Rabu, 22 Februari 2012

Tentang Prioritas Hidup

Sebagai seorang manusia yang tidak pernah sempurna, saya selama ini selalu berusaha mengingatkan diri saya untuk tidak menuntut anak-anak saya menjadi "sempurna".
Bukan hal yang mudah, meskipun sebenarnya juga tidak sulit.
Unsur yang paling sering muncul adalah perasaan "kecewa" yang secara otomatis hadir di hati sebelum kemudian dinetralkan oleh "kesadaran" bahwa "tidak ada manusia yang sempurna".
Reaksi yang paling umum muncul pada orang tua ketika menemukan kesalahan telah dilakukan oleh anak-anak mereka adalah kekesalan bahkan mungkin kemarahan yang diikuti dengan hukuman. Namun, ketika kesadaran mengambil alih, dan ketika kita mencoba memahami mengapa kesalahan itu terjadi, terkadang hati kita jadi melembut dan mulai mau memahami bahwa kesalahan itu manusiawi.
Sayangnya, ketika kita hendak meralat sikap tersebut, terkadang perasaan anak-anak kita sudah terlanjur tersakiti, sudah terlanjur terluka dan sudah mulai hadir benih-benih perasaan bahwa kita tidak menyayangi mereka karena kemarahan kita pada mereka.

Kemarin, saya pulang dari kantor tepat waktu. Sehingga saya sudah sampai di rumah tepat menjelang magrib, dan mendapati Ifan baru mau shalat ashar, dan ternyata tidak keburu karena sudah terlanjur terdengar adzan magrib. Alasannya biasa : ketiduran - padahal itu pun tidak bisa dijadikan alasan karena baru jam 16.00 WIB mulai tertidurnya. Padahal saat masuk waktu shalat Ashar Ifan masih makan martabak mie bersama Fian dan Yanti (pengasuh Fian).
Ketika itu perasaan saya langsung bercampur baur : lelah, kecewa, dan kesal.
Dan dengan sangat menyesal saya harus mengakui saya bahwa dalam keadaan sedikit emosi saya melontarkan hukuman ganda seketika itu juga : pukulan yang tidak terlalu keras di pantat sesuai dengan aturan agama jika anak diatas usia 10 th tidak shalat, dan juga saya mengeluarkan larangan bermain komputer malam itu :(

Selesai shalat magrib, saya dan Ifan berbicara. Dan ketika itu saya melihat luka di matanya.
Sekali lagi, perasaan saya bercampur baur, tapi kali ini : menyesal, malu dan kecewa pada diri saya sendiri.

Sebenarnya saya menyadari, bahwa mendidik Ifan yang pada dasarnya merupakan anak yang penurut dan cukup mau memegang komitmen sungguh tidak akan sesulit Fian yang sudah mulai terlihat akan berkembang menjadi anak yang argumentatif.
Ifan hanya perlu diarahkan oleh orang yang memang sungguh memperlakukannya dengan cinta dan kehangatan. Jika di suruh dengan lembut dan sentuhan ringan, Ifan tidak pernah membangkang. Namun jika diperintah dengan keras dan emosi, maka akan muncul sikap tidak terima dari sorot mata, kerutan diantara alis dan keras garis bibirnya. Tanpa kata-kata, hanya ekspresi.

Tadi malam, melihat luka di mata Ifan membuat saya seolah "merasa ditampar". Seketika itu juga saya merasa malu mengeluarkan hukuman ganda.
Betul, bagai makan buah simalakama : jika dibiarkan atau dianggap enteng maka Ifan bisa jadi tumbuh jadi anak yang menggampangkan meninggalkan shalat, tapi jika terlalu keras rasanya seperti menampar diri sendiri yang terkadang juga masih menunda-nunda melaksanakan shalat ketika sudah masuk waktunya meskipun dengan alasan pekerjaan tanggung.

Akhirnya malam itu saya memutuskan untuk bicara hal yang mendalam dengan Ifan, mulai mengajak Ifan untuk melakukan percakapan serius dengan penggunaan bahasa orang dewasa, bukan dengan bahasa anak-anak seperti sebelumnya. Mungkin memang sudah waktunya, karena tahun ini Ifan menjelang usia 12th. Saya khawatir, contoh saja tidak akan cukup. Penanaman nilai-nilai secara lisan saya rasa juga perlu.

Malam itu saya mengajak Ifan berbicara tentang prioritas dalam hidup (sebelumnya saya memastikan Ifan paham apa arti kata "Prioritas" - yaitu yang didahulukan atau diutamakan, dan jika terdiri dari beberapa maka merupakan urutan dimulai dari yang paling penting).
Menurut saya ini adalah topik paling utama, karena saya melihat masih banyak orang dewasa di sekeliling saya yang terkadang meletakkan prioritasnya secara aneh (jika tidak bisa dikatakan keliru), bahkan acak.
Mencoba menjajaki pikirannya, saya memberikan 5 hal yang selalu hadir dalam keseharian untuk Ifan urutkan prioritasnya :
- Keluarga
- Sekolah
- Ibadah
- Buku
- Game

Pertama sekali - saya yakin ini terpengaruh dengan pengajaran para guru - Ifan menyebutkan "Sekolah" sebagai prioritas utama.
Tapi, saya segera mengoreksi tanpa menawar, "Tidak boleh tidak Ifan, Ibadah adalah Prioritas Utama."
Saya memberikan contoh bahwa ketika sakit, kita bisa belajar di rumah dan tetap bersekolah setelah sembuh. Namun shalat, tetap harus kita lakukan meskipun dengan duduk atau berbaring.
Saya juga mengingatkan, bahwa kita tidak tahu kapan ajal akan datang menjemput.
"Bagaimana jika satu jam lagi kita dipanggil menghadap Allah sedangkan kita belum shalat magrib? Apakah ajal bisa ditunda? Itulah kenapa tadi Bunda marah Ifan nggak shalat Ashar."
Ifan mengangguk, tanda mengerti.

Setelah setuju bahwa prioritas utama adalah Ibadah, saya beralih ke prioritas kedua.
Kembali Ifan menyebutkan "Sekolah".
Kali ini saya tidak mengoreksi, tapi memberinya semacam wacana.
"Apakah oke bagi Ifan, kalau Ifan bersekolah di sekolah yang bagus dan mendapat nilai bagus, tapi Ayah dan Bunda selalu pulang malam, atau sering marah dan nggak sayang sama Ifan?"
"Apakah oke bagi Ifan, kalau Ifan berhasil sekolah, tapi tidak ada keluarga disekeliling Ifan dan Ifan hanya sendiri tanpa cinta kasih semua saudara?"
Mulai terlihat pemahaman di mata beningnya.
"Nggak oke, Bun," sahut Ifan pelan.
"Jadi apa dong prioritas kedua?" selidik saya.
"Keluarga," jawab Ifan singkat.

Yang menarik, belajar dari analisa sebelumnya, Ifan menentukan prioritas ketiga adalah "Buku" dan bukan "Sekolah".
Ketika saya tanya alasannya, Ifan berkata, "Dengan buku kita jadi banyak tahu. Orang bisa pintar tanpa perlu sekolah jika rajin membaca buku."
Saya tersenyum lebar. Wow!!
Akhirnya, Ifan menentukan prioritas keempat adalah "Sekolah" dan prioritas kelima adalah "Game" dari kesehariannya.

Saya berkata pada Ifan, terkadang dalam hidup, urutan prioritas ini bisa berubah.
Contoh paling nyata, ketika saat liburan sekolah maka "Game" menjadi prioritas ketiga.

Kemudian saya mengalihkan pembicaraan kami ke arah prioritas hidup saya.
Ibadah, Keluarga baru kemudian Pekerjaan yang notabene berarti Uang, adalah urutan prioritas saya.
Saya menjelaskan panjang lebar pada Ifan meskipun tidak berani berharap Ifan memahami semuanya sekaligus. Tapi setidaknya, saya mencoba menanamkan di benaknya.

"Bagi seorang wanita, bekerja mencari nafkah bukanlah kewajiban. Jadi Bunda tidak akan berdosa jika tidak menghasilkan uang. Tapi, mendidik anak menjadi anak yang shaleh adalah kewajiban Bunda sebagai orang tua. Ketika dihisab nanti, katanya Bunda akan ditanya bagaimana anak-anak Bunda. Jika Bunda bekerja dan menghasilkan uang banyak, tapi Ifan meninggalkan shalat dengan mudahnya, berarti Bunda sudah salah mengaplikasikan prioritas hidup. Karena jika Bunda di rumah, Ifan tidak pernah tinggal shalat, tidak pernah menolak disuruh shalat. Kalau lagi asyik main game pun dan tidak mempan disuruh dengan kata-kata, Ifan selalu mau mengikuti ketika Bunda gandeng Ifan ke kamar mandi untuk wudhu. Shalat Ashar agak sering tinggal hanya karena di mesjid komplek nggak ada adzan kan? Soalnya kalau adzan magrib Ifan selalu berangkat ke mesjid tanpa disuruh lagi. Iya kan?"

Ifan terdiam dan mengangguk.

"Bunda paham, Ifan nggak terlalu cocok dengan cara Mbak Yanti mengingatkan. Karena bagaimanapun memang Mbak Yanti itu lebih fokus menjadi pengasuh Fian. Tapi, untuk saat ini hanya dia yang Bunda punya di rumah ketika Bunda sedang di kantor. Sekarang, kalau Bunda memberikan Ifan pilihan cara, mana yang Ifan pilih? Dengan tujuan Ifan tidak sampai meninggalkan shalat, ada 3 cara yang bisa Bunda berikan : Pertama, Ifan menurut jika disuruh Mbak Yanti meskipun tidak sesuai dengan hati Ifan cara menyuruhnya. Kedua, Ifan belajar disiplin dan memotivasi diri sendiri sehingga shalat tidak perlu disuruh lagi. Ketiga, Bunda berhenti bekerja agar bisa selalu mengingatkan Ifan dengan cara yang Ifan sukai, tentu konsekuensinya kita harus melakukan penyesuaian hidup juga karena kasihan Ayah mencari nafkah sendiri. Bagaimana Fan, mana yang Ifan pilih?"

Ifan tertunduk, kemudian berkata dengan setengah cemberut, "Ifan belajar disiplin shalat nggak disuruh deh. Bunda nggak usah sampai berhenti kerja. Ifan salah, Ifan menyesal."

Saya kemudian memeluk Ifan.
Untuk meringankan suasana, kemudian saya berkata bahwa saya bangga padanya dan baru share tentang Ifan di status facebook saya kemarin.


Percakapan dengan Ifan pada hari terakhir seminar di PPEI (15 Feb 2012) :
Saya : "Ifan, bunda besok udah mulai kerja lagi seperti biasa."
Ifan : "Oh, seminarnya udah selesai, Bun?"
Saya : "Udah Fan. Jadi maaf ya, mulai besok nggak bisa pulang sampai rumah jam 5 lewat seperti waktu seminar."
(Notes : lokasi seminar dekat dengan rumah, dan Ifan selama saya seminar selalu berkata bahwa dia senang saya pulang lebih cepat :D)
Ifan : *terlihat berpikir sejenak, lalu senyumnya tetap mengembang* "Nggak apa-apa Bun, walaupun pulang agak malam tapi kan selama jam kerja Bunda bisa Ifan telepon, nggak seperti waktu seminar, hanya bisa di sms sama mbak yanti aja nggak boleh ditelepon..."
Duh, bahagianya Ifan tetap bisa melihat sisi positif dari kedua situasi yang berbeda :D

Saya berkata, tidak mudah menjadi orang yang bisa melihat sisi positif. Tapi bisa kita biasakan. Demikian juga bersikap menerima koreksi dengan positif.
"Ketika Bunda menegur Ifan, Ifan bilang iya, Ifan janji berubah... tapi sambil cemberut. Itu namanya Ifan belum ikhlas menerima kesalahan. Itu berarti Ifan belum menerima koreksi dengan sikap yang positif. Masalahnya, kita baru akan bisa melakukan perubahan jika sudah menyadari dan menerima bahwa yang kita lakukan sebelumnya salah. Percayalah, Ifan baru akan bisa berubah jika sudah menerima koreksi atas kesalahan Ifan dengan hati yang lapang, nggak dengan kesal. Bunda tahu ini nggak mudah, karena Bunda pun terkadang mengalami kekesalan seperti itu. Tapi kita sama-sama belajar ya Nak?"

Saya mengelus rambut Ifan, kemudian memeluknya kembali.
"Maafkan Bunda tadi marah-marah. Bunda ralat hukumannya. Bunda kasih Ifan kesempatan lagi untuk belajar disiplin shalat, jadi Ifan setelah belajar nanti boleh main game di notebook Bunda di kamar Ifan supaya nggak diganggu Fian. Bagaimana? Mau?"

Ifan menjawab "Mau Bun..." sambil tersenyum, memeluk saya dan menyurukkan wajahnya ke dalam dekapan saya.
Saya pun tersenyum, dan mengakhiri percakapan berat malam itu dengan mengajaknya makan malam bersama...

Nak, mungkin tadi malam engkau belum sepenuhnya mengerti seluruh ucapan Bunda tentang prioritas dalam hidup. Tapi semoga suatu hari nanti engkau akan memahami, dan bisa meletakkan prioritas hidupmu dengan urutan yang tepat...


Semoga benar apa yang Ibu saya pernah katakan : "Jangan pernah meremehkan penangkapan anak-anakmu. Mereka menyerap semuanya. Mungkin saat ini mereka belum terlihat memahami, tapi percayalah, apa yang kita ajarkan pada mereka akan tertanam di otak dan hati mereka, dan suatu hari nanti Insya Allah mereka akan mengerti..."

Jakarta, 22 Februari 2012
Yeni Suryasusanti