Hampir 20 tahun yang lalu, saya pernah "gagal" melewati sebuah mata kuliah. Saya mendapat nilai D. Meskipun bukan mata kuliah ujian negara sehingga sebenarnya bisa saja jika saya tidak ingin mengulang, saya memutuskan untuk mengulang dan akhirnya berhasil memperbaiki nilai tersebut. Lebih karena penasaran sebenarnya.
Mengapa?
Alasan pertama, karena sebenarnya saya merasa cukup menyukai ilmu yang diajarkan, tetapi tidak bisa menyelesaikan soal yang diberikan oleh dosen kami dengan cukup baik saat latihan maupun ujian.
Alasan berikutnya, karena kata-kata Papa saya ketika saya menyampaikan kegagalan tersebut.
Ketika itu Papa bertanya, "Kenapa kamu gagal?"
Saya menjawab dengan jujur, "Karena nggak bisa menerapkan ilmu yang diajarkan dalam soal."
Papa menyelidik lebih lanjut, "Berapa persen mahasiswa yang gagal dan mendapat nilai D untuk mata kuliah ini?"
Saya menjawab sesuai kenyataan yang terjadi, "Hampir 80%."
Papa kemudian berkata dengan tegas, "Jika hanya beberapa murid yang mendapat nilai buruk dalam suatu pelajaran, maka murid tersebut yang bodoh. Tapi jika kebanyakan murid mendapat nilai buruk, maka gurunya yang bodoh."
Ketika itu saya tertawa dan berkata, "Kalau bodoh dia nggak bakal jadi guru dong Pa."
Bertahun-tahun kemudian saya akhirnya memahami hal yang tersirat dari ucapan Papa mengenai "murid yang bodoh" atau "guru yang bodoh".
Tentu saja dengan pengertian yang berbeda dan wawasan yang sudah lebih luas, saya pun akhirnya menyadari bahwa tidak ada "murid yang bodoh" pun demikian tidak ada "guru yang bodoh".
Saat itu saya sudah bekerja. Saya memiliki atasan yang luar biasa pintar, lulusan perguruan tinggi luar negeri, lebih sering menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan dan menggunakan berbagai istilah yang sangat teknis dan canggih ketika melakukan training kepada saya.
Dan hasilnya? Saya tidak memahami apa yang harus saya sajikan dalam sebuah laporan dan menyajikan seluruh data yang saya miliki.
Namun saya tidak menyerah.
Ketika itu saya memiliki seorang senior yang hanya lulusan perguruan tinggi dalam negeri, menggunakan Bahasa Indonesia dalam kesehariannya. Namun dibawah bimbingannya saya berhasil memahami apa yang harus saya sajikan dalam sebuah laporan.
Mengapa?
Tak lain karena senior tersebut mengajari saya dengan metode dan bahasa yang sederhana dan bisa saya pahami.
Dibawah bimbingannya saya belajar, bahwa untuk menyajikan laporan yang tepat guna, saya harus mengetahui dengan jelas kebutuhan pengguna laporan tersebut.
Intinya, saya harus membuat laporan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, bukan hanya menuliskan seluruh data sesuai dengan keinginan saya.
Beberapa hari yang lalu, saya dan seorang rekan membutuhkan beberapa data atas permintaan pimpinan kami.
Mengetahui untuk apa data tersebut dibutuhkan oleh beliau, saya sedikit ikut membantu mengarahkan rekan yang bertugas membuatnya menjadi sebuah laporan. Kebetulan sang pembuat laporan bukan berasal dari divisi yang saya bimbing. Ketika itu, dia terlihat mengerti data apa saja yang ingin kami munculkan.
Namun keesokan harinya, laporan yang telah jadi dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan kami. Terlalu banyak detail yang tidak perlu muncul, dan belum bisa langsung digunakan dalam sebuah analisa karena masih perlu kalkulasi data lebih lanjut. Menyebut dengan istilah saya, laporan tersebut masih setengah matang (jika tidak ingin disebut sebagai laporan yang masih mentah).
Saya pun kembali mengarahkan, lengkap dengan coret-coretan kolom dan data apa saja yang kami butuhkan. Kami pun meminta dia memperbaiki laporannya.
Atasan sang pembuat laporan - yang juga rekan kerja saya - di ruangan yang terpisah ketika itu memberikan alasan kegagalan hasil laporan tersebut kepada saya.
Dia berkata bahwa sang pembuat laporan gagal mengerti apa-apa saja yang diajarkan olehnya. Dengan kata lain : tidak mampu. Namun, karena pernah bertugas memenuhi laporan lain untuk saya sehingga saya merasa cukup bisa menilai kemampuannya, saya dengan tegas menolak kesimpulan rekan saya tersebut.
Ketika itu dengan spontan saya berkata, "Tidak ada murid yang bodoh. Yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajari. Jika kamu ingin memiliki seorang asisten yang kompeten, hanya ada dua pilihan : memilih orang yang bisa memahami cara kamu mengajar, atau jika tidak bisa maka kamu harus menemukan metode yang tepat untuk mengajarinya."
Tiba-tiba saya teringat pengalaman kegagalan saya di masa kuliah dulu, ketika pernah suatu waktu saya mendapat nilai jelek karena tidak bisa memahami pengajaran dosen saya.
"Dosennya nggak bisa ngajar..." demikian ucapan hampir seluruh mahasiswa di kelas saya, namun dianggap sebagai dalih mahasiswa atas nilai jelek yang diterimanya.
Dan saya pun teringat kesimpulan yang pernah saya ambil bertahun-tahun sebelumnya, bahwa sebenarnya, bukan secara harfiah sang dosen / trainer tidak bisa mengajar, namun sang dosen / trainer tidak menggunakan metode yang tepat dan bisa dipahami oleh mahasiswa / trainee-nya. Hasilnya adalah kegagalan transfer ilmu.
Hari berikutnya, sang pembuat laporan memberikan hasil kerjanya.
Ternyata, ada satu kolom yang telah saya tekankan untuk dimunculkan malah diganti dengan kolom lain.
Dengan kesabaran yang mulai menipis karena laporan tersebut akan saya bawa sebagai bahan analisa internal yang akan saya bahas secara ringkas bersama pimpinan kami sebelum meeting dengan client di luar kantor yang akan berlangsung sebentar lagi, saya bertanya mengapa kolom tersebut tidak dimunculkan. Dan dengan raut wajah yang serba salah dia berkata bahwa menurut atasannya kolom inilah yang perlu ditampilkan.
Dengan nada suara yang cukup tinggi karena nyaris kehilangan kesabaran saya berkata, "Kalau membuat laporan itu, sajikan data sesuai kebutuhan user, bukan sesuai keinginan pembuat laporan...!"
Akhirnya, setelah melakukan perbaikan kilat, meskipun belum terlalu sesuai dengan kebutuhan saya namun cukup mendekati dan secara kasar bisa digunakan sebagai bahan analisa, laporan tersebut tetap saya bawa agar bisa dibahas di perjalanan.
Sepulang saya dari meeting, dalam suasana yang tidak terburu-buru akhirnya saya, rekan kerja saya, dan sang pembuat laporan duduk bersama membahas hal ini. Kami melakukan rekonsiliasi.
Saya menyampaikan dengan jelas apa yang saya butuhkan, yaitu data global untuk menganalisa keuntungan project. Sedangkan laporan yang dibuat oleh mereka merupakan data detail yang masih perlu dikalkulasikan.
Jalan tengahnya?
Buat laporan data global disertai beberapa catatan untuk saya, sedangkan data detailnya bisa mereka simpan untuk disajikan jika nanti dibutuhkan.
Akhirnya kami mencapai kesepakatan dan saling pengertian untuk masalah ini.
Saat membuat tulisan ini, saya merenung, saya belajar.
Saya belajar, bahwa kesabaran memang sangat diperlukan hampir dalam setiap sisi kehidupan.
Saya belajar, bahwa untuk menjadi seorang guru yang baik dan menghasilkan murid yang kompeten, saya membutuhkan kesabaran, metode yang tepat dan waktu yang cukup.
Saya belajar, bahwa untuk menyelesaikan masalah bersama kita sebaiknya "duduk" bersama dan melakukan komunikasi efektif dengan cara yang baik dan pikiran yang terbuka.
Saya belajar, bahwa ketika saya kehilangan kesabaran, bisa jadi ada orang yang merasa sakit hati atau minimal tersinggung dengan sikap dan kata-kata saya, sehingga saya harus meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada mereka.
Dan terutama saya belajar, bahwa saya masih harus banyak belajar untuk mengendalikan sikap dan kata-kata saya ketika saya kehilangan kesabaran.
Betapa tepatnya deskripsi yang saya gunakan dalam "About Me" untuk menggambarkan diri saya baik di Blog maupun di Facebook : "I am a lifetime learner".
Karena pada kenyataannya, berapa pun usia saya, apa pun jabatan / posisi saya, dimana pun saya berada, saya tetap akan selalu menjadi seorang pelajar seumur hidup saya.
Seorang pelajar yang belajar dari kehidupan.
Jakarta, 1 September 2012
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar