Tanda keseriusan seorang laki-laki adalah bagaimana reaksinya saat menghadapi pertanyaan ttg menikah.
Suami saya, alhamdulillah lulus saat dia menyatakan keseriusannya 😃
Karena bukannya menerima deklarasi cintanya dengan senyum malu atau hati yang berbunga, saya malah balik memberikan persyaratan, bahwa saya hanya bersedia menerima jika dia memang bertujuan menikahi saya, sehingga hubungan ini memang sejak awal memiliki tujuan ke arah pernikahan, bukan hanya sekadar berpacaran nggak kejuntrungan 😃
Karena memiliki anak 3 orang putri semua, papa dan ibu saya mendidik kami agar menjadi pribadi yg benar-benar mandiri, baik dari sisi keuangan maupun dari sisi pemikiran dan tindakan.
Di satu sisi, ini sangat berguna buat kami. Tapi di sisi lain, jujur saja, kemandirian seorang perempuan bisa jadi membuat laki-laki yg kurang percaya diri merasa "tidak dibutuhkan".
Akibat dari didikan kedua orangtua saya tsb, pernikahan saya dan suami lebih ke arah "partner", karena saya tidak pernah dengan sadar "menyandarkan diri sepenuhnya" pada suami...
Alhamdulillah, hingga saat ini berhasil melewati berbagai ujian dalam pernikahan kami dengan baik, dan semoga demikian hingga maut memisahkan kami :-)
Ketika sudah mendekati keberangkatan kami untuk berhaji, salah satu pesan dari Poppy Yuditya, seorang adik di Paskibra 78, yang mantan "preman", yang kini sudah menjadi seorang ustadzah di Parenting Nabawiyah adalah, "Mbak, disana nanti TAAT SUAMI yaaa... karena banyak sekali suami istri yg berangkat berhaji malah berantem di tanah suci..."
Maka saya dan suami pun sama-sama berjanji untuk saling mengingatkan dengan cara yang baik, saling bersabar dan tidak bertengkar selama kami di Tanah Suci.
Ternyata, betul cerita orang bahwa di Tanah Suci kita biasanya diuji dengan kelemahan kita, dan tingkat rasa syukur kita akan menentukan bagaimana kita memandang ujian tersebut...
Saat melempar Jamrah Aqabah di tgl 10 Dzulhijjah yg dilanjutkan dengan Tahallul, Thawaf Ifadhah dan Sa'i, telapak kaki kiri saya lecet parah hingga berdarah akibat berjalan hampir 15 km.
Sementara di tanggal 11-13 Dzulhijjah kami masih harus melempar Jamrah Ula, Wustha dan Aqabah yg perjalanannya setiap kali sekitar 7 km (PP).
Seumur hidup saya, setelah saya dewasa, saya akhirnya merasakan bagaimana menyandarkan diri baik secara kiasan maupun harfiah kepada orang lain : Alhamdulillah, kepada suami saya.
Telapak kaki yang lecet parah membuat saya harus bertumpu dan menggenggam erat tangan suami saya untuk melangkah.
Saya betul-betul merasakan bahwa genggaman tangannya menguatkan setiap langkah saya...
Dan saat kami mulai tertinggal jauh dari rombongan akibat kaki saya yang terluka tidak bisa dibawa melangkah dengan cepat, saya betul-betul melihat bukti kesabaran dan cinta suami saya ketika dia berkata, "Nggak apa-apa kita ketinggalan dan terpisah dari rombongan, ayah jagain bunda kog...", dan dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya dia pun terus menyemangati saya.
Juga saat melihat setiap kali saya bertakbir maka langkah kaki saya menjadi lebih ringan, suami lalu mendukung dengan bertakbir bersama saya sepanjang perjalanan melempar Jamrah...
Alhamdulillah Allah memberikan kesembuhan yg cukup cepat pada kaki saya, sehingga pada tgl 13 Dzulhijjah kami bisa melempar Jamrah tanpa ketinggalan dari rombongan :-)
Saya juga merasakan betapa "heroik"nya suami saya saat dia berjuang membawa saya untuk shalat di Hijr Ismail. Dipeluknya saya dari belakang, dilindunginya saya dari desakan tubuh-tubuh lain tanpa membalas dengan dorongan. Secara harfiah, suami saya melindungi tubuh saya dengan tubuhnya sendiri, sehingga saya sama sekali tidak merasakan beratnya kondisi saat itu, saya mempercayakan tubuh saya dibawa kemanapun yang suami saya tuju.
Dan kepercayaan tersebut berbuah manis saat saya akhirnya merasakan shalat dengan penuh airmata di Hijr Ismail...
Belum lagi kegiatan sederhana sehari-hari yang kami lakukan berdua : mencuci baju di ruang mesin cuci dan menjemur bersama, makan bersama di lorong hotel di depan kamar, selalu bergandengan tangan saat berjalan, baik saat berjalan-jalan di Toko yang menjual cenderamata, juga saat perjalanan pergi dan pulang setiap hari ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi...
Masyaa Allah...
Allah menunjukkan kepada saya betapa nikmatnya bersandar sepenuhnya dan bergantung pada suami...
Allah memperlihatkan kepada saya cinta sejati seorang suami kepada istri...
Allah membuktikan kepada saya bahwa saling menyemangati dalam beribadah dan bekerja bersama-sama memang bisa menguatkan cinta antara suami istri...
Allah mengajarkan kepada saya bahwa romantisme itu bisa dari hal yang sangat sederhana : seperti mencuci dan menjemur baju berdua 😃
Happy 18th Anniversary, Ahmad Fahly Riza 😚
Semoga Allah senantiasa memberkahi pernikahan kita hingga akhir usia...
Alhamdulillah...
Maka nikmat Allah yang mana lagi yang bisa saya dustakan?
Madinah, 11 Oktober 2016
Yeni suryasusanti
Suami saya, alhamdulillah lulus saat dia menyatakan keseriusannya 😃
Karena bukannya menerima deklarasi cintanya dengan senyum malu atau hati yang berbunga, saya malah balik memberikan persyaratan, bahwa saya hanya bersedia menerima jika dia memang bertujuan menikahi saya, sehingga hubungan ini memang sejak awal memiliki tujuan ke arah pernikahan, bukan hanya sekadar berpacaran nggak kejuntrungan 😃
Karena memiliki anak 3 orang putri semua, papa dan ibu saya mendidik kami agar menjadi pribadi yg benar-benar mandiri, baik dari sisi keuangan maupun dari sisi pemikiran dan tindakan.
Di satu sisi, ini sangat berguna buat kami. Tapi di sisi lain, jujur saja, kemandirian seorang perempuan bisa jadi membuat laki-laki yg kurang percaya diri merasa "tidak dibutuhkan".
Akibat dari didikan kedua orangtua saya tsb, pernikahan saya dan suami lebih ke arah "partner", karena saya tidak pernah dengan sadar "menyandarkan diri sepenuhnya" pada suami...
Alhamdulillah, hingga saat ini berhasil melewati berbagai ujian dalam pernikahan kami dengan baik, dan semoga demikian hingga maut memisahkan kami :-)
Ketika sudah mendekati keberangkatan kami untuk berhaji, salah satu pesan dari Poppy Yuditya, seorang adik di Paskibra 78, yang mantan "preman", yang kini sudah menjadi seorang ustadzah di Parenting Nabawiyah adalah, "Mbak, disana nanti TAAT SUAMI yaaa... karena banyak sekali suami istri yg berangkat berhaji malah berantem di tanah suci..."
Maka saya dan suami pun sama-sama berjanji untuk saling mengingatkan dengan cara yang baik, saling bersabar dan tidak bertengkar selama kami di Tanah Suci.
Ternyata, betul cerita orang bahwa di Tanah Suci kita biasanya diuji dengan kelemahan kita, dan tingkat rasa syukur kita akan menentukan bagaimana kita memandang ujian tersebut...
Saat melempar Jamrah Aqabah di tgl 10 Dzulhijjah yg dilanjutkan dengan Tahallul, Thawaf Ifadhah dan Sa'i, telapak kaki kiri saya lecet parah hingga berdarah akibat berjalan hampir 15 km.
Sementara di tanggal 11-13 Dzulhijjah kami masih harus melempar Jamrah Ula, Wustha dan Aqabah yg perjalanannya setiap kali sekitar 7 km (PP).
Seumur hidup saya, setelah saya dewasa, saya akhirnya merasakan bagaimana menyandarkan diri baik secara kiasan maupun harfiah kepada orang lain : Alhamdulillah, kepada suami saya.
Telapak kaki yang lecet parah membuat saya harus bertumpu dan menggenggam erat tangan suami saya untuk melangkah.
Saya betul-betul merasakan bahwa genggaman tangannya menguatkan setiap langkah saya...
Dan saat kami mulai tertinggal jauh dari rombongan akibat kaki saya yang terluka tidak bisa dibawa melangkah dengan cepat, saya betul-betul melihat bukti kesabaran dan cinta suami saya ketika dia berkata, "Nggak apa-apa kita ketinggalan dan terpisah dari rombongan, ayah jagain bunda kog...", dan dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya dia pun terus menyemangati saya.
Juga saat melihat setiap kali saya bertakbir maka langkah kaki saya menjadi lebih ringan, suami lalu mendukung dengan bertakbir bersama saya sepanjang perjalanan melempar Jamrah...
Alhamdulillah Allah memberikan kesembuhan yg cukup cepat pada kaki saya, sehingga pada tgl 13 Dzulhijjah kami bisa melempar Jamrah tanpa ketinggalan dari rombongan :-)
Saya juga merasakan betapa "heroik"nya suami saya saat dia berjuang membawa saya untuk shalat di Hijr Ismail. Dipeluknya saya dari belakang, dilindunginya saya dari desakan tubuh-tubuh lain tanpa membalas dengan dorongan. Secara harfiah, suami saya melindungi tubuh saya dengan tubuhnya sendiri, sehingga saya sama sekali tidak merasakan beratnya kondisi saat itu, saya mempercayakan tubuh saya dibawa kemanapun yang suami saya tuju.
Dan kepercayaan tersebut berbuah manis saat saya akhirnya merasakan shalat dengan penuh airmata di Hijr Ismail...
Belum lagi kegiatan sederhana sehari-hari yang kami lakukan berdua : mencuci baju di ruang mesin cuci dan menjemur bersama, makan bersama di lorong hotel di depan kamar, selalu bergandengan tangan saat berjalan, baik saat berjalan-jalan di Toko yang menjual cenderamata, juga saat perjalanan pergi dan pulang setiap hari ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi...
Masyaa Allah...
Allah menunjukkan kepada saya betapa nikmatnya bersandar sepenuhnya dan bergantung pada suami...
Allah memperlihatkan kepada saya cinta sejati seorang suami kepada istri...
Allah membuktikan kepada saya bahwa saling menyemangati dalam beribadah dan bekerja bersama-sama memang bisa menguatkan cinta antara suami istri...
Allah mengajarkan kepada saya bahwa romantisme itu bisa dari hal yang sangat sederhana : seperti mencuci dan menjemur baju berdua 😃
Happy 18th Anniversary, Ahmad Fahly Riza 😚
Semoga Allah senantiasa memberkahi pernikahan kita hingga akhir usia...
Alhamdulillah...
Maka nikmat Allah yang mana lagi yang bisa saya dustakan?
Madinah, 11 Oktober 2016
Yeni suryasusanti