Jumat, 18 Oktober 2013

Ketika Fian Mulai Bernegosiasi dan Nilai Hidup Mulai Tertanam


Tadi malam, Debby Cintya lewat di depan rumah saya bertepatan dengan saat guru privat Ifan pulang diantar Fian ke teras. Kost Debby memang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah kami, yang hanya ditempati 2 minggu setiap 2 bulan sekali saat dia cuti dari tempatnya bekerja di Kalimantan.
Oleh Fian, Debby diminta untuk mampir masuk ke rumah tepat ketika saya baru saja masuk ke kamar mandi. Akibatnya, Debby "disandera" Fian disuruh menunggu saya.
Padahal saya kasih tau ya, saya itu menganggap waktu di kamar mandi sambil membaca buku sebagai salah satu "Me Time" saya yang paling berharga dan sungguh tidak tenang jika diburu-buru :p

Debby yang sudah mengetahui betapa berharganya "Me Time" saya itu (heheheh...) menyampaikan kepada Fian bahwa dia ingin langsung pulang karena sejak awal pun memang tidak ada rencana mampir, dan dari kamar mandi saya pun berusaha membujuk Fian dengan mengatakan bahwa saat itu sudah malam jadi tante Debby mau beristirahat.
Debby berpamitan di pintu kamar mandi, tapi ternyata Fian masih belum rela melepasnya pergi.
Kedekatan hati ini terjadi karena waktu dan perhatian yang diluangkan Debby bagi mereka sejak pertama kali saya diserahi tugas mendidiknya oleh Mentor Paskibra 78, sehingga Debby memang sudah seperti keluarga dekat saja bagi Ifan dan Fian.

Ternyata, bakat negosiasi bisa menurun tanpa diajari, hanya dengan menyerap kejadian sehari-hari :D
Karena saya tidak bersedia terburu-buru keluar dari kamar mandi, Debby terpaksa membujuk Fian agar mengizinkan dirinya pulang ke kost.
Pagi ini Debby bercerita kepada saya tentang kejadian tadi malam ketika saya sedang di kamar mandi.
Dengan gaya khasnya, Fian akhirnya mengizinkan Debby pulang namun berkata kepada Debby,
"Fian ikut ke kost tante Debby. Bentaaaaaar aja kog. Terus tante Debby pulangin Fian ke rumah, Fian kunci gembok, terus tante Debby pulang lagi..." :D

Kata Debby, cara Fian membargaining Debby dengan kalimat diatas menunjukkan skill planning dan negosiasi Fian :p

Kemudian, ketika sampai di kost Debby, Fian berkeliling kamar kost Debby, memegang hair dryer lalu menemukan bel / klakson berbentuk bola untuk sepeda dan terlihat tertarik dengan benda tersebut dan memainkannya.
Debby otomatis bertanya, "Fian mau klakson-nya?"

Daaannnn.....
"Jawabannya aja dong yang bikin salut... Salut ihh sama yang mendidik..." cerita Debby antusias kepada saya.

"Boleh, kalau tante Debby sudah tidak perlu lagi..." demikian jawaban Fian atas tawaran Debby :)

Jujur saya katakan, saya tidak mengajarkan secara khusus tentang tehnik negosiasi maupun jawaban Fian yang spektakuler untuk anak usia 5th 4bln itu :D
Kemungkinan besar Fian menyerap dari nilai-nilai yang terimplementasi pada kejadian sehari-hari.
Saya ingat dulu waktu Ifan dibelikan suling yang baru karena sulingnya agak retak, saat saya ingin memberikan suling lama kepada Fian, Ifan sempat sedikit kurang rela. Mungkin karena membayangkan Fian pasti akan berisik karena sudah punya suling sendiri sehingga tidak bisa dilarang meniup suling :D
Saat itu ada Fian disana, mendengar keberatan abangnya.
Saya berkata kepada Ifan, "Abang, kan sulingnya sudah nggak Ifan pakai lagi... Ifan sudah nggak perlu suling yang lama ini karena udah punya suling yang baru... Boleh dong suling lamanya dikasih ke Fian... Fian kan mau belajar suling juga... Nggak hanya suling, mainan dan buku juga gitu. Pokoknya, setiap Barang yang udah nggak Ifan gunakan lalu diberikan dan bermanfaat untuk untuk orang lain, itu akan lebih bagus daripada didiamkan nggak berguna... Mubazir lho..."

Demikian juga dengan makanan. Saya selalu mengajarkan kalau makanan ada yang berlebih, tolong jangan langsung di buang, tapi ditanyakan apakah ada mau, atau bisa memberitahu saya.
Sesekali Ifan atau Fian menawarkan makanan / minuman kepada saya, memang saya terkadang berkata, "Ifan / Fian udah nggak mau?" sebelum memutuskan memakannya.
Yah, mungkin inilah salah satu bentuk kasih seorang Ibu kepada anaknya, yang lebih rela tidak mendapatkan bagian jika sang anak masih ingin memakan bagiannya :D

Sepertinya hal itu menancap kuat di benak Fian sehingga terucap secara otomatis dalam percakapan :)

Saya terharu, takjub, bahagia...
Karena kami sungguh tidak pernah menargetkan "hasil" dari pendidikan karakter yang saya terapkan kepada Ifan dan Fian.
Kami hanya menanamkan nilai-nilai dasar yang baik semaksimal mungkin.
Terkadang dengan pengajaran lewat kata-kata dalam percakapan filosofis yang sesekali memang saya lakukan dengan Ifan dan Fian. Namun lebih banyak lagi lewat sikap dan tindakan atas kejadian normal sehari-hari.
Ternyata, hasilnya dahsyat ya...
Mungkin ini adalah hadiah dari Allah sebagai buah dari komitmen, kesabaran, keikhlasan dan ikhtiar yang tidak mengenal menyerah dari orang tua dalam menjalankan amanah dari Allah...

Alhamdulillah...

Jakarta, 18 Oktober 2013
Yeni Suryasusanti

Jumat, 11 Oktober 2013

15th Pernikahan Kami : Antara “Cantik”, “Menarik” dan “Biasa Saja”, Ketika Kita Bicara Tentang Wanita…

Bicara tentang wanita, jarang bisa terlepas dari “cermin”. Karena wanita memang katanya identik dengan “keindahan”.
Masalahnya, masing-masing pribadi memiliki seleranya sendiri atas “keindahan” tersebut. Meskipun tetap ada standar yang diberlakukan secara umum, namun standar tersebut pun biasanya berbeda antara setiap generasi.

Bicara tentang “keindahan”, umumnya orang menggolongkan wanita menjadi 3 golongan : “Cantik”, “Menarik” dan “Biasa Saja”.
Wanita “Cantik” biasanya adalah wanita yang memiliki wajah atau penampilan fisik yang langsung “menjerat” mata yang melihat. Untuk standar setiap masa bisa berbeda, dari Sophia Loren sampai Barbie :D
Wanita “Menarik” biasanya adalah wanita yang tidak memiliki kecantikan wajah seperti wanita “Cantik” sehingga terkadang hanya dilihat sepintas lalu oleh mata, tapi memiliki sesuatu entah apa pada penampilannya karena kemudian entah mengapa tiba-tiba dia membuat orang tersebut menoleh dan menatap dirinya ketika kali kedua.
Wanita “Biasa Saja” biasanya cenderung terlewatkan oleh mata.
Meskipun ada beberapa yang tega menyebut seorang wanita “Jelek”, saya pribadi menolak memasukkan kategori tersebut dalam penggolongan karena saya percaya ciptaan Allah itu adalah sempurna :)

Sejak saya masih kecil hingga remaja, kata “Cantik” tidak pernah diidentikkan dengan diri saya. Saya identik justru dengan “Mata Sipit” dan “Pipi Tembem” heheheh… 
Kakak saya, Yesi Surya Handayani adalah yang selalu disebut sebagai si “Cantik” dan si “Baik” dalam keluarga :p
Di masa kecil, menolak bermain boneka di rumah dan lebih memilih bermain kejar-kejaran atau layangan di lapangan atau di atas atap rumah kami membuat kulit saya menjadi hitam dan rambut saya pun terbakar sinar matahari :D


Di masa SMA, memilih menjadi anggota Paskibra SMA 78 juga berdampak sama :p
Ketika tidak menyibukkan diri dengan kegiatan di luar rumah, maka saya akan berkurung di kamar saya, menikmati membaca buku sambil mendengarkan lagu :D
Saat itu, saya bukanlah outgoing person seperti sekarang… Saya hanyalah seorang “kutu buku” yang sudah berkacamata sejak SMP kelas 2, sampai Paskibra 78 membuka dunia saya, menumbuhkan kecintaan saya pada organisasi dan kehidupan sosial…




Dibalik dinding yang saya buat di masa remaja, saya selalu mengagumi teman-teman SMA saya yang terlihat “Cantik”, yang biasanya berasal dari keluarga berada, dan mereka ke sekolah umumnya diantar atau bahkan menyetir mobil sendiri, seperti tontonan sinetron saja layaknya.
Sampai pernah ada seorang teman yang berkomentar sinis, “Lah, jelas aja cantik, anggaran ke salonnya aja gede banget… Enak ya jadi orang kaya, walaupun nggak cantik bisa kelihatan kinclong, jadi cowok gampang jatuh cinta pada pandangan pertama... Padahal, belum tentu baik kepribadiannya…”

Muncul pertanyaan dalam diri saya waktu itu.
Apakah cinta hanya mudah hinggap di wajah “Cantik” saja? Sementara untuk yang “Biasa Saja” meski suatu hari akan ada cinta namun tidak terjadi seketika?
Lalu bagaimana kita yang berpenampilan “Biasa Saja”? Nggak mungkin dong harus operasi plastik hanya untuk menarik perhatian lawan jenis?

Namun, meskipun saya melihat bahwa wanita “Cantik” memang lebih mudah menarik perhatian lawan jenisnya, lewat pengamatan yang cukup panjang, saya menarik kesimpulan bahwa untuk mempertahankan sebuah hubungan – entah itu hubungan persahabatan maupun hubungan cinta – wajah yang “Cantik” saja tidak pernah cukup.
Saya pribadi kurang percaya dengan kalimat “Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama” dan lebih percaya kalimat "Jatuh Suka Pada Pandangan Pertama" karena cinta itu bagi saya dalam sekali rasanya, tentunya diperdalam dengan proses juga, sehingga menurut saya rasanya sulit jika seketika hanya dengan memandang saja langsung kelas berat begitu perasaannya...
Akhirnya bagi saya, kata “Jatuh Suka” saya asosiasikan dengan wanita yang “Cantik” atau “Menarik”, namun kata “Jatuh Cinta” saya asosiasikan dengan “Karakter”.

Salah seorang teman saya di Facebook pernah berkata,
“Pria jatuh cinta karena mata, Wanita jatuh cinta karena hati.”

Jika memang benar demikian, maka dari lubuk hati yang paling dalam bisa saya ucapkan  Alhamdulillah… berarti suami saya jatuh cinta bukan pada “kecantikan” saya :)

Mengenang kembali semuanya, hal itu hampir bisa saya pastikan karena ketika kami pertama kali bertemu justru kami “berantem” gara-gara saya meminta dia pindah tempat duduk di Bis Kota karena ingin mendapatkan tempat di dekat jendela pada suatu hari ketika saya hendak menuju kampus hahahahah…..
Kali kedua bertemu pada hari yang sama di sore hari, kami kembali “berantem” di ruang Badan Perwakilan Mahasiswa STIE Perbanas Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua Umum BPM saya, kali ini karena dia menegur saya yang ketika itu menjabat Sekretaris 2 BPM karena tidak mengenalinya sebagai Komandan Menwa ketika kami berantem di Bis Kota :D
Lah, salah siapa juga nggak kenal secara saya mahasiswi baru, baru terpilih jadi BPM, sedangkan dia sudah jarang ke kampus karena sudah menjelang lulus :p
Pada saat yang sama pula, “berantem” itu semakin panjang ketika mengetahui bahwa kami ternyata masing-masing berada di organisasi yang “cukup sering berkonflik” karena perbedaan doktrin dasar :D

Jadi, kalau sampai dibilang suami saya “Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama” pada saya – dengan pertemuan pertama kami yang jelas penuh angkara – hal itu sudah jelas tidak mungkin kan? :p

Tulisan pendek ini saya sempatkan untuk tulis diantara sempitnya waktu saya kini karena saya ingin berbagi di Hari Anniversary Pernikahan kami yang ke 15th hari ini.
Bahwa dari kehidupan pernikahan kami selama 15 tahun ini, bisa saya pastikan, jika hanya mengandalkan wajah “Cantik” saja, jelas pernikahan sejati tidak akan pernah mampu bertahan…

Dengan tulisan ini saya ingin menghimbau para wanita yang merasa tidak memiliki “Kecantikan Secara Universal” untuk tidak merasa rendah diri dan dilanda kekhawatiran yang berlebihan.
Percayalah, wajah yang “Biasa Saja” bisa menjadi “Menarik” kog, dan hal itu bisa dilakukan bukan hanya dengan polesan make up semata.
Awalnya tentu dengan meningkatkan “Kecerdasan”, baik secara intelektual, emosional dan spiritual sehingga wanita bisa menjadi tempat bercerita yang sepadan dengan pasangannya.
Kemudian dengan menjaga “Kebersihan”, baik menjaga kebersihan fisik maupun kebersihan hati, sehingga pasangannya bisa merasa nyaman bersamanya.
Dan akhirnya dengan niat dan ikhtiar untuk selalu berusaha memperbaiki diri.




Dengan tulisan ini saya juga ingin menghimbau para pria agar tidak memilih pasangan dengan pertimbangan utama “Kecantikan” belaka.
Cukup banyak saya melihat “Pernikahan Impian” dimana sang pengantin merupakan “Pria Tampan” dan “Wanita Cantik” di tengah perjalanannya terguncang karena akhirnya sang suami jatuh cinta lagi dengan wanita yang kecantikannya jauh di bawah istrinya karena membuatnya lebih nyaman dalam komunikasi dan kebersamaan.

Wanita "Cantik" memang sangat mudah tertangkap oleh mata, dan mungkin tidak demikian halnya dengan wanita “Menarik”.
Namun, meski tidaklah semudah itu dia bisa teridentifikasi,
percayalah, wanita "Menarik" selalu bisa tertangkap oleh hati :)



Di Hari 15th Anniversary Pernikahan kami,
Yeni Suryasusanti