Sudah sejak beberapa waktu yang lalu, saya terkadang menemukan di lantai kamar Ifan ada serbuk seperti pasir, padahal setiap hari kamar tersebut di sapu dan di pel.
Meskipun fondasi dan kayu-kayu di rumah kami sudah disuntikkan anti rayap pada saat renovasi, tapi mengingat renovasi tersebut terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu, maka saya meminta suami dari asisten rumah tangga yang kebetulan seorang tukang yang cukup handal untuk memeriksa kayu di langit-langit kamar Ifan.
Ternyata dugaan saya benar, mulai ada rayap di sana. Namun, karena cukup awal terdeteksi, si tukang berkata bahwa belum perlu diganti kayunya sebab masih kokoh. Cukup dibersihkan dan dioleskan cairan anti rayap saja. Saya pun setuju si tukang mulai bekerja hari itu juga.
Lebih berdasarkan intuisi, pada hari berikutnya saya meminta sang tukang untuk mengecek seluruh lantai atas.
Rumah kami memang terdiri dari 2 lantai. Lantai bawah sebagai rumah utama, sedangkan lantai atas hanya terdapat kamar tamu dengan teras dan kamar mandi yang ditempati oleh sepupu saya yang masih kuliah sambil bekerja, serta 2 kamar pembantu yang kini kosong dan hanya digunakan untuk istirahat sejenak oleh asisten rumah tangga yang pulang hari karena saya belum juga mendapatkan pembantu menginap lagi. Selain itu ada gudang di bawah atap dan ruang setrika serta tempat menjemur pakaian.
Intuisi ini mungkin timbul dari kesadaran bahwa saya jarang melangkahkan kaki ke lantai atas sehingga serbuk kayu berpasir akibat rayap yang mulai ada pasti tidak pernah saya temukan seperti di lantai bawah, dimana saya setiap hari bolak-balik melangkahkan kaki saya :)
Ternyata intuisi saya benar. Pusat rayap ada di kamar mandi tamu dan di kamar sepupu saya.
Keadaannya sudah begitu parah sehingga menurut tukang akan sangat berbahaya jika tidak segera di ganti kayu-kayunya karena sudah hampir habis dimakan rayap. Bahaya atap rubuh di atas kepala sepupu saya membuat saya bergidik.
Saya segera meminta tukang membuat kalkulasi biaya dan waktu pengerjaan pergantian kayu ini.
Saya segera meminta tukang membuat kalkulasi biaya dan waktu pengerjaan pergantian kayu ini.
Berdasarkan kalkulasi, dengan waktu pengerjaan oleh 2 orang tukang, waktu yang akan dihabiskan adalah selama sekitar 1 minggu dengan total biaya sekitar Rp 3.000.000,-.
Sebagai orang keuangan yang terbiasa membuat perbandingan dan perhitungan hampir dalam segala hal, sungguh hal ini cukup mengesalkan bagi saya.
Jika saja rayap di kamar sepupu saya diketahui lebih awal seperti yang terjadi di kamar Ifan, tentu biaya sebesar ini tidak terjadi.
Kami hanya cukup mengeluarkan biaya ongkos 1 orang tukang selama 1 hari dan biaya pembelian anti rayap yang harganya tidak sampai Rp 50.000,-.
Tidak ada gunanya memarahi sepupu saya karena tidak hadirnya rasa memiliki dalam dirinya atas rumah yang kami tempati bersama. Di masa yang akan datang saya hanya meminta bantuannya untuk melaporkan jika ada yang perlu diperbaiki dari ruangan yang dia tempati sebelum kerusakan besar terjadi.
Namun, selalu ada yang bisa saya pelajari dari kehidupan, bahkan dari kerugian financial yang saya alami akibat kurangnya perhatian saya akan perawatan di lantai atas rumah kami.
Rumah bisa saya analogikan sebagai tubuh dan kepribadian. Rayap bisa saya analogikan sebagai penyakit tubuh dan penyakit hati.
Ketika rayap secara perlahan dan awalnya hampir tanpa bisa terdeteksi mulai merusak rumah ditemukan pada kondisi awal, perbaikan besar-besaran yang tentunya menghabiskan biaya yang juga tinggi tidak akan terjadi.
Namun ketika kerusakan yang ditimbulkan oleh rayap pada sebuah rumah baru disadari pada kondisi lanjut, maka akan memerlukan perbaikan yang besar, menghabiskan waktu yang relatif lama dan biaya yang pasti tinggi. Dan ketika kita tidak memiliki sumber daya dan sumber dana untuk memperbaikinya - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya semua akan tinggal sejarah. Rumah secara perlahan tapi pasti akan hancur.
Jika kita terbiasa membaca tanda-tanda pada kondisi tubuh, ketika kelelahan menyerang atau penyakit menyerang tubuh kita diketahui pada stadium awal, maka kita cukup beristirahat, atau kita bisa mengobatinya dengan lebih mudah dan hanya akan memakan biaya yang relatif kecil.
Namun ketika kita mengabaikan sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh tubuh kita dan baru memperhatikan saat kondisi tubuh kita sudah parah akibat serangan penyakit, pengobatan intensif tentu harus dilakukan dan sudah pasti menghabiskan biaya besar.
Dan ketika kita tidak memiliki sumber dana dan kekuatan untuk berobat - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya kita harus menyerah pada penyakit kita.
Demikian juga dengan kepribadian.
Allah memberikan hati kepada manusia untuk membantu mengarahkan kita kepada kebaikan.
Ketika penyakit hati: iri, dengki, marah, benci, dendam ataupun nafsu yang tidak terkendali kita kenali dengan baik sehingga saat ia muncul mengganggu kepribadian kita pada tahap awal, akan lebih mudah kita mengusirnya dan kembali memperbaiki diri.
Namun ketika penyakit hati sudah merasuk semakin dalam dan merusak kepribadian kita sedemikian rupa, akan membutuhkan usaha dan komitmen yang luar biasa untuk kita bisa memperbaiki diri.
Dan ketika kita tidak memiliki komitmen yang besar pada diri sendiri untuk memperbaiki diri - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya, perlahan tapi pasti, kita akan terpuruk ke dalam jurang dosa dan berakhir di neraka.
"Kita semua memang akan mati" bukan merupakan alasan untuk tidak berikhtiar.
Karena seperti yang pernah kita dengar dari penuturan orang bijak yang sebenarnya bisa kita baca pada Al-Qur'an di surat Al Ar-Ra'd : 11 dan surat Al Anfaal : 53, bahwa Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Mana yang akan kita pilih?
Melakukan pengamatan dan perbaikan setiap hari sehingga lebih mudah dijalani?
Atau menunggu sampai kerusakan besar terjadi sehingga hijrah menjadi satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan diri?
Atau bahkan memilih "pasrah" pada nasib dengan tidak melakukan perbaikan sama sekali?
Pilihan ada pada kita. Karena hidup terdiri dari berbagai pilihan. Jadi, pilihlah dengan bijak :)
Jakarta, 13 Mei 2012
Yeni Suryasusanti
Rumah bisa saya analogikan sebagai tubuh dan kepribadian. Rayap bisa saya analogikan sebagai penyakit tubuh dan penyakit hati.
Ketika rayap secara perlahan dan awalnya hampir tanpa bisa terdeteksi mulai merusak rumah ditemukan pada kondisi awal, perbaikan besar-besaran yang tentunya menghabiskan biaya yang juga tinggi tidak akan terjadi.
Namun ketika kerusakan yang ditimbulkan oleh rayap pada sebuah rumah baru disadari pada kondisi lanjut, maka akan memerlukan perbaikan yang besar, menghabiskan waktu yang relatif lama dan biaya yang pasti tinggi. Dan ketika kita tidak memiliki sumber daya dan sumber dana untuk memperbaikinya - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya semua akan tinggal sejarah. Rumah secara perlahan tapi pasti akan hancur.
Jika kita terbiasa membaca tanda-tanda pada kondisi tubuh, ketika kelelahan menyerang atau penyakit menyerang tubuh kita diketahui pada stadium awal, maka kita cukup beristirahat, atau kita bisa mengobatinya dengan lebih mudah dan hanya akan memakan biaya yang relatif kecil.
Namun ketika kita mengabaikan sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh tubuh kita dan baru memperhatikan saat kondisi tubuh kita sudah parah akibat serangan penyakit, pengobatan intensif tentu harus dilakukan dan sudah pasti menghabiskan biaya besar.
Dan ketika kita tidak memiliki sumber dana dan kekuatan untuk berobat - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya kita harus menyerah pada penyakit kita.
Demikian juga dengan kepribadian.
Allah memberikan hati kepada manusia untuk membantu mengarahkan kita kepada kebaikan.
Ketika penyakit hati: iri, dengki, marah, benci, dendam ataupun nafsu yang tidak terkendali kita kenali dengan baik sehingga saat ia muncul mengganggu kepribadian kita pada tahap awal, akan lebih mudah kita mengusirnya dan kembali memperbaiki diri.
Namun ketika penyakit hati sudah merasuk semakin dalam dan merusak kepribadian kita sedemikian rupa, akan membutuhkan usaha dan komitmen yang luar biasa untuk kita bisa memperbaiki diri.
Dan ketika kita tidak memiliki komitmen yang besar pada diri sendiri untuk memperbaiki diri - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya, perlahan tapi pasti, kita akan terpuruk ke dalam jurang dosa dan berakhir di neraka.
"Kita semua memang akan mati" bukan merupakan alasan untuk tidak berikhtiar.
Karena seperti yang pernah kita dengar dari penuturan orang bijak yang sebenarnya bisa kita baca pada Al-Qur'an di surat Al Ar-Ra'd : 11 dan surat Al Anfaal : 53, bahwa Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Mana yang akan kita pilih?
Melakukan pengamatan dan perbaikan setiap hari sehingga lebih mudah dijalani?
Atau menunggu sampai kerusakan besar terjadi sehingga hijrah menjadi satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan diri?
Atau bahkan memilih "pasrah" pada nasib dengan tidak melakukan perbaikan sama sekali?
Pilihan ada pada kita. Karena hidup terdiri dari berbagai pilihan. Jadi, pilihlah dengan bijak :)
Jakarta, 13 Mei 2012
Yeni Suryasusanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar