Jumat, 25 Mei 2012

Ilmu Warisan Ibu : Membuat Daftar Menu Masakan Sebulan :)


Sejak saya mulai bisa mengingat, di dapur rumah keluarga kami sudah selalu ada tertempel di dinding Daftar Menu 1 Bulan.
Menu ini mempermudah Ibu saya yang karena kariernya harus berangkat pagi-pagi untuk mengajar, sementara asisten rumah tangga yang belanja ke pasar dan membantu memasak.
Dengan adanya Daftar Menu ini, rutinitas pagi "Hari ini masak apa, Bu?" yang dijawab dengan berpikir dulu dapat Ibu hindari.
Namun tentu saja, menu ini bukanlah harga mati. Ketika sesekali kami ingin masakan yang sedikit berbeda dari menu yang ada, kami akan bilang pada Ibu, "Bu, masak sarden kecap dongggg..." :D
Ah, seorang anak memang selalu akan merindukan masakan Ibunya - tentunya untuk seorang Ibu yang bersedia "belajar" memasak :D

Beberapa hari yang lalu, kebetulan saya membaca email salah seorang member NCC dan tergelitik dengan cerita dan permintaan bantuannya.
Apakah cerita dan bantuan yang diminta? Tidak lain tidak bukan cerita tentang bingungnya sang member karena baru saja "pisah rumah" dengan orangtuanya dan bingung setiap pagi masak apa untuk keluarga kecilnya. Menu menjadi kurang variatif, cenderung itu-itu saja.
Karena selama tinggal bersama Ibunya tidak pernah perlu memikirkan hari ini masak apa, besok masak apa hanya tinggal makan saja :D
Jadi selain bingung soal menu, kemampuan memasak pun masih terbatas.

Ada member lain langsung membalas, menyarankan member yang bertanya untuk membeli buku resep yang memuat menu satu bulan.
Namun, bukan bermaksud merendahkan, berdasarkan pengalaman membeli beberapa buku yang berisi menu satu bulan, beberapa resep masakannya ada yang bukan masakan sederhana pembuatannya yang umum kita buat sehari-hari. Cenderung masakan yang agak asing di lidah saya kalaupun bukan rumit pembuatannya.

Sebagai salah seorang moderator NCC yang paling jarang berkecimpung di dunia kuliner (hehehe...) karena lebih fokus mengurus keuangan, saya terpanggil untuk menjawab email tersebut hanya karena akibat tulisan saya yang rapi (ehm...) saya selalu bertugas menuliskan menu 1 bulan yang telah dirancang oleh Ibu saya sejak saya masih duduk di bangku SMP :D
Akhirnya karena selalu memperhatikan, maka saya mengerti bagaimana cara yang mudah untuk membuat menu tersebut tanpa harus merasa perlu membeli buku resep menu sebulan :)

Mumpung menjelang weekend, siapa tahu berguna bagi teman-teman di luar milis NCC yang masih bingung, saya putuskan untuk saya share lengkapnya...

Berikut Cara Membuat Daftar Menu Masakan Sebulan :
  1. Putuskan menu terdiri dari 2 atau 3 macam setiap kali dihidangkan.
  2. Buat daftar sayur yang biasa kita buat/makan, minimal 10 macam (jika kurang perbendaharaan sayur, bisa lihat di berbagai buku resep, search di google, atau beli buku resep masakan NCC / lihat resep di Web NCC)
  3. Buat daftar lauk  yang biasa kita buat/makan, minimal 10 macam juga ( jika kurang perbendaharaan lauk, bisa lihat di berbagai buku resep, search di google, atau beli buku resep masakan NCC / lihat resep di Web NCC )
  4. Buat daftar lauk tambahan (jika menu terdiri dari dari 3 macam setiap kali dihidangkan)
  5. Silangkan sayur dengan lauk yang sesuai (misal : sayur berkuah jangan ketemu lauk berkuah, sayur yang pedas jangan ketemu lauk yang pedas, sayur bersantan jangan ketemu lauk bersantan).
  6. Jika ada menu yang harus diulang karena kurangnya perbendaharaan resep, temukan dengan pasangan yang berbeda saat pengulangannya (misal : hari ke 1 sayur bayam + ikan goreng + sambal, hari ke 20 sayur  bayam + ayam balado)

Saya beri contoh sederhana ya.....



Daftar sayur :

Sayur bayam bening, tumis caisim, cap cay, cah kangkung, sayur asam, terong balado.... dst.

Daftar lauk : 
Ikan goreng + sambal, ayam goreng, pu yung hai, sarden kecap, teri kentang balado, empal goreng..... dst.

Maka contoh pasangannya adalah :

Hari 1 : Sayur bayam bening + teri kentang balado
Hari 2 : Tumis caisim + ayam goreng
Hari 3 : Cap cay + Pu yung hai
Hari 4 : Cah kangkung + empal goreng
Hari 5 : Sayur asam + Ikan goreng
Hari 6 : Terong balado + sarden kecap

Oke, selamat mencoba, semoga bermanfaat! Ternyata membuat menu itu mudah kan? :)

Jakarta, 25 May 2012
Yeni Suryasusanti

Jumat, 18 Mei 2012

Berharaplah Hanya Kepada Allah...



"Bib bib..." suara sms masuk di HP saya pagi itu.
Mengerutkan kening, saya membaca nama pengirimnya, ternyata dari seorang teman yang jarang kontak. Wah, ada apa ya?

"...... sayang, maaf ya belum bisa ketemu sekarang. Nanti sore aja ya kita ketemu di XXI .... jam ...."

Saya tertegun. Teman saya, laki-laki yang sudah menikah, yang saya kenal istrinya, yang  terlihat memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarga, ternyata salah mengirimkan sms janji temu ke nomor saya. Nama yang tercantum di sms bukan nama istrinya, dan imbuhan "sayang" yang dituliskan membuat saya mengerenyitkan kening dan menghela nafas bimbang.
Tidak mungkin saya ikut campur dalam kehidupan pernikahan mereka. Namun, memang sebuah dilema ketika kita menjadi saksi sebuah hubungan yang berpotensi menggambarkan perselingkuhan.

Setelah berpikir sejenak, saya memutuskan membalas sms nyasar tersebut.
"...., loe salah kirim sms ke hp gue."

Tak lama, ada sms masuk lagi, "Masa? Sms yang mana?"
Saya balas, "Cek sent items deh. Sms yang janji ketemu sore ini di XXI .... dengan .... sayang."
Balasan segera masuk, "Wah... Sorry ya, Yen... Ketahuan deh, yang penting bukan gue yang memulai... hehehehe...."
Saya mengakhiri sms tersebut dengan kalimat, "Semoga nggak mengakibatkan kehancuran rumah tangga ya..."

Setelahnya, saya berpikir.
Setia, siapa lagikah yang punya?
Rasa percaya yang membabi-buta, apakah selalu pengkhianatan yang mengakhirinya?
Entah sebagai pemrakarsa ataukah hanya mengikuti arus permainan saja, adakah itu berbeda?

Pernikahan. Hubungan lahir batin yang telah dihalalkan Allah dengan ijab kabul. Yang oleh banyak orang bijak dikatakan harus dilandasi dengan rasa saling percaya dan saling menjaga.
Namun, ketika setan yang bercokol di hati manusia ikut bicara, berapa banyak hati yang akan hancur terluka?

Banyak teman pernah bertanya, "Mbak, kelihatannya mbak mempercayai suami mbak sepenuhnya ya?"
Saya menjawab sedikit heran, "Lho, emang kelihatan seperti itu kah?"
"Iya.... Kan mbak membiarkan suami membawa kunci rumah, mengizinkan suami tetap ikut berbagai kegiatannya sering sampai malam, bahkan pergi ke luar kota untuk kegiatannya..." jelas teman saya.
Saya pun tertawa, "Ya, membawa kunci rumah itu kesepakatan kami agar suami tidak perlu mengganggu tidur saya dan anak-anak jika pulang malam, karena suami mengerti saya harus bangun pagi untuk menyiapkan Ifan sekolah dan bersiap untuk bekerja. Saya sendiri juga cukup ada kegiatan diluar kehidupan rumah tangga meskipun sangat jarang harus menginap dan pulang lewat waktu. NCC dan kumpul-kumpul dengan teman Paskibra 78 diantaranya. Selama keluarga masih jadi prioritas utama rasanya kegiatan lain nggak ada salahnya..."

"Jadi, apakah mbak mempercayai suami sepenuhnya?" tanya teman saya lagi.
Saya menjawab, "Tentu saja tidak, saya tidak se-naif itu, tapi saya juga tidak mencurigainya."
"Emang bisa begitu, mbak?" tanya teman saya ragu.

Saya pun tercenung sambil mengingat-ingat. 
Ya, bisa, tapi memang saya perlu waktu cukup lama hingga bisa sampai di titik ini hanya untuk menemukan sesuatu yang ternyata begitu sederhana meskipun pengaplikasiannya tidak terlalu sederhana. Perlu manajemen hati, logika dan emosi yang luar biasa.

Praduga Tak Bersalah, sesederhana itu saja. Dia setia hingga terbukti sebaliknya.

"Apakah itu bukannya sama saja dengan tidak peduli dan menutup mata?" demikian beberapa orang menyampaikan pendapatnya.

Tentu berbeda. Kita tetap mengaktifkan sensor rasa. Kita tetap mengamati dan menganalisa setiap perubahan sikap yang terjadi di depan mata. Ketika ada perubahan yang mengaktifkan alarm di kepala dan hati, kita seharusnya memberikan peringatan dengan cinta pada belahan jiwa agar tidak tergelincir ke jurang dosa. Inilah yang disebut saling menjaga.

Berharap pada pasangan hidup agar tetap setia? Maka bersiap-siaplah untuk kecewa.
Pada akhirnya, ketika saya memahami arti himbauan : "Berharaplah hanya kepada Allah...", saya memohon kepada Allah untuk menjaga hati kami berdua.

"Masa hanya dengan itu maka pernikahan pasti selamat dari orang ketiga?" tanya seorang teman dengan nada sedikit mencemooh dan tidak percaya.

Mungkin tidak. Namun jika ternyata Allah memberikan ujian sebaliknya, maka hati kita tidak akan hancur lebur karenanya. Terluka, pasti iya. Namun Insya Allah akan pulih kembali - setelah melakukan introspeksi diri dan menentukan bersama langkah selanjutnya yang harus kita lakukan berdua - jika kita berpegang pada kalimat Allah mengetahui apa-apa yang terbaik bagi umatnya. Karena kita berharap kepada Allah, bukan berharap pada belahan jiwa...

Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir, wa la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim...
(Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung, Dialah sebaik-baik wali dan sebaik-baik penolong, dan tidak ada daya upaya kecuali dari Allah yang Maha Tinggi dan Agung)

Jakarta, 18 Mei 2012
Ketika menjadi saksi bisu...
Yeni Suryasusanti

Minggu, 13 Mei 2012

Rumah dan Rayap : Satu Pelajaran Lagi Dari Kehidupan




Sudah sejak beberapa waktu yang lalu, saya terkadang menemukan di lantai kamar Ifan ada serbuk seperti pasir, padahal setiap hari kamar tersebut di sapu dan di pel.
Meskipun fondasi dan kayu-kayu di rumah kami sudah disuntikkan anti rayap pada saat renovasi, tapi mengingat renovasi tersebut terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu, maka saya meminta suami dari asisten rumah tangga yang kebetulan seorang tukang yang cukup handal untuk memeriksa kayu di langit-langit kamar Ifan.
Ternyata dugaan saya benar, mulai ada rayap di sana. Namun, karena cukup awal terdeteksi, si tukang berkata bahwa belum perlu diganti kayunya sebab masih kokoh. Cukup dibersihkan dan dioleskan cairan anti rayap saja. Saya pun setuju si tukang mulai bekerja hari itu juga.

Lebih berdasarkan intuisi, pada hari berikutnya saya meminta sang tukang untuk mengecek seluruh lantai atas.
Rumah kami memang terdiri dari 2 lantai. Lantai bawah sebagai rumah utama, sedangkan lantai atas hanya terdapat kamar tamu dengan teras dan kamar mandi yang ditempati oleh sepupu saya yang masih kuliah sambil bekerja, serta 2 kamar pembantu yang kini kosong dan hanya digunakan untuk istirahat sejenak oleh asisten rumah tangga yang pulang hari karena saya belum juga mendapatkan pembantu menginap lagi. Selain itu ada gudang di bawah atap dan ruang setrika serta tempat menjemur pakaian.

Intuisi ini mungkin timbul dari kesadaran bahwa saya jarang melangkahkan kaki ke lantai atas sehingga serbuk kayu berpasir akibat rayap yang mulai ada pasti tidak pernah saya temukan seperti di lantai bawah, dimana saya setiap hari bolak-balik melangkahkan kaki saya :)

Ternyata intuisi saya benar. Pusat rayap ada di kamar mandi tamu dan di kamar sepupu saya.
Keadaannya sudah begitu parah sehingga menurut tukang akan sangat berbahaya jika tidak segera di ganti kayu-kayunya karena sudah hampir habis dimakan rayap. Bahaya atap rubuh di atas kepala sepupu saya membuat saya bergidik.
Saya segera meminta tukang membuat kalkulasi biaya dan waktu pengerjaan pergantian kayu ini.
Berdasarkan kalkulasi, dengan waktu pengerjaan oleh 2 orang tukang, waktu yang akan dihabiskan adalah selama sekitar 1 minggu dengan total biaya sekitar Rp 3.000.000,-.

Sebagai orang keuangan yang terbiasa membuat perbandingan dan perhitungan hampir dalam segala hal, sungguh hal ini cukup mengesalkan bagi saya.
Jika saja rayap di kamar sepupu saya diketahui lebih awal seperti yang terjadi di kamar Ifan, tentu biaya sebesar ini tidak terjadi.
Kami hanya cukup mengeluarkan biaya ongkos 1 orang tukang selama 1 hari dan biaya pembelian anti rayap yang harganya tidak sampai Rp 50.000,-.

Tidak ada gunanya memarahi sepupu saya karena tidak hadirnya rasa memiliki dalam dirinya atas rumah yang kami tempati bersama. Di masa yang akan datang saya hanya meminta bantuannya untuk melaporkan jika ada yang perlu diperbaiki dari ruangan yang dia tempati sebelum kerusakan besar terjadi.

Namun, selalu ada yang bisa saya pelajari dari kehidupan, bahkan dari kerugian financial yang saya alami akibat kurangnya perhatian saya akan perawatan di lantai atas rumah kami.


Rumah bisa saya analogikan sebagai tubuh dan kepribadian. Rayap bisa saya analogikan sebagai penyakit tubuh dan penyakit hati.


Ketika rayap secara perlahan dan awalnya hampir tanpa bisa terdeteksi mulai merusak rumah ditemukan pada kondisi awal, perbaikan besar-besaran yang tentunya menghabiskan biaya yang juga tinggi tidak akan terjadi.
Namun ketika kerusakan yang ditimbulkan oleh rayap pada sebuah rumah baru disadari pada kondisi lanjut, maka akan memerlukan perbaikan yang besar, menghabiskan waktu yang relatif lama dan biaya yang pasti tinggi. Dan ketika kita tidak memiliki sumber daya dan sumber dana untuk memperbaikinya - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya semua akan tinggal sejarah. Rumah secara perlahan tapi pasti akan hancur.


Jika kita terbiasa membaca tanda-tanda pada kondisi tubuh, ketika kelelahan menyerang atau penyakit menyerang tubuh kita diketahui pada stadium awal, maka kita cukup beristirahat, atau kita bisa mengobatinya dengan lebih mudah dan hanya akan memakan biaya yang relatif kecil.
Namun ketika kita mengabaikan sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh tubuh kita dan baru memperhatikan saat kondisi tubuh kita sudah parah akibat serangan penyakit, pengobatan intensif tentu harus dilakukan dan sudah pasti menghabiskan biaya besar.
Dan ketika kita tidak memiliki sumber dana dan kekuatan untuk berobat - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya kita harus menyerah pada penyakit kita.


Demikian juga dengan kepribadian.
Allah memberikan hati kepada manusia untuk membantu mengarahkan kita kepada kebaikan.
Ketika penyakit hati: iri, dengki, marah, benci, dendam ataupun nafsu yang tidak terkendali kita kenali dengan baik sehingga saat ia muncul mengganggu kepribadian kita pada tahap awal, akan lebih mudah kita mengusirnya dan kembali memperbaiki diri.
Namun ketika penyakit hati sudah merasuk semakin dalam dan merusak kepribadian kita sedemikian rupa, akan membutuhkan usaha dan komitmen yang luar biasa untuk kita bisa memperbaiki diri.
Dan ketika kita tidak memiliki komitmen yang besar pada diri sendiri untuk memperbaiki diri - meskipun kita ingin - maka pada akhirnya, perlahan tapi pasti, kita akan terpuruk ke dalam jurang dosa dan berakhir di neraka.


"Kita semua memang akan mati" bukan merupakan alasan untuk tidak berikhtiar.
Karena seperti yang pernah kita dengar dari penuturan orang bijak yang sebenarnya bisa kita baca pada Al-Qur'an di surat Al Ar-Ra'd : 11 dan surat Al Anfaal : 53, bahwa Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.


Mana yang akan kita pilih?
Melakukan pengamatan dan perbaikan setiap hari sehingga lebih mudah dijalani?
Atau menunggu sampai kerusakan besar terjadi sehingga hijrah menjadi satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan diri?
Atau bahkan memilih "pasrah" pada nasib dengan tidak melakukan perbaikan sama sekali?


Pilihan ada pada kita. Karena hidup terdiri dari berbagai pilihan. Jadi, pilihlah dengan bijak :)


Jakarta, 13 Mei 2012
Yeni Suryasusanti

Minggu, 06 Mei 2012

Sekali Lagi Tentang Asisten Rumah Tangga :)



Masalah asisten rumah tangga alias PRT atau pengasuh anak merupakan masalah yang cukup krusial terutama bagi Ibu bekerja, termasuk saya.
Dalam banyak keluarga, cukup banyak yang salah menempatkan fungsi mereka dalam rumah.
Sesuai dengan namanya, Asisten atau Pembantu seharusnya merupakan unsur tambahan, bukan utama.
Pengerjaan tugas rumah tangga dan pengasuhan anak hendaknya tidak melupakan point utama : bahwa pemilik rumah dan anak tetaplah kita.
Ketika kita mendelegasikan sebagian besar pekerjaan di rumah karena kita memilih berkarya di luar rumah, yang tidak boleh kita lupakan adalah tugas utama pengawasan dan keputusan ada di tangan kita.
Ini berarti, adalah tugas kita untuk mengawasi apakah nilai-nilai yang kita anut juga di dukung oleh para asisten rumah tangga.

Untuk membantu saya dalam menjalankan operasional rumah tangga, kami memiliki 2 orang asisten : satu orang yang menginap, bertugas memasak, mencuci baju dan membantu mengawasi anak-anak ketika saya di kantor, dan satu orang lagi hanya datang sebentar untuk menyapu, mengepel dan menyetrika. Keduanya sudah bekerja pada keluarga kami selama bertahun-tahun. Selama itu, nilai-nilai mereka sejalan dengan nilai utama yang kami tanamkan dalam keluarga : Agama, kasih sayang dan kejujuran. Saya cukup bisa menoleransi berbagai kekurangan selain ketiga nilai tersebut :)

Bulan Maret yang lalu, dengan berbagai pertimbangan saya memutuskan mengakhiri kerja sama dengan asisten yang menginap. Alasan yang utama tidak dapat saya tuliskan disini dengan pertimbangan menghindari membicarakan aib sesama muslim. Namun, alasan penting lainnya adalah karena berkurangnya nilai kejujuran.
Saya adalah seorang penganalisa, karenanya - tanpa bermaksud untuk menyombongkan diri - bisa saya katakan bahwa tidak mudah untuk berbohong kepada saya.
Jika ada yang berkata bahwa "Untuk menghindari hukuman atau mempertahankan image itu mudah, berbohonglah", maka saya adalah orang pertama yang akan berkata bahwa keputusan itu sungguh salah. Berbohong itu memang mudah, tapi mempertahankan kebohongan yang bisa diterima dengan wajar sangatlah sulit.
Ketika kita memutuskan untuk berbohong, kita harus memiliki daya ingat yang tinggi karena kita harus ingat setiap kebohongan yang kita ucapkan. Kita juga harus menyiapkan setting yang tepat sehingga kebohongan itu terasa nyata. Itu tidak mudah.
Maka ketika beberapa kejadian yang janggal terjadi karena bagi saya terlihat jelas ada yang tidak pada tempatnya, apalagi ditambah dengan bahasa tubuh, alarm di kepala saya langsung berbunyi.

Kejadian pertama sudah cukup lama berlalu, dan cukup sederhana, terkait dengan instruksi saya agar asisten sesekali menggantikan saya untuk memeriksa buku-buku yang Ifan (usia jelang 12th) bawa ke sekolah. Namun, instruksi saya untuk memeriksa di depan Ifan dengan meminta izin seperti dahulu seperti yang terkadang saya lakukan mungkin tidak dijalankan karena asisten menghindari konflik. Memang Ifan terkadang suka membawa majalah ke sekolah untuk dibaca-baca usai mengerjakan tugas, yang mana hal ini tidak diiizinkan pihak sekolah dan bisa mengakibatkan penyitaan.
Pada suatu pagi saya mendapati Ifan ribut marah-marah sebelum berangkat ke sekolah. Setelah saya telusuri, ternyata Ifan menuduh si asisten mengambil buku "Kecil-kecil Bisa Bikin Game" yang pernah saya belikan untuknya, tentang pembuatan game dengan macromedia flash.

"Waktu ekskul komputer club, Ifan praktekkan buat game. Bu Pranti tanya siapa yang ajari Ifan. Ifan bilang, belajar dari buku yang dibelikan Bunda. Jadi Bu Pranti minta Ifan bawa pas pelajaran komputer hari ini, mau pinjam untuk dilihat... Mau untuk materi tambahan pelajaran komputer, Bun," jelas Ifan.
"Oke, udah dibawa di tas?" tanya saya.
"Itu diaaaaa.... tadi pagi udah Ifan masukin, tapi setelah mbak masukin bekal Ifan ke tas, dan Ifan periksa bukunya nggak ada..."
Saya berpaling kepada si asisten dan bertanya tanpa nada menuduh, "Apakah mbak mengeluarkan dari tas Ifan?"
Asisten menginap saya itu pun menggeleng dan bertahan, "Nggak, aku nggak ambil! Demi Allah!"
Dug! Rasa di tinju dada saya mendengar betapa mudahnya kata "Demi Allah" keluar dari mulutnya. Setahu saya, penggunaan kata "Demi Allah" sebaiknya hanya digunakan ketika kita tidak memiliki cara lain untuk membela diri atau terancam hukuman, terutama di depan sebuah pengadilan.
"Oke, sekarang Ifan berangkat saja ke sekolah dulu, nanti Bunda dan Mbak akan cari di rumah, siapa tahu terselip bukunya. Nanti Bunda akan antarkan ke sekolah sebelum berangkat ke kantor. Satu lagi, tidak boleh menuduh siapa pun tanpa adanya saksi."
Ifan pun berangkat sekolah, dan saya menyuruh asisten menginap untuk berangkat ke pasar dulu berbelanja.
Saya mencari buku tersebut bersama asisten pulang hari yang kebetulan sudah datang, dan kami menemukan buku tersebut diatas lemari di ruang keluarga. Lemari tersebut tinggi, dan bukan tempat Ifan biasa meletakkan buku favoritnya.
Ternyata, sebelum keributan terjadi, asisten menginap sempat bercerita kepada asisten yang pulang hari bahwa dia menemukan Ifan membawa buku yang tidak terkait sekolah dan menyembunyikannya.

Sepulang dari pasar, saya mengajak asisten menginap berbicara secara baik-baik.
"Mbak, buku sudah ketemu di atas lemari. Saya sangat bisa mengerti jika memang kamu yang mengeluarkan buku itu dari tas Ifan karena mengira itu buku Game biasa. Saya mengerti bahwa niat itu baik. Sekali lagi saya tanya, apakah mbak yang mengeluarkan bukunya?"
Si asisten sempat terdiam sebentar, namun kemudian bertahan, "Nggak Bun, benar aku nggak ngeluarin."
Saya menghela nafas, "Oke, meskipun saya rasa buku itu nggak bisa berjalan sendiri ke atas lemari, masalah ini saya anggap selesai sampai di sini. Mulai sekarang, tugas sesekali memeriksa buku Ifan biar saya saja yang menjalankan. Dan, meskipun saya berterimakasih karena kamu sudah membantu memasukkan bekal Ifan ke dalam tasnya, mulai sekarang biar Ifan saja yang mengerjakannya. Biar Ifan mandiri, dan kamu tidak menjadi tertuduh jika Ifan kehilangan apa pun."

Kejadian kedua, lebih sederhana lagi. Ketika itu kami mau pergi ke acara keluarga suami saya.
"Fian, tolong bilang mbak cepat ganti baju, kita udah mau berangkat," perintah saya kepada Fian (usia jelang 4th).
Fian pun berlari ke dapur, namun sejurus kemudian sudah kembali sambil berkata, "Mbak lagi nangis, Bun!"
Saya pun ke dapur, dan mendapati si asisten sedang menyiangi sayuran tanpa ada airmata sama sekali di wajahnya.
"Ada apa, mbak, kata Fian kamu nangis?" selidik saya.
"Nggak nangis kog Bun..." jawabnya enteng.
Setelah saya selidiki, ternyata si asisten - mungkin karena ingin bercanda - menyuruh Fian berkata bahwa dia sedang menangis, padahal tidak.

Jangankan dengan ditambah alasan utama yang tidak bisa saya sebutkan, ketika seorang asisten sudah tidak bisa mendukung nilai-nilai yang kami tanamkan kepada anak-anak saja sudah cukup membuat saya mengambil keputusan bahwa dia tidak bisa menggantikan saya ketika saya sedang bekerja di luar rumah.

“Tidak beriman seorang hamba dengan keimanan yang sepenuhnya sampai ia meninggalkan bohong meski dalam bercanda dan meninggalkan perdebatan meskipun dalam posisi benar.” (H.R. Ahmad dari Abu Hurairah r.a.)

Jadi, akhirnya saya dan asisten menginap memutuskan mengakhiri kerjasama dengan baik-baik segera setelah dia mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Hingga kini kami masih berhubungan baik melalui sms :)

Sampai saat ini, saya belum mendapatkan asisten menginap sebagai pengganti.
Namun, alhamdulillah Allah memberikan kemudahan. Asisten yang semula hanya datang sebentar, untuk sementara waktu hingga saya dapat pengganti asisten menginap berkenan untuk bekerja seharian di rumah hingga saya pulang kerja menggantikan tugas si asisten menginap, sementara saya mengambil satu lagi asisten yang datang sebentar untuk mengambil alih tugasnya.

Beberapa rekan kerja saya di kantor sempat berkata, "Mbak, kog berani sih seketika ganti asisten? Nggak takut anak-anak - terutama Fian - kehilangan?"
Si asisten menginap memang sudah bekerja dengan kami sejak saya hamil Fian.
Saya tersenyum dan berkata, "Saya tidak pernah membiarkan posisi saya di hati anak saya tergeser, meskipun seharian mereka ditemani asisten. Ketika saya di rumah, anak-anak tetap lebih senang saya temani. Fian juga lebih memilih diurus dan disuapi saya ketika saya ada di rumah. Dan alhamdulillah, terbukti, Ifan dan Fian sama sekali tidak terganggu dengan pergantian asisten di rumah."

"Wah, kalau anakku lebih suka disuapi pengasuhnya mbak dari pada aku..." kata salah seorang rekan kerja.
"Kenapa? Jangan merasa gengsi belajar dari pengasuh lho triknya... Mungkin si pengasuh lebih sabar dari kamu kalo menyuapi hehehe..." seloroh saya.
"Iya sih mbak, aku sudah pengen buru-buru selesai aja..."
"Hmmmm.... Hati-hati kalau begitu. Bisa-bisa anakmu mogok makan sampai sebulan lho kalo pengasuhnya berhenti..." ujar saya.

Yah, sharing saya kali ini, juga untuk mengingatkan diri sendiri, agar tidak terlena dengan kenyamanan memiliki asisten rumah tangga yang "piawai" mengurus rumah dan anak-anak. Rumah tangga dan anak-anak adalah amanah kita. Jadi, tetap harus kita yang memegang fungsi utama pengurusan atau minimal pengawasannya :)

Jakarta, 6 Mei 2012
Yeni Suryasusanti