokoknya wangiiii, hangaaaatttt, dan setelah minum wedangnya saya seketika merasa mengantuk dan tidur dengan pulas malam itu. Kram perut saya pun reda seketika :)

Terima kasih Nana tercinta... Insya Allah resep darimu ini bermanfaat bagi orang banyak dan mengalirkan pahala tak putus bagimu :D


Jakarta, 27 September 2011
Yeni Suryasusanti 

Kamis, 22 September 2011

Ketika Bunda Harus Berdiplomasi :D



Beberapa waktu yang lalu ketika usai makan malam bersama saya dan Fian - suami saya kebetulan pulang agak larut malam itu - tidak seperti biasanya Ifan meninggalkan meja makan tanpa membawa piring kotornya ke dapur.
Berusaha untuk tetap konsisten pada pengajaran sejak awal, saya memanggil Ifan kembali dan meminta dia meletakkan piring kotornya di tempat cuci piring di dapur ketimbang sekalian membawa piring kotornya bersama piring saya :)

"Ayo Fan, Fian dan Bunda juga bawa piring kotor sendiri ke dapur kog..."

Ifan kembali ke ruang makan, dan memenuhi permintaan saya dengan patuh, tanpa banyak bertanya.
Sejak Ifan kecil, saya memang sudah menjelaskan bahwa meskipun ada asisten yang membantu pekerjaan rumah tangga di rumah, jangan membebankan seluruh pekerjaan kepadanya. Kerjakan hal ringan yang bisa kita kerjakan sendiri, jika bisa membantu lebih malah lebih baik lagi :)

Tiba-tiba, diluar kebiasaannya Ifan dengan nada protes bertanya, "Bunda, Ifan dan Fian bawa piring kotor sendiri ke dapur. Kenapa Ayah nggak?"

Saya sempat terkejut, dan berpikir, "Watch out, Yeni, ternyata Ifan mulai memperhatikan dan menganalisa kebiasaan setiap anggota keluarga..."
Saya menyembunyikan keterkejutan saya dengan senyum dan memeluk Ifan erat-erat, lebih untuk mengulur waktu agar bisa berpikir sehingga saya bisa memberikan jawaban yang cukup diplomatis :D

Dan inilah jawaban diplomatis yang saya berikan :D
"Ifan, ketika Ayah dan Bunda memutuskan untuk menikah, kami juga sepakat untuk saling membantu dalam tugas dan tanggung jawab. Ayah mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah, sedangkan Bunda hanya membantu ayah mencari nafkah. Bunda mempunyai tanggung jawab mengatur urusan rumah tangga, Ayah juga terkadang membantu Bunda. Membantu membawa piring kotor Ayah ke dapur adalah ibadah untuk Bunda. Tapi, kalau Bunda sedang sibuk untuk urusan rumah tangga yang lain seperti waktu Mbak Yanti pulang kampung saat lebaran, Ayah juga membantu Bunda membereskan meja makan sementara bunda mencuci piring kan?"

Ifan terlihat berpikir, namun belum berkata apa-apa.

"Kalau nanti - ketika sudah dewasa - Ifan menikah, Istri Ifan juga bisa membawa piring kotor Ifan ke tempat cuci piring. Tapi, sebagai konsekuensi dari pernikahan, Ifan punya tanggung jawab untuk memberikan nafkah baginya... Kenapa? Ifan sudah siap nikah sekarang?" goda saya sambil tersenyum lebar.

"Ih Bunda, belum lah..." jawab Ifan :D

Mendidik anak-anak tentang adanya tanggung jawab ternyata memang tidak mudah.
Kata-kata saja terkadang belum cukup. Harus ada contoh nyata untuk mereka teladani.

Jadi, jika kebetulan kita bertemu dengan suatu kondisi dimana pelajaran hidup tentang tanggung jawab yang selama ini didengungkan dengan kata-kata namun keteladanannya tidak dicontohkan oleh kita atau pasangan kita, ketika itulah kita harus bisa berdiplomasi.
Tetap mengutamakan kejujuran - tentu saja - namun secara bijak memberikan alasan dibalik ketiadaan contoh teladan tersebut dengan memilih kata-kata yang baik, yang tidak merendahkan pasangan kita.
Dengan demikian, Insya Allah anak-anak kita akan tetap menghargai kedua orangtuanya seperti seharusnya, dan bukan hanya menghargai salah seorang saja, yaitu orangtua yang memberikan contoh keteladanan baginya :)

Jakarta, 22 September 2011
Yeni Suryasusanti

Selasa, 20 September 2011

Puisi Tentang Seorang Sahabat dan Kekasihnya :)



Ambigu… Dilema…
atau kata lain yang bermakna senada
seketika itu juga hadir bersama
saat kekasih dari sahabat tercinta
hadir kembali mengisi relung jiwanya

Mencintainya adalah bahagia
namun juga serangkaian dosa
demikian pilu sahabatku berkata
karena cinta yang dia punya
lengkap dengan kebutuhan akan sentuhan raga

Namun kehadirannya,
kekasih dari sahabat tercinta
seolah melengkapi hidupnya menjadi sempurna
hingga sulit rasanya bagi sahabatku untuk rela
jika kekasihnya pergi dari hidupnya seperti semula

Aku, seorang penonton drama terlarangnya sebuah cinta
hanya bisa senantiasa memanjatkan doa
semoga Allah berikan kemudahan bagi mereka berdua
untuk mengubah jalinan cinta asmara
menjadi jalinan kasih sayang yang diridhai-Nya...

Jakarta, 20 September 2011
Ketika teringat kisah salah seorang sahabat tercinta :)
Yeni Suryasusanti

Rabu, 14 September 2011

Sekali Lagi Tentang Cinta :)



Mungkinkah...
ada hati yang tak pernah terbagi
ada rindu yang selalu berlagu
ada janji yang terpatri abadi
ada cinta yang tak pernah menua?

Mampukah kita...
semudah itu mengubur lara
ketika tahu bahwa luka tetaplah luka
yang meski tak lagi sakit terasa
namun bekasnya tetap ada?

Ingatlah...
jangan katakan memuja bila tak mampu menjaga
jangan katakan merindu bila tak sabar menunggu
jangan katakan mendamba bila hanya jadi rahasia
jangan katakan mencinta bila hanya munculkan air mata

Namun sadarilah...
tak ada suka tanpa duka
tak ada bahagia tanpa nestapa
demikian pula tak ada pasangan yang sempurna
karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata

Dan yakinilah...
ragu akan terhenti jika tak ada teka-teki
hati akan terjaga jika tak ada tanda tanya
cinta akan tetap bersemi jika selalu disirami
bahagia akan tercipta jika selalu bersyukur kepada-Nya...

Jakarta, 14 September 2011
Yeni Suryasusanti

Selasa, 13 September 2011

Ketika 1 + 2 Tidak sama dengan 3...



Hari Jumat, 9 September 2011 yang lalu, kantor saya mengadakan training product knowledge untuk marketing dan account manager baru, dan beberapa wajah lama yang dinilai masih membutuhkan pendalaman materi, dihadiri oleh sekitar 30 karyawan, dan berlangsung sehari penuh.
Training dimulai sejak pagi, diawali dengan pengenalan visi misi perusahaan, deretan produk yang kami miliki dan tawarkan kepada customer, bagaimana proses trial koneksi hingga instalasi, bagaimana aktivasi hingga maintenance atas troubleshooting yang terkadang terjadi, hingga prosedur administrasi berlangganan, pengenaan biaya atas koneksi internet dan pajak yang dibebankan kepada customer.

Saya, yang mendapatkan tugas memberikan materi training tentang prosedur administrasi berlangganan yang harus dipenuhi dan pengenaan biaya atas koneksi internet customer, mendapatkan giliran sharing knowledge terakhir, persis setelah team maintenance sharing, sehingga saya sempat mendengarkan beberapa penjelasan tentang load balancing.

Load Balancing adalah teknik untuk mendistribusikan beban trafik pada dua atau lebih jalur koneksi secara seimbang, agar trafik dapat berjalan optimal, memaksimalkan throughput, memperkecil waktu tanggap dan menghindari overload pada salah satu jalur koneksi.
Namun, dengan menggunakan loadbalance dua jalur koneksi bukan berarti besar bandwidth yang didapatkan customer menjadi dua kali lipat dari bandwidth sebelum menggunakan loadbalance. Karena loadbalance tidak akan menambah besar bandwidth namun hanya bertugas membagi trafik dari kedua bandwidth tersebut agar semua jalur koneksi dapat terpakai secara seimbang.
"Singkatnya, 1 + 2 = 1 + 2, tidak sama dengan 3", demikian jelas rekan kerja saya dari team maintenance.

Seperti biasa, pikiran saya sering mengkorelasikan masalah yang jika dilihat secara sepintas oleh orang lain akan terlihat jauh berbeda bahkan seolah-olah tidak ada hubungannya :)
Mendengar kalimat kunci dari trainer team maintenance tadi, saya justru teringat akan sebuah kejadian yang pernah saya alami, dimana saya mengutip kalimat yang hampir sama maknanya.

Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat lama mengabarkan bahwa ternyata dia tidak bisa meluangkan waktunya untuk bertemu dengan saya setelah sebelumnya sempat memberikan sedikit harapan kemungkinan bisa bertemu hari itu dan saya sudah menyiapkan waktu untuknya.
Ketika saya sampaikan bahwa saya kecewa karena tidak bisa bertemu dengannya akibat batalnya pertemuan kami, dia dengan manisnya berkata, "Apa yang bisa saya lakukan agar kamu tidak sedih dan kecewa? How can I make it up to you?"
Dengan terus terang saya berkata, "Kamu ingin saya tidak sedih dan kecewa? Temui saya hari ini..." :D
Dia tertawa, dan berkata lain waktu dia akan menebusnya :)

Ketika itu saya memberikan sebuah perbandingan baginya, agar dia memahami bahwa kesedihan dan kekecewaan yang telah ditimbulkan tidak semata-mata bisa terhapuskan oleh kebahagiaan di lain waktu.

Ketika putri saya - Nada Salsabila Hafizah - berpulang ke rahmatullah di tahun 2006 dan saya kemudian mengalami keguguran di tahun 2007, saya berduka. Ketika lahir Ahmad Balda Arifiansyah (Fian) di tahun 2008, saya mendapatkan kebahagiaan.
Namun kenyataannya, apakah dengan kehadiran Fian, maka duka saya karena berpulangnya Nada menjadi hilang? Sesederhana itukah? Apakah kesedihan karena kehilangan anak dapat hilang bagai tidak pernah ada hanya dengan lahirnya seorang anak "pengganti"?
Tidak.
Kehadiran Fian memang mengisi hari-hari saya dengan kebahagiaan, seperti juga kehadiran Ahmad Yusran Irfansyah (Ifan) yang sejak awal saya jadikan tempat "berpegang" ketika rasa pilu menyerang.
Namun, rasa sedih akibat kehilangan Nada akan tetap selalu ada. Karena Fian - dan Ifan - bukanlah Nada.
Mengutip ucapan rekan kerja saya, "1 + 2 = 1 + 2, tidak sama dengan 3..."
Atau untuk kasus saya lebih tepatnya "-1 + 1 = -1 + 1, tidak sama dengan nol..." :)

Jalan pikiran manusia ternyata memang bisa sangat aneh bahkan terkadang menakjubkan.
Hanya karena sedikit mengikuti penjelasan training oleh seorang rekan kerja sebelum giliran saya mengajar dimulai, saya justru merasa diingatkan untuk lebih berhati-hati dengan ucapan saya, waspada dengan kata-kata yang mungkin menyiratkan harapan dan terutama selalu berusaha menepati janji yang keluar dari bibir saya, agar tidak menimbulkan kekecewaan, kesedihan bahkan sakit hati bagi orang-orang yang berinteraksi dengan saya...

Jakarta, 13 September 2011
Yeni Suryasusanti

Kamis, 08 September 2011

Push to the Limit



Pagi hari tanggal 6 September 2011 saya belajar - lagi. Kali ini dari kejadian hampir pingsannya seorang penumpang busway di dekat saya.
Seorang pria muda, membawa ransel di punggungnya, rapi, seperti seorang eksekutif muda, secara tiba-tiba terjatuh berlutut di lantai busway. Penumpang yang duduk di depannya kebetulan seorang pria muda juga - yang sebelumnya sedang asyik dengan Blackberrynya - segera memberikan tempat duduknya. Melihat wajah yang pucat dan berkeringat sebesar jagung, saya menyodorkan minyak angin aromatherapy yang memang selalu ada di tas saya kepada penumpang wanita di sebelahnya. Ketika diberikan ke tangannya, pria yang hampir pingsan itu tetap tertunduk kepalanya, badannya yang setengah membungkuk di sangga dengan kedua tangga yang jemarinya saling mengait di pangkuannya.
Akhirnya penumpang wanita di sebelahnya mengambil kembali minyak angin aromatherapy tersebut, membuka tutupnya dan mengoleskannya ke telapak tangan si pria yang hampir pingsan, kemudian mengembalikannya kepada saya.

Entah memang tidak pernah mengetahui fungsinya atau sudah tidak bisa berpikir lagi saking hampir kehilangan kesadarannya, dia tidak menghirup cairan minyak angin aromatherapy ke hidungnya seperti yang seharusnya dilakukan, malah menggosoknya ke pangkal antara ibu jari dan telunjuk tempat syaraf yang biasa di tekan untuk menyadarkan orang pingsan. Dia tetap tertunduk.

Karena kebetulan sudah hampir sampai di halte tujuan saya, saya mengambil minyak angin aromatherapy, kembali membuka tutupnya, kali ini mengoleskannya ke punggung tangan pria itu sambil berkata, "Didekatkan ke hidung, mas, di hirup aromanya..." kemudian saya bergerak menuju pintu keluar.
Setelah melihat dia melakukan instruksi yang saya sampaikan, saya pun segera menyampaikan kepada kondektur busway  - yang mengucapkan terima kasih setelahnya - mengenai kondisi penumpang pria tersebut lalu turun dari busway di halte dekat kantor saya.

Apa yang saya pelajari kali ini?
Tidak lain mengenai "Push to the Limit".

Saya, adik-adik Paskibra 78, dan rasanya banyak orang lain juga yang pernah mengalami pelatihan sejenis, selama ini diajarkan untuk berusaha semaksimal mungkin, diminta untuk "push ourself to the limit".
"Kamu belum pingsan kan?" adalah kalimat yang tak jarang diucapkan ketika pelatihan fisik.
Saya sendiri menyadari hal itu sejalan dengan ajaran Islam untuk berikhtiar semaksimal mungkin.
Hanya saja, terkadang saya - dan mungkin teman-teman lain juga - lupa menetapkan batasan yang tepat. Lupa mengingatkan diri sendiri bahwa batas kemampuan pada masa pelatihan seharusnya berbeda dengan ketika kita sudah terjun ke dunia nyata.

Ketika dalam pelatihan, kita diawasi oleh mentor-mentor dan kakak-kakak yang siap sedia melindungi kita ketika kita sampai pada batas kemampuan kita. Jika kita pingsan, ada yang bertanggungjawab mengurus, jika stress ada yang membantu menenangkan.
Seharusnya masa pelatihan kita gunakan untuk mengenali batas kemampuan kita, terutama mengenali tanda-tanda yang muncul ketika kita sudah hampir sampai di akhir batas kemampuan kita.

Belajar dari kejadian pagi itu dan kembali mengingat petuah mentor Paskibra 78 saya, batas kemampuan yang dimaksud adalah batasan ketika kita masih memiliki kendali atas tubuh dan pikiran kita. Bukan ketika meskipun kita masih bernyawa, namun tidak lagi memiliki kendali atas tubuh atau pikiran kita, seperti pria yang pingsan tersebut, yang bahkan sudah tidak sanggup mengucapkan terima kasih atas bantuan pria yang membangunkannya dari posisi berlutut di lantai busway ke tempat duduk.

Jika si pria itu menentukan batas kemampuan yang tepat, tentu dia akan keluar dari busway di salah satu halte ketika dia mulai merasa tidak nyaman, beristirahat sejenak, mungkin minum sedikit, baru kemudian melanjutkan perjalanan naik busway berikutnya. Atau dia bisa keluar dari halte busway dan pulang dengan naik taksi. Toh dalam kondisi sakit seperti itu dia juga tidak akan bisa bekerja :)

Saya mendapati, kesalahan penentuan batas kemampuan ini seringkali terjadi akibat penilaian diri yang (terlalu) tinggi, adanya terselip perasaan sombong, munculnya perasaan "tanggung" atau "tertantang", atau ketika kita baru saja lulus dari pelatihan karena terbiasa ada orang lain yang bisa kita andalkan untuk menjaga kita ketika hal buruk terjadi.

Dulu, ketika migrain masih sering menyerang saya akibat pertumbuhan gigi bungsu yang tidak benar posisinya, saya selalu berusaha "push myself to the limit" dengan tetap memaksakan diri bekerja saat awal gejala migrain menyerang.
"Toh saya belum tumbang," demikian pikir saya.
Akibatnya, ketika migrain telah menyerang saya lebih parah, saya memerlukan waktu 3 hari istirahat di tempat tidur untuk pulih kembali.

Belajar dari hal itu, saya menyadari bahwa saya mungkin keliru menentukan batas kemampuan saya. Saya pun berusaha mengenali ciri-ciri gejala awal migrain yang menyerang saya. Rasa berat pada mata dan kening, rasa urat yang tertarik di tengkuk, dan rasa kebas di bagian kiri belakang kepala saya.
Setelah gigi bungsu saya di cabut, migrain jadi jarang menyerang saya. Namun, karena sudah mengenali ciri-cirinya, setiap kali awal gejala migrain menyerang (biasanya ketika anak-anak sakit demam karena saya otomatis terbangun setiap jam untuk memegang kening mereka), maka sebelum gejala awal tersebut kemudian menjadi semakin parah saya akan terlebih dahulu mengajukan izin untuk beristirahat 1 hari saja.
Ini jauh lebih efektif bagi semua, karena saya hanya perlu beristirahat 1 hari dan saya tidak terlalu tersiksa rasa sakit, daripada memaksa saya "push to the limit" yang keliru batasannya, dan akibatnya harus beristirahat lebih lama (bisa sampai 3 hari), dan lebih menderita pula :)

Masalahnya lagi, menentukan batas kemampuan atas kendali tubuh masih lebih mudah. Jauh lebih sulit mendeteksi batas kemampuan kendali kita atas pikiran. Penentuan batasan yang keliru ini pun akibatnya jauh lebih buruk : stress yang bisa mengakibatkan stroke, atau minimal pelampiasan emosi kepada orang-orang tercinta yang berada di sekitar kita :(
Namun, seperti gejala awal migrain saya, kita masih bisa mencoba mengenali tanda-tanda mulai lepasnya kendali kita atas pikiran kita, sehingga kita bisa segera berhenti sejenak untuk beristirahat atau meminta bantuan agar terhindar dari stress berat yang bisa berakibat fatal :)

Ada satu ungkapan adik Paskibra 78, Debby Cintya, yang menjadi kalimat favorit saya setiap ujian datang mendera :
“Everything that doesn’t kill you will make you stronger, smarter, and mentally richer”.
Namun, dengan pelajaran yang saya dapatkan pagi itu, saya harus mengingatkan diri saya bahwa hal itu sebaiknya berlaku jika saya menetapkan batasan yang tepat untuk menghadapi semuanya sendiri tanpa bimbingan orang lain. Karena jika saya menetapkan batasan yang salah, bisa jadi saya mengorbankan diri orang lain - yang kebetulan berada di dekat saya dan kemungkinan besar orang yang saya cintai - dalam proses pendewasaan diri saya...

Untuk mengakui dimana tepatnya batas kemampuan kita memang membutuhkan pengamatan yang jeli, hati yang bersih dan penilaian yang bijak, karena batasan itu belum tentu sama setiap kalinya, akibat banyaknya variabel yang menjadi bahan pertimbangannya.
Belum lagi keyakinan bahwa dengan latihan yang terus menerus, kita bisa meningkatkan batas kemampuan kita.

Namun bagaimanapun juga, dengan pelajaran yang saya dapatkan di pagi tanggal 6 September 2011 itu, saya harus mengingatkan diri saya sendiri untuk menentukan "batas kemampuan" dengan tepat dan menjalani "pelatihan untuk meningkatkan batas kemampuan saya" dengan penuh pertimbangan agar tidak mengakibatkan kesulitan dan menjadi beban bagi orang-orang tercinta di sekeliling saya...

Jakarta, 8 September 2011
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 03 September 2011

Idul Fitri dan Masa Lalu



Tulisan ini merupakan tulisan terpendek yang pernah saya buat hingga saat ini. Saya persembahkan untuk seorang teman lama.
Teman yang dari luar terlihat selalu ceria dan easy going, namun ternyata memiliki hati yang sangat halus - karena bisa secara spontan menangis di toilet ketika saya berbagi sebuah episode dari kehidupan saya :D

------------------------------------------------------------

Sehari sebelum Idul Fitri saya membaca coretan lama seorang teman, yang dia persembahkan khusus untuk seseorang yg ingin “bersih” dari masa lalunya.
Tentang bagaimana dia kerap merasa terganggu dengan bayangan masa lalu yang sering muncul dalam bentuk penyesalan yang tidak bisa dirubah dan berujung dengan gelombang keputusasaan yang berkepanjangan.
Tentang bagaimana kata-kata “seandainya” bolak-balik menghantui perasaan dan membuat otak teman saya kembali ke masa lalu.
Tentang bagaimana teman saya kerap dihadapkan pada pembahasaan tentang masa lalunya, beradu pendapat dan lagi-lagi berujung dengan saling menyakiti dan rasa sakit yang luar biasa. Masa lalu yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan menjadi topik utama dan kembali menuai rasa kecewa bagi dirinya.
Hingga akhirnya teman saya itu belajar berdamai dengan masa lalu, dan mengatakan : If the past posibble to change, maybe everybody does it... But now the important thing is what will you do for the future...

Yup, bahkan dalam film science fiksi tentang perjalanan waktu selalu dipesankan "Jangan merubah yang telah terjadi di masa lalu agar tidak merusak masa depan"...

Seperti setiap orang, saya juga memiliki masa lalu yang tidak sempurna. Banyak kesalahan yang telah saya lakukan akibat kurangnya ilmu dan iman saya :(
Dan seperti teman saya, ada beberapa orang yang pernah dan mungkin kelak akan mengungkit itu semua. Bisa teman atau sahabat lama, bahkan mungkin orang terdekat saya. Membeberkan beberapa dosa, mempertanyakan beberapa keputusan, dan mempersalahkan beberapa tindakan yang telah saya lakukan.
Meskipun tentu saja akan lebih baik jika sejak dulu saya memiliki ilmu dan iman yang bisa menghindarkan saya dari kesalahan yang terjadi, namun jika ada orang yang mengungkit atau pun mempertanyakan masa lalu saya, maka saya akan tersenyum sambil berkata, "Masa lalu itu yang membentuk saya yang sekarang. Saya yang lebih dewasa, lebih luas wawasannya, lebih mau memahami dan bisa memaafkan kesalahan yang orang lain perbuat. Saya yang juga percaya bahwa masih ada beberapa orang yang menghargai kesempatan kedua. Masa lalu itu juga insya allah akan bermanfaat ketika saya memiliki anak. Saya akan lebih mudah memahami kenakalan dan kesalahan yang kelak mungkin mereka lakukan karena saya pernah melakukannya juga - meskipun tentu saja saya berharap anak-anak saya tidak melakukan kenakalan dan kesalahan sebanyak yang saya lakukan..."

Idul Fitri selalu mengajarkan kepada saya tentang banyak hal. Salah satunya adalah tentang memaafkan. Tidak hanya tentang betapa mulianya memaafkan kesalahan orang lain, namun juga tentang bagaimana memaafkan kesalahan diri sendiri.
Jadi, bisa saja kita sudah terlanjur memiliki masa lalu yang suram. Namun, jika kita belajar dari kesalahan dan berdamai dengan masa lalu kita, maka percayalah, masa depan kita tidak harus ikut kelam...

Jakarta, 3 September 2011
Yeni Suryasusanti