Selasa, 04 Februari 2014

Seberapa Jauh Kita Ikut Bertanggungjawab?


Tulisan ini saya buat karena tergelitik dengan cerita suami saya tentang sebuah resepsi pernikahan yang dihadirinya bersama Papa saya dan Ifan.

Ketika undangan tersebut datang ke rumah untuk Papa saya, sudah terdengar omelan Papa ketika membacanya.
"Undangan kog Bahasa Inggris semua redaksinya. Emangnya dia orang apa sih?"
Hahahaha....
Omelan ini bukan karena Papa tidak menguasai Bahasa Inggris, sama sekali bukan. Sejak masih aktif bekerja Papa juga bolak balik ditugaskan ke luar negeri dan penguasaan Bahasa Inggris Papa sangatlah baik.
Namun, Papa berpegang teguh pada peribahasa Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung dan selalu berusaha tidak menjadi Kacang yang lupa pada kulitnya.
Jadi penggunaan Bahasa Inggris sepenuhnya pada Undangan Pernikahan dimana yang menjadi mempelai adalah orang Indonesia lumayan mengganggu perasaan Papa :D

Menyimpang sejenak dari topik cerita, beberapa hasil kerja saya merupakan Formulir Administrasi untuk pelanggan. Saya selalu membuatnya 2 bahasa untuk mengantisipasi pelanggan asing. Namun, bahasa yang diutamakan adalah Bahasa Indonesia, ditandai dengan peneraan Bahasa Indonesia dahulu baik pada judul formulir maupun isi formulir, baru kemudian pada baris berikutnya diberikan terjemahan Bahasa Inggrisnya.
Bagi saya ini merupakan pernyataan sikap, karena formulir ini digunakan oleh mayoritas pelanggan Indonesia sedangkan pelanggan asing hanya minoritas saja :)

Dari Undangan Pernikahan yang Papa terima, terbersit tanya dalam pikiran saya.
Seberapa jauh sang pengantin dan keluarganya ikut andil dalam pudarnya kecintaan pada Bahasa Indonesia?
Karena dengan memberikan undangan yang berbahasa selain Bahasa Indonesia berarti ikut membantu menyebarkan Trend penggunaan Bahasa Asing pada acara resmi keluarga.
Berapa banyak calon pengantin dan keluarga yang akan mengikutinya?

Karena saya tidak ikut hadir pada acara pesta pernikahan tersebut, saya bertanya pada suami saya yang mengantar Papa bersama Ifan tentang kesannya terhadap acara pesta pernikahannya.
"Keren sih... Mewah... Tapi... Nggak ada aura tradisionalnya. Yang tradisional hanya baju adat dan pelaminannya. Selain itu, kesannya modern, seperti yang biasa dibuat EO gitu deh..."

Islam memang mengatur tentang akad nikah.
Setiap akad nikah pastinya akan menjadi moment yang membuat isi dada kita bergetar. Bahkan, kita terkadang ikut tegang dan menahan napas ketika mempelai pria sedang mengucapkan ijab kabul.
Namun untuk pesta pernikahan, atau walimah, sepanjang pengetahuan saya tidak ada aturan baku penyelenggaraannya.

Saya jadi teringat acara pesta pernikahan saya sendiri.
Dimana aura tradisional demikian kental baik ketika pesta di Jakarta maupun saat pesta ngunduh mantu di Lampung.
Untuk acara di Jakarta, kami tidak menjalani upacara acara adat lengkap.
Acara perkenalan keluarga dilakukan sekitar setahun sebelum menikah. Acara Lamaran dilakukan 2 bulan sebelum menikah. Acara seserahan malam sebelum akad nikah. Ketiga acara tersebut dijalankan tanpa nuansa adat tradisional, hanya memenuhi etika dan norma sosial. Sementara akad nikah dijalankan sesuai arahan KUA.
Baru pada acara pesta pernikahan ada nuansa tradisional yang kuat.
Undangan pesta pernikahan kami pun bernuansa wayang golek.
Kami bukan hanya menggunakan pakaian adat Sunda dan pelaminan yang sesuai dengan asal daerah Papa saya. Namun juga pelengkap acaranya seperti atraksi mapag pengantin untuk penyambutan pengantin yang ditutup dengan tarian tradisional.
Alat musik yang ada di dalam ruangan yang digunakan sebagai musik latar bukanlah Keyboard dan Biduanita, melainkan Degung Sunda :)

Terlebih lagi saat di Lampung, dimana keluarga suami saya memang masih sangat kuat adat istiadatnya.
Mengutip ucapan almarhum ayah mertua saya yang bijaksana, "Adat wajib dijalankan, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka Adat akan ditinggalkan dan ajaran Islam yang wajib dijalankan."

Tidak heran, pada masa itu saya menilai pesta pernikahan merupakan moment yang terasa sangat sakral yang membuat dada kita tergetar baik dari aura ruangannya, pengantinnya maupun para undangannya.

Lalu, pergeseran budaya terjadi. Tentu diawali oleh beberapa generasi muda yang terpengaruh kata globalisasi.
Bukannya saya tidak menyukai romantisme... Namun jujur saya katakan, bagi saya agak menyedihkan bagaimana pesta pernikahan bergeser dari sesuatu yang sakral menjadi sesuatu yang sekedar romantis.
Getaran hati yang saya rasakan sungguh jauh berbeda.
Dulu, ketika memasuki gedung pernikahan yang penuh nuansa tradisional, maka saya akan langsung menarik nafas dalam-dalam dengan dada bergetar.
Namun sekarang, ketika saya memasuki ruangan pesta dimana biasanya para tamu langsung disambut dengan parade foto pre wedding, maka reaksi saya umumnya bukan lagi menarik nafas dalam dengan dada bergetar, namun reaksi saya malah seperti layaknya bintang iklan di TV yang bersuara manja dan seolah bermimpi, "Ooohhhh... sooo sweetttt...." :D

Dari acara pesta pernikahan yang dihadiri suami saya, terbersit tanya dalam pikiran saya.
Seberapa jauh sang pengantin dan keluarganya ikut andil dalam pudarnya kecintaan pada Adat Istiadat dan bahkan hilangnya Budaya Asli Indonesia?
Karena dengan mengadakan pesta pernikahan bertema Internasional berarti ikut membantu menyebarkan Trend penggunaan budaya internasional pada acara resmi keluarga Indonesia.
Berapa banyak calon pengantin dan keluarga yang akan mengikutinya?

Kemudian, di depan Papa saya, suami saya bercerita tentang antusiasme Ifan ketika mengelilingi ruangan untuk melihat makanan dan minuman apa saja yang tersaji di sana.

Berikut percakapan keduanya...

"Ayah, tau nggak, diluar situ ada Bir, Wine dan Champagne lho Yah!" celoteh Ifan bersemangat.
"Kog Ifan tau itu minuman apa aja?" suami saya sambil nyengir balas bertanya.
"Ifan tanya sama pelayannya itu apa... trus dijelasin deh!" tutur Ifan.
"Oooooo.... Emangnya Ifan mau nyicip kog pake tanya-tanya?" selidik suami saya sambil tersenyum.
"Nggak kog, Ifan mau tau aja itu apa... Ifan nggak mau minum kog... Haram!" sahut Ifan tegas dengan suara cukup keras :D

Di dekat Ifan, banyak kepala menoleh ketika kata "Haram" diucapkan Ifan dengan tegas namun enteng sambil berjalan. Bahkan seorang bapak yang tadinya memegang gelas minuman, langsung meletakkan gelasnya tanpa menghabiskan dan berlalu ke lain ruangan :D

Saya bertanya kepada Papa saya, karena beliau merupakan teman dari orangtua salah satu mempelai, "Lho, bukannya oom itu muslim pa? Kog pestanya ada bir segala?"
"Iya muslim, dan besannya setahu Papa muslim juga, tapi penyelenggara pestanya sepertinya besannya sih, dan memang tamunya banyak orang bule dan cina juga..." jawab Papa saya.

Dari minuman alkohol yang hadir pada acara pesta pernikahan itu, terbersit tanya dalam pikiran saya.
Seberapa jauh sang pengantin dan keluarganya ikut andil dalam dosa memberikan minuman yang tidak baik efeknya kepada para tamu meskipun kebanyakan yang meminum adalah tamu non muslim yang tidak menetapkan keharaman atas minuman tersebut?
Karena dengan menyediakan minuman beralkohol pada pesta pernikahan bisa menjadi godaan bagi tamu muslim yang belum begitu kuat akidahnya untuk mencoba meminum minuman yang diharamkan tersebut.
Berapa banyak calon pengantin dan keluarga yang akan mengikuti trend ini juga nantinya?

Inilah tulisan pertama saya di tahun 2014, disempatkan untuk dituliskan dan didorong pula oleh keharuan serta kebanggaan akan ketegasan Ifan yang semoga saja kelak bisa berpengaruh baik bagi lingkungannya...

Sungguh, saling tolong menolong dalam kebajikan dan saling ingat mengingatkan dalam kesalahan adalah tugas umat Islam...

Mungkin ada baiknya, jika sebelum melakukan sebuah tindakan yang memberikan pengaruh kurang baik pada orang-orang di sekitar kita, hendaklah kita bertanya pada diri kita : Seberapa jauh kita ikut bertanggungjawab?

Jakarta, 4 Februari 2014
Yeni Suryasusanti