"Ting ting ting..." bunyi suara yang melintas di depan rumah.
"Suara apa itu, Bun?" tanya Fian sambil mendengarkan penuh minat ketika kami sedang menonton tv malam itu.
"Oh, itu suara tukang bakso lewat..." jawab saya menjelaskan suara dentingan sendok dan mangkok beradu yg dipukul oleh tukang bakso.
"Kog Bunda tahu?" tanya Fian ragu.
"Coba aja intip di jendela..." jawab saya sambil tertawa.
"Oooohhhh, bener Bun, tukang baksoooo...." seru Fian antusias.
Suatu pagi, kejadian yang sama kembali berulang ketika terdengar suara, "Tet tet tet... Tiiiiii!" lewat di depan rumah kami.
Seperti biasa, Fian yang selalu ingin tahu bertanya, "Suara apa itu, Bun?"
"Oh, itu suara tukang roti..." sahut saya.
"Kog Bunda tahu?" tanya Fian ragu.
"Coba aja intip di jendela..." jawab saya sambil tertawa.
"Oooohhhh, bener Bun, tukang rotiiiii...." seru Fian antusias.
Malamnya, ketika seperti biasa terdengar "Ting ting ting..." Fian langsung berkata,
"Itu suara tukang bakso kan Bun?"
"Kog Fian tahu?" goda saya sambil tersenyum.
"Tahu dongggg.... kan Fian udah pernah dengar trus Fian intip... jadi Fian udah ngertiiiii...." jawabnya antusias.
Demikian juga keesokan paginya ketika terdengar suara "Tet tet tet... Tiiiiii!" Fian dengan antusias berujar,
"Itu suara tukang roti kan Bun?"
"Kog Fian tahu?" goda saya sambil tersenyum.
"Tahu dongggg.... kan Fian udah pernah dengar trus Fian intip... jadi Fian udah ngertiiiii...." jawabnya antusias.
Di wajah Fian terpancar kepuasan diri.
Suatu sore, saya melihat Ifan duduk di ruang tamu.
"Bun, pengen makan siomay deh..." ujarnya.
"Ya udah, duduk di ruang tamu, tungguin siomay lewat, biasanya jam seginian kog lewatnya..." sahut saya.
"Oke Bun..." sahut Ifan, lalu membaca majalah di ruang tamu sambil menunggu.
Tak lama terdengar suara "Ting ting ting.... omaaayyyy...." dari kejauhan.
Ifan langsung keluar dan berseru gembira, "Nah, itu dia tukang siomaynya.... boleh beli ya Bun?"
Seperti biasa, hal ini tidak luput dari pikiran saya yang selalu meloncat-loncat kepada hal yang sepertinya tidak ada hubungannya.
Kali ini saya berpikir tentang kedewasaan.
Ifan dan Fian yang belajar mengenali suara-suara yang akrab terdengar di lingkungan rumah kami menunjukkan kepada saya tentang proses seseorang menjadi dewasa.
Seseorang yang masih kecil - belum dewasa - tidak akan dengan peka mengenali isyarat samar disekelilingnya. Semuanya harus dengan gamblang dipaparkan di depan matanya.
Seseorang yang masih remaja - mulai belajar dewasa, namun belum mencapai kedewasaannya - akan mengenali jika isyarat itu ada, namun belum memahami kapan isyarat tersebut akan tiba, atau isyarat apa yang mengawalinya.
Seseorang yang telah dewasa akan mampu menangkap dan memahami isyarat - sekecil apa pun - yang terjadi dalam kehidupannya, terkadang dari isyarat pendahuluan yang tercipta.
Untuk mengajari etika berterima kasih agar melekat di dalam diri, ketika Ifan dan Fian kecil, setiap kali saya membantu mereka mengerjakan sesuatu yang seharusnya bisa mereka kerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain, seperti mengambilkan mereka minum, sambil meletakkan gelas saya akan berkata, "Bilang : terima kasih, Bunda..." dan mereka pun akan menirukannya.
Begitu mereka mulai mengerti, sambil meletakkan gelas saya akan berkata, "Bilang apa?"
Dan mereka pun akan berkata, "Terima kasih, Bunda..."
Untuk kasus Ifan, saat ini jika dia terlupa dengan etika tersebut, sambil meletakkan gelas saya hanya perlu menatapnya, dan Ifan akan berkata, "Terima kasih, Bunda..."
Seseorang yang telah mencapai tingkat "kedewasaan" yang tinggi - tanpa diingatkan apalagi diminta - akan mengucapkan terima kasih ketika orang lain membantunya.
Demikian pula dengan rasa syukur.
Seseorang yang masih "kecil" biasanya kurang menghargai dan bersyukur atas segala yang dimilikinya. Dia baru akan merasa kehilangan ketika sesuatu yang dimilikinya hilang atau diambil. Dia baru akan mengingat Allah ketika nikmat diambil dari kehidupannya.
Seseorang yang sudah "remaja" cukup menghargai miliknya. Dia sudah akan langsung terusik jika sesuatu miliknya sedikit rusak atau cacat, tidap perlu menunggu barang tersebut hilang. Dia baru mengingat Allah ketika segala nikmat terancam tercabut dari kehidupannya.
Seseorang yang sudah dewasa, akan selalu menghargai dan bersyukur atas segala sesuatu yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dia akan selalu mengingat Allah dalam segala keadaan, baik sedih maupun bahagia.
Dan kemudian isyarat alam.
Saat terjadi bencana alam - seperti tsunami terjadi di Aceh maupun bencana lain - begitu banyak korban terjatuh akibat ketidaktahuan bahkan mungkin ketidakperdulian kita membaca tanda-tanda alam. Kita seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya memikirkan yang indah saja di dunia.
Namun setelahnya kita mulai belajar untuk mempelajari isyarat awal dari sebuah bencana. Seperti mendung yang biasanya - meskipun tidak selalu - mengawali hujan. Itu tandanya kita mulai tumbuh menjadi remaja.
Kelak, ketika kita sudah dewasa, mungkin kita akan mau belajar "merawat" alam dan menjadikannya tempat yang aman dan nyaman untuk kita tinggali sementara hingga hari akhir tiba...
Akhirnya isyarat kematian.
Banyak orang berkata, seorang alim ulama biasanya mengetahui bahwa ajalnya sudah hampir tiba. Saya rasa itu bisa terjadi karena mereka sudah memahami berbagai tanda-tanda yang dirasakan oleh tubuh mereka.
Saya pernah membaca tulisan yang memaparkan tanda-tanda ajal sudah dekat yang berawal dari 100 hari sebelumnya. Kemudian 40 hari, 7 hari, 3 hari, 1 hari dan tanda akhir.
Mengenali tanda-tanda ini tentu berguna jika kita ingin meninggal seperti impian setiap umat Islam : dalam keadaan husnul khotimah, setelah membaca syahadat dan senantiasa dalam keadaan mengingat Allah.
Lalu saya berpikir.
Bagaimana dengan kita yang tidak "seberuntung" para alim ulama yang terpilih menerima hidayah-Nya dalam hal ilmu membaca tanda-tanda menjelang ajal kita - seperti saya misalnya?
Mungkin saya hanya bisa berusaha - sejak sekarang hingga ajal menjelang - untuk membiasakan diri selalu mengingat Allah dengan selalu membasahi lidah dan hati saya dengan berdzikir menyebut nama-Nya. Sehingga ketika saya akhirnya memenuhi panggilan Allah, saya akan pergi dalam keadaan mengingat Allah.
Insya Allah...
Jakarta, 2 Juni 2012
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar