Jumat, 14 September 2012

Tentang Organisasi dan Piramida Perusahaan


Mengenang kembali pembelajaran saya ketika sekolah di SMA dan kuliah di Perguruan Tinggi, saya merasa sangat beruntung memiliki 2 orang terdekat yang mengajari saya banyak hal tentang organisasi : Mentor Paskibra saya dan Papa saya sendiri yang ketika itu memimpin sebuah Lembaga di Pemerintahan.
Dari beliau berdua saya mendapatkan banyak teori dan contoh-contoh praktek tentang kegagalan dan keberhasilan orang-orang yang berkecimpung dalam sebuah organinasi.

Perusahaan pada dasarnya menyerupai Organisasi.
Kata kunci keberhasilannya adalah Team Work.
Seperti gambar diatas, seorang pimpinan tertinggi di sebuah Perusahaan dan Organisasi tidak akan berhasil duduk dengan kokoh dan nyaman jika orang-orang yang berada dibawahnya tidak bisa melaksanakan tugas mereka dengan baik.
Pemilihan orang-orang yang tepat adalah kata kuncinya.

Lini bawah adalah karyawan biasa dalam perusahaan atau staff sebuah organisasi.
Untuk memilih karyawan atau staff yang akan bisa bekerja dengan baik tentu memerlukan kriteria yang tidak sedikit. Namun, yang paling dibutuhkan agar karyawan atau staff tidak menjadi "beban" bagi yang lain adalah : Keahlian di bidangnya disamping memiliki etos kerja yang baik.
Seorang staff keuangan akan dipilih karena penguasaannya akan ilmu keuangan. Seorang staff IT akan dipilih karena penguasaannya tentang teknologi yang butuhkan perusahaan. Seorang staff sales akan dipilih karena kemampuannya untuk menjual. Seorang staff general affair akan dipilih karena kemampuannya untuk multitasking dan mengurus banyak hal. Seorang staff HRD akan dipilih karena kemampuannya memahami psikologi karyawan lain. Dan seterusnya.
Kemampuan ini ditemukan pada banyak orang. Karena itu pula, penghargaan atas lini ini relatif rendah, termasuk dari sisi imbalannya.
Meskipun demikian, seorang pimpinan perusahaan tidak akan mempertahankan seorang karyawan meskipun dia memiliki keahlian yang tinggi jika dia tidak memiliki etos kerja yang baik.
Alasannya sederhana : etos kerja yang buruk itu seperti penyakit yang disebabkan oleh virus, mudah menular.
Seorang staff yang memiliki keahlian yang tinggi namun memiliki etos kerja yang buruk tidak akan bisa bersama-sama memajukan perusahaan, apalagi jika dia menularkan etos kerja yang buruk tersebut kepada staff lain.

Lini tengah adalah pemimpin divisi (manager) di perusahaan atau kepala bidang/seksi di organisasi.
Saya pribadi menyebut lini ini kursi panas.
Mengapa? Karena lini ini terjepit antara lini bawah, sesama lini tengah dan lini atas.
Dengan demikian orang yang tidak tahan panasnya persaingan, tidak tangguh dan tahan tekanan akan dengan mudah terpental, dan menyisakan kursi kosong untuk kembali ditawarkan.

Papa saya pernah berkata, "Seorang manager yang baik adalah seseorang yang memiliki kemampuan 3 Ko : Komunikasi ke bawah, Koordinasi ke samping dan Konsultasi ke atas, disamping harus memiliki  kemampuan  belajar yang tinggi."

Sepanjang masa kerja saya, saya membuktikan bahwa kata-kata Papa saya itu benar.
3 Ko mutlak dimiliki oleh seorang manager jika ingin berhasil, disamping harus memiliki  kemampuan  belajar yang tinggi.
Seseorang yang belum pernah menduduki posisi managerial mungkin akan tidak setuju, menganggap keahlian di bidangnya adalah segala-galanya.
Namun saya melihat sendiri bagaimana orang yang memiliki keahlian di bidangnya namun tidak memiliki kemampuan 3 Ko, dalam waktu yang tidak lama dicopot atau dimutasi dari jabatannya.
Dan bagaimana seseorang yang memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi meskipun tidak memiliki keahlian di bidangnya mampu bertahan dengan baik dalam kurun waktu yang cukup lama.

Idealnya, seseorang yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko merupakan manager yang terbaik. Karena dia tidak akan terlalu rentan dengan staff yang mungkin saja mengundurkan diri. Dia akan selalu bisa melakukan training kepada staff baru karena dia menguasai keahlian di bidangnya.
Namun seperti segala sesuatu yang ada di dunia, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa sangat jarang sesuatu yang mendekati kesempurnaan itu muncul.
Demikian juga manager yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko. Jarang, meskipun bukan berarti tidak ada. 
Maka dari itu ketika manager seperti itu muncul, biasanya dia akan menuntut bayaran yang cenderung tinggi.
Disinilah kemampuan keuangan perusahaan tercermin.
Perusahaan yang memiliki modal yang sangat besar, bisa menghire manager yang mahal.
Perusahaan yang memiliki modal yang terbatas, akan menghire manager sesuai dengan kemampuan keuangannya dan harus mendidiknya agar menjadi manager yang handal.

Dari apa yang saya lihat, ketika seorang manager memiliki keahlian di bidangnya namun tidak memiliki kemampuan 3 Ko, dia akan gagal.
Kegagalan pertama adalah komunikasi dengan bawahan, karena dia tidak bisa melakukan komunikasi efektif untuk menghimpun staff-nya menjadi sebuah team work yang solid, yang pada akhirnya tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan maksimal. 
Kegagalan kedua adalah koordinasi dengan sesama manager, karena seorang manager saja tidak bisa mendukung kemajuan perusahaan secara total. Perusahaan bisa maju jika memiliki  para manager yang bisa saling bekerja sama bahu-membahu demi tercapainya tujuan perusahaan.
Kegagalan ketiga adalah konsultasi dengan atasan, karena dia tidak bisa memahami petunjuk atasan dan mengaplikasikannya dalam kerja nyata staff-nya.

Dari apa yang saya saksikan juga, ketika seorang manager tidak memiliki keahlian di bidangnya namun memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi akan bisa cukup berhasil.
Keberhasilan pertama adalah komunikasi dengan bawahan, membuat dia bisa membentuk team work yang solid dan bersedia mengerjakan tugas-tugas perusahaan dengan sepenuh hati, yang pada akhirnya akan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan maksimal.
Keberhasilan kedua adalah koordinasi dengan sesama manager, sehingga bersama-sama dengan para manager lain bekerja sama bahu-membahu mendukung perusahaan agar mencapai tujuannya.
Keberhasilan ketiga adalah konsultasi dengan atasan, karena dia bisa memahami petunjuk dan ilmu dari atasannya yang memiliki wawasan lebih luas untuk diterapkan dalam kerja nyata para staff-nya.

Saya melihat keberhasilan ini pada diri mantan Deputi GM saya, Endah Ratnawati.
Ketika posisi GM kosong, beliau yang sebelumnya menjabat sebagai Manager Accounting diangkat menjadi Deputi GM Finance Accounting.
Beliau adalah orang yang memiliki 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi.
Untuk memimpin Divisi Accounting dimana beliau memang memiliki ilmunya dan memiliki 3 Ko, tentu tidak sulit karena beliau juga menguasai bidang accounting. Pergantian staff accounting tidak akan terlalu menjadi masalah baginya.
Namun, ketika beliau pertama kali menjabat sebagai Deputi GM Finance Accounting, beliau belum menguasai masalah-masalah finance secara mendalam. Tentunya beliau akan menjadi rentan dengan pergantian staff di Finance.
Dengan kemampuan komunikasi ke bawahan dan dan kemampuan belajar yang tinggi beliau akhirnya berhasil memimpin kami. Beliau menghimpun saya dan staff finance lainnya menjadi sebuah team work yang solid, dan belajar dengan cepat dari kasus-kasus yang selalu kami laporkan kepadanya sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama beliau juga menjadi ahli di bidang Finance.

Dari apa yang saya lihat pula, seorang puncak pimpinan perusahaan menetapkan kriteria lain yang tak kalah pentingnya pada orang-orang yang akan mengisi jabatan managerial : Loyalitas.
Beliau akan memilih orang yang loyal, yang menjamin kelangsungan sistem kerja perusahaan terpelihara untuk jangka waktu yang cukup lama agar tujuan perusahaan bisa tercapai.
Karena turn over di posisi managerial cenderung berbanding lurus dengan kestabilan sebuah perusahaan.
Jadi, seseorang yang meskipun memiliki keahlian di bidangnya, memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi, namun tidak memiliki loyalitas tentu tidak akan pernah terpilih. 
Kenapa? Jawabannya sangat sederhana, untuk apa memilih orang yang akan segera memutuskan untuk memindahkan kesetiaan kepada perusahaan lain ketika nilai uang yang mungkin tidak seberapa tinggi selisihnya dilambaikan di depan matanya.
Karena mencari pengganti seorang manager akan memakan waktu dan biaya yang tidak kecil, dan hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian perusahaan.

Tulisan ini saya persembahkan terutama kepada teman-teman yang saat ini masih berada di lini bawah :)

Alhamdulillah jika saat ini teman-teman telah memiliki seorang manager yang ideal, yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko.
Namun ketika manager ideal tersebut tidak ada, dan yang terpilih adalah seorang manager yang memiliki 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi tanpa keahlian terlalu mendalam di bidangnya, yang bisa teman-teman lakukan adalah mendukungnya.
Karena tanpa dukungan team work yang solid, seorang manager yang tidak ideal ini tidak akan mampu bertahan.
Kosongnya posisi puncak pada sebuah divisi yang bertugas mengkoordinir pekerjaan akan membuat perusahaan berjalan dengan timpang.
Hasil akhirnya perusahaan gagal mencapai kemajuan, dan untuk tetap bertahan harus memangkas berbagai biaya, salah satunya : biaya tenaga kerja.
Dengan kata lain : PHK.
Kesimpulannya, dukungan staff yang berada di lini bawah kepada managernya pada akhirnya akan menyelamatkan kelangsungan pekerjaan staff itu sendiri.

Kepada teman-teman manager yang merupakan seorang manager yang ideal, yang memiliki keahlian di bidangnya sekaligus memiliki kemampuan 3 Ko dan loyalitas, saya ucapkan "Selamat". Anda adalah anugrah bagi lini bawah, lini tengah dan lini atas. Dengan kata lain, anda adalah aset berharga bagi perusahaan.

Dan kepada teman-teman manager yang memiliki kemampuan 3 Ko dan kemampuan belajar yang tinggi meskipun tidak memiliki keahlian di bidangnya, saya ucapkan "Semangaaattttt!!!"
Semoga tulisan ini akan bisa menggugah kesadaran staff anda untuk mendukung anda agar menjadi manager yang berhasil :)

Akhirnya, kepada teman-teman manager yang pernah mengalami kegagalan, saya ucapkan, "Jangan putus asa!!!"
Semoga tulisan ini bisa menjadi salah satu referensi untuk melakukan introspeksi diri dan memperkaya ilmu sehingga kelak bisa berhasil di lain waktu :)

Jakarta, 14 September 2012
Yeni Suryasusanti
Bukan seorang ahli manajemen apalagi pimpinan perusahaan, melainkan hanya baut kecil dalam sebuah mesin bernama perusahaan yang senang mengamati dan belajar dari hasil pengamatan :D

Selasa, 04 September 2012

Tentang Cinta : Ketika Bibir Terluka :)


Fian yang luar biasa aktif memang cukup sering menjadi pemicu terjadinya berbagai kecelakaan kecil di rumah kami :D

Kali ini terjadi ketika saya hendak membantunya mengenakan celana panjangnya jelang pergi ke undangan pernikahan keluarga.
Seperti biasa, Fian dengan bersemangat sesekali meloncat-loncat.
Tapi kali ini, saya terlambat melakukan antisipasi dengan memberi peringatan sebelum membungkuk.

Dug!!!
Puncak kepala Fian 
yang sedang naik karena meloncat bertabrakan dengan bibir saya.
Refleks saya menjerit sambil mengucap istighfar.
Pandangan saya langsung terasa berkunang-kunang dan rasa asin langsung memenuhi mulut saya.
Saya terduduk dan meraba bibir saya. Di jari saya langsung terlihat ada darah. Ternyata bibir saya robek cukup lebar, kira-kira sepanjang 1 cm akibat benturan dengan gigi ketika 
bertabrakan  dengan puncak kepala Fian.
Saya memejamkan mata sejenak, mencoba mengatasi denyut di kepala saya dan menutup bibir saya yang terluka dengan tangan.

Fian langsung bereaksi, panik sambil mencoba membuka dekapan jari di bibir saya.
"Bunda nggak apa-apa? Berdarah ya bunda? Tapi bunda nggak apa-apa kan?"
Terlihat dia seolah tidak merasakan sakitnya puncak kepala yang 
bertabrakan  dengan bibir dan gigi saya.
Padahal saya yakin dalam keadaan normal dia pasti akan merasa sangat sakit, bahkan hampir bisa dipastikan akan menangis.

Ifan, yang sedang bermain game di facebook - yang biasanya seolah terpisah dari dunia nyata karena seriusnya hehehe - ternyata juga langsung bereaksi mendengar jeritan saya.
Dia berlari ke kamar, sambil ikut berteriak, "Kenapa, Bunda?"
Melihat bibir saya yang berdarah dan membaca raut 
muka bersalah di wajah adiknya, Ifan sampai mengeluarkan suara menggeram sambil berteriak membentak adiknya.
"FIANNN!!!"

Melihat ketakukan Fian dan kemarahan Ifan, langsung saya memberikan serangkaian instruksi dengan harapan 
bisa mengalihkan kemarahan Ifan serta ketakutan dan kepanikan Fian.
"Ifan, Fiannya nggak sengaja. Ifan bisa tolong ambilkan es batu untuk Bunda? Fian, tolong ambilkan tissue untuk Bunda!"
Tanpa membantah, keduanya segera memenuhi permintaan saya.
Fian tiba lebih dulu dgn selembar tissue. Ketika saya tekan ke bibir, tissue segera ternoda  oleh darah.
Ifan tiba dengan 1 cube es batu. Saya pun bangkit dan berjalan dengan sedikit limbung ke depan washtafel dan kaca, kemudian segera menempelkan es batu tersebut diatas luka. Habis 1 cube es batu, darah masih menetes. Setelah memberikan es cube kedua dan yakin saya sudah lebih baik, Ifan kembali duduk di depan komputer dan melanjutkan permainannya.
Akhirnya habis 2 cube es batu barulah darah di bibir saya berhenti mengalir.

Yang ingin saya bagi kali ini bukanlah penderitaan saya karena bibir yang terluka, melainkan pengamatan saya atas reaksi Ifan dan Fian ketika terjadi kecelakaan ini.

Fian - yang saat ini masih berusia 4 th - ternyata sudah mengenal kekuatan dari rasa empati, meskipun hal ini dilakukan tanpa dia sadari.
Fian berhasil mengabaikan bahkan nyaris tidak merasakan sakit di puncak kepalanya ketika mendengar saya menjerit dan melihat bibir saya berdarah. Dia hanya terlihat sedikit mengusap sebentar puncak kepalanya yang terbentur bibir dan gigi saya, itu pun dilakukannya ketika keadaan saya sudah terlihat lebih baik. Dia tidak 
menangis, apalagi mengeluh.
Setelah darah di bibir saya berhenti saya bertanya kepada Fian apakah puncak kepalanya terasa sakit, Fian hanya menjawab, "Sakit sedikit, tapi nggak apa-apa kog Bun..."

Sedangkan Ifan - yang saat ini jelang usia 12 th - yang biasanya ketika bermain game seolah-olah tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya ternyata bisa keluar dari "dunia game"-nya seketika saat mendengar jeritan kesakitan saya. Dia baru kembali ke "dunia"-nya juga setelah melihat kondisi saya lebih baik.

Di masa kini, sering saya mendengar keluhan para orangtua dan membaca ulasan di berbagai media mengenai tingkat kepedulian anak-anak terhadap lingkungan yang sungguh jauh menurun dibandingkan dengan anak-anak pada masa kecil kita.

Ada anak yang tidak memberikan reaksi ketika melihat orang lain berada dalam kesulitan, ada anak yang tidak memiliki sikap respek kepada orang yang lebih tua.
Ada juga yang membalas "cinta" orangtua yang diwujudkan dalam tuntutan akademis mereka dengan ketidakpedulian, ada juga yang hanya terpaku dengan penderitaannya sendiri dan terisolasi dalam selubung ego mereka dari dunia nyata.

Namun, dari kejadian bibir yang terluka, saya rasa kita bisa menarik kesimpulan yang sama, bahwa ternyata ada kekuatan yang bisa mengatasi itu semua : cinta yang tulus dari dasar hati mereka.

Karena cinta kepada saya, Ifan bereaksi cepat ketika mendengar jeritan saya yang terluka.
Karena cinta kepada saya, Fian berhasil mengabaikan rasa sakit di puncak kepalanya dan malah bergegas menghampiri saya untuk memastikan bahwa saya tidak apa-apa.

Pertanyaan selanjutnya adalah, "Bagaimana kita bisa menumbuhkan cinta di hati mereka?"
Dan jawabannya ternyata sangat sederhana meskipun juga tidak mudah penerapannya : dengan memberikan cinta.
Namun, cinta yang seperti apa?

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk selalu belajar melalui kursus yang merajalela agar "selalu menjadi juara" meski sebagai akibatnya mereka kehilangan masa kanak-kanak mereka yang selayaknya diisi dengan belajar sambil bermain dan bercanda?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ego kita karena ingin menjadi orangtua yang bangga.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk memperhatikan perasaan orangtua namun kita tidak memberikan contoh dengan memperhatikan kakek nenek mereka karena sibuk mengejar harta?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ego kita sebagai pribadi yang lebih mementingkan dunia.

Apakah cinta namanya ketika kita memberikan mereka harta tanpa mengajari mereka bagaimana menghargai perolehannya dan kemampuan untuk mengelolanya?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin perwujudan rasa bersalah kita karena kita seringkali tidak ada disaat mereka mungkin sangat membutuhkan kehadiran kita.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka untuk menjadi pribadi yang halus budi bahasanya, namun ketika kita mengajari mereka justru keluar nada keras dan kata-kata tajam yang menusuk jiwa?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin perasaan berkuasa karena kita merasa memiliki mereka seutuhnya.

Apakah cinta namanya ketika kita menuntut mereka shalat lima waktu dan mengaji setiap hari demi menjadi anak yang shaleh yang bisa mendoakan orangtua agar masuk surga, namun kita sendiri hanya rajin shalat dan mengaji ketika bulan Ramadhan tiba?
Mungkin itu bukan cinta, itu mungkin ketidakyakinan kita akan cukupnya amal ibadah kita dan rasa takut kita akan api neraka.

Mungkin sudah saatnya kita belajar memberikan cinta tanpa syarat kepada mereka, tanpa tuntutan untuk membalas jasa.
Karena sesungguhnya cinta sejati akan terasa sampai ke hati.

Mungkin sudah saatnya kita menciptakan lingkungan kita menjadi lingkungan yang penuh cinta, dengan mengajarkan mereka berlomba-lomba dalam memberikan kebaikan dan manfaat bagi sesama, dan bukan menjadikan lingkungan kita menjadi lingkungan yang penuh persaingan yang menghalalkan segala cara.

Mungkin sudah saatnya kita secara bersama-sama memulai perubahan di dunia dengan cara yang sangat sederhana : mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, demi diri kita, masa depan anak-anak kita dan akhirnya masa depan Indonesia dan dunia.

Jakarta, 4 September 2012
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 01 September 2012

Tentang Pelajar dan Pengajar


Hampir 20 tahun yang lalu, saya pernah "gagal" melewati sebuah mata kuliah. Saya mendapat nilai D. Meskipun bukan mata kuliah ujian negara sehingga sebenarnya bisa saja jika saya tidak ingin mengulang, saya memutuskan untuk mengulang dan akhirnya berhasil memperbaiki nilai tersebut. Lebih karena penasaran sebenarnya. 

Mengapa?
Alasan pertama, karena sebenarnya saya merasa cukup menyukai ilmu yang diajarkan, tetapi tidak bisa menyelesaikan soal yang diberikan oleh dosen kami dengan cukup baik saat latihan maupun ujian.
Alasan berikutnya, karena kata-kata Papa saya ketika saya menyampaikan kegagalan tersebut.
Ketika itu Papa bertanya, "Kenapa kamu gagal?"
Saya menjawab dengan jujur, "Karena nggak bisa menerapkan ilmu yang diajarkan dalam soal."
Papa menyelidik lebih lanjut, "Berapa persen mahasiswa yang gagal dan mendapat nilai D untuk mata kuliah ini?"
Saya menjawab sesuai kenyataan yang terjadi, "Hampir 80%."
Papa kemudian berkata dengan tegas, "Jika hanya beberapa murid yang mendapat nilai buruk dalam suatu pelajaran, maka murid tersebut yang bodoh. Tapi jika kebanyakan murid mendapat nilai buruk, maka gurunya yang bodoh."
Ketika itu saya tertawa dan berkata, "Kalau bodoh dia nggak bakal jadi guru dong Pa."

Bertahun-tahun kemudian saya akhirnya memahami hal yang tersirat dari ucapan Papa mengenai "murid yang bodoh" atau "guru yang bodoh".
Tentu saja dengan pengertian yang berbeda dan wawasan yang sudah lebih luas, saya pun akhirnya menyadari bahwa tidak ada "murid yang bodoh" pun demikian tidak ada "guru yang bodoh".
Saat itu saya sudah bekerja. Saya memiliki atasan yang luar biasa pintar, lulusan perguruan tinggi luar negeri, lebih sering menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan dan menggunakan berbagai istilah yang sangat teknis dan canggih ketika melakukan training kepada saya.
Dan hasilnya? Saya tidak memahami apa yang harus saya sajikan dalam sebuah laporan  dan menyajikan seluruh data yang saya miliki.
Namun saya tidak menyerah.
Ketika itu saya memiliki seorang senior yang hanya lulusan perguruan tinggi dalam negeri, menggunakan Bahasa Indonesia dalam kesehariannya. Namun dibawah bimbingannya saya berhasil memahami apa yang harus saya sajikan dalam sebuah laporan.
Mengapa?
Tak lain karena senior tersebut mengajari saya dengan metode dan bahasa yang sederhana dan bisa saya pahami.
Dibawah bimbingannya saya belajar, bahwa untuk menyajikan laporan yang tepat guna, saya harus mengetahui dengan jelas kebutuhan pengguna laporan tersebut.
Intinya, saya harus membuat laporan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, bukan hanya menuliskan seluruh data sesuai dengan keinginan saya.

Beberapa hari yang lalu, saya dan seorang rekan membutuhkan beberapa data atas permintaan pimpinan kami.
Mengetahui untuk apa data tersebut dibutuhkan oleh beliau, saya sedikit ikut membantu mengarahkan rekan yang bertugas membuatnya menjadi sebuah laporan. Kebetulan sang pembuat laporan bukan berasal dari divisi yang saya bimbing. Ketika itu, dia terlihat mengerti data apa  saja yang ingin kami munculkan.
Namun keesokan harinya, laporan yang telah jadi dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan kami. Terlalu banyak detail yang tidak perlu muncul, dan belum bisa langsung digunakan dalam sebuah analisa karena masih perlu kalkulasi data lebih lanjut. Menyebut dengan istilah saya, laporan tersebut masih setengah matang (jika tidak ingin disebut sebagai laporan yang masih mentah).
Saya pun kembali mengarahkan, lengkap dengan coret-coretan kolom dan data apa saja yang kami butuhkan. Kami pun meminta dia memperbaiki laporannya.

Atasan sang pembuat laporan - yang juga rekan kerja saya - di ruangan yang terpisah ketika itu memberikan alasan kegagalan hasil laporan tersebut kepada saya.
Dia berkata bahwa sang pembuat laporan gagal mengerti apa-apa saja yang diajarkan olehnya. Dengan kata lain : tidak mampu. Namun, karena pernah bertugas memenuhi laporan lain untuk saya sehingga saya merasa cukup bisa menilai kemampuannya, saya dengan tegas menolak kesimpulan rekan saya tersebut.
Ketika itu dengan spontan saya berkata, "Tidak ada murid yang bodoh. Yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajari. Jika kamu ingin memiliki seorang asisten yang kompeten, hanya ada dua pilihan : memilih orang yang bisa memahami cara kamu mengajar, atau jika tidak bisa maka kamu harus menemukan metode yang tepat untuk mengajarinya."

Tiba-tiba saya teringat pengalaman kegagalan saya di masa kuliah dulu, ketika pernah suatu waktu saya mendapat nilai jelek karena tidak bisa memahami pengajaran dosen saya.
"Dosennya nggak bisa ngajar..." demikian ucapan hampir seluruh mahasiswa di kelas saya, namun dianggap sebagai dalih mahasiswa atas nilai jelek yang diterimanya.
Dan saya pun teringat kesimpulan yang pernah saya ambil bertahun-tahun sebelumnya, bahwa sebenarnya, bukan secara harfiah sang dosen / trainer tidak bisa mengajar, namun sang dosen / trainer tidak menggunakan metode yang tepat dan bisa dipahami oleh mahasiswa / trainee-nya. Hasilnya adalah kegagalan transfer ilmu.

Hari berikutnya, sang pembuat laporan memberikan hasil kerjanya.
Ternyata, ada satu kolom yang telah saya tekankan untuk dimunculkan malah diganti dengan kolom lain.
Dengan kesabaran yang mulai menipis karena laporan tersebut akan saya bawa sebagai bahan analisa internal yang akan saya bahas secara ringkas bersama pimpinan kami sebelum meeting dengan client di luar kantor yang akan berlangsung sebentar lagi, saya bertanya mengapa kolom tersebut tidak dimunculkan. Dan dengan raut wajah yang serba salah dia berkata bahwa menurut atasannya kolom inilah yang perlu ditampilkan.
Dengan nada suara yang cukup tinggi karena nyaris kehilangan kesabaran saya berkata, "Kalau membuat laporan itu, sajikan data sesuai kebutuhan user, bukan sesuai keinginan pembuat laporan...!"
Akhirnya, setelah melakukan perbaikan kilat, meskipun belum terlalu sesuai dengan kebutuhan saya namun cukup mendekati dan secara kasar bisa digunakan sebagai bahan analisa, laporan tersebut tetap saya bawa agar bisa dibahas di perjalanan.

Sepulang saya dari meeting, dalam suasana yang tidak terburu-buru akhirnya saya, rekan kerja saya, dan sang pembuat laporan duduk bersama membahas hal ini. Kami melakukan rekonsiliasi.
Saya menyampaikan dengan jelas apa yang saya butuhkan, yaitu data global untuk menganalisa keuntungan project. Sedangkan  laporan yang dibuat oleh mereka merupakan data detail yang masih perlu dikalkulasikan.
Jalan tengahnya?
Buat laporan data global disertai beberapa catatan untuk saya, sedangkan data detailnya bisa mereka simpan untuk disajikan jika nanti dibutuhkan.
Akhirnya kami mencapai kesepakatan dan saling pengertian untuk masalah ini.

Saat membuat tulisan ini, saya merenung, saya belajar.
Saya belajar, bahwa kesabaran memang sangat diperlukan hampir dalam setiap sisi kehidupan.
Saya belajar, bahwa untuk menjadi seorang guru yang baik dan menghasilkan murid yang kompeten, saya membutuhkan kesabaran, metode yang tepat dan waktu yang cukup.
Saya belajar, bahwa untuk menyelesaikan masalah bersama kita sebaiknya "duduk" bersama dan melakukan komunikasi efektif dengan cara yang baik dan pikiran yang terbuka.
Saya belajar, bahwa ketika saya kehilangan kesabaran, bisa jadi ada orang yang merasa sakit hati atau minimal tersinggung dengan sikap dan kata-kata saya, sehingga saya harus meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada mereka.
Dan terutama saya belajar, bahwa saya masih harus banyak belajar untuk mengendalikan sikap dan kata-kata saya ketika saya kehilangan kesabaran.

Betapa tepatnya deskripsi yang saya gunakan dalam "About Me" untuk menggambarkan diri saya baik di Blog maupun di Facebook : "I am a lifetime learner".
Karena pada kenyataannya, berapa pun usia saya, apa pun jabatan / posisi saya, dimana pun saya berada, saya tetap akan selalu menjadi seorang pelajar seumur hidup saya.
Seorang pelajar yang belajar dari kehidupan.

Jakarta, 1 September 2012
Yeni Suryasusanti