Senin, 24 Oktober 2011

Ifan dan Lomba Komputer : Sebuah Pelajaran Lagi Bagi Diri :)



Beberapa hari yang lalu Ifan bertanya, "Bun, punya flash disk nggak? Punya Ifan yang dulu hilang..."
"Bunda nggak pakai flash disk Bang, adanya pocket harddisk. Kenapa?"
"Katanya Ifan diikutkan lomba komputer, buat Power Point Presentation."
"Nanti Bunda tanya Ayah ya..."

Hari Jumat, 21 Oktober 2011, Ifan menghubungi saya di HP.
"Bun, jangan lupa beli flash disk ya... Lombanya jadi besok..."
"Ha? Kog edaran lombanya belom sampai ke Bunda? Bunda besok ada acara NCC, Bang..." sahut saya agak panik, karena besok sudah terlanjur ada acara sedangkan suami saya sedang di luar kota.
"Baru hari ini dibagiinnya... Nggak apa-apa kog Bun, berangkatnya bareng-bareng pakai mobil sekolah..." kata Ifan santai.
"Ya udah, Abang buat dulu aja di komputer dan di save di hard disk ya, nanti malam baru dipindahkan ke flash disk."

Pulang kantor, saya mampir ke Gramedia untuk membeli flash disk, dan baru tiba di rumah hampir jam setengah sembilan.
Sampai di rumah, saya melihat Ifan sedang santai duduk di depan TV.
"Udah dibuat materi Power Point-nya?" tanya saya.
"Belum Bun, mouse-nya nggak ada..." jawab Ifan santai.
"Lho, paling juga ketarik jatuh... Udah di lihat di dekat CPU?"
"Belum, takut kesetrum."
"Lah, terus dari siang Abang ngapain aja?"
"Baca PLBJ kelas 4."
"PLBJ kelas 4? Ngapain? Harusnya Abang minta tolong mbak Yanti kalo takut kesetrum, atau telepon Bunda kan juga bisa... Nanti Bunda yang ngomong sama mbak Yanti..." kening saya mulai berkerut membayangkan waktu yang sudah terbuang, sedangkan seharusnya materi lomba itu tinggal di pindahkan saja, dan Ifan bisa segera tidur agar besok pagi bangun dengan segar.
"Materi lombanya kan tentang Lingkungan, Ifan ambil materi tentang "Air Bersih" dari buku PLBJ kelas 4, Bun..."
Saya pun akhirnya terdiam. Meskipun saya tetap berpikir akan lebih mudah membaca materi sekilas dan langsung membuat materi presentasi berdasarkan pointers yang diambil, baru kemudian mempelajari secara detail point-point yang akan dipresentasikan.

Saya membiarkan Ifan membuat sendiri semua materinya, hanya 5 halaman saja ternyata, itu pun termasuk halaman Judul.
Sejak usia 3 tahun Ifan memang sudah terlihat sangat menyenangi komputer. Namun demikian, tetap saja saya cukup terpesona dengan lancarnya Ifan membuat materi, dan lancarnya Ifan memilih efek yang diinginkannya untuk pemunculan presentasi itu. Hanya sekitar setengah jam Ifan sudah selesai.
Meskipun saya mengetahui bahwa materi Power Point Presentation memang termasuk kurikulum kelas 5 di SD Bhakti (Ifan sekarang duduk di kelas 5), tapi saya tetap saja takjub - Wow, demikian seru hati saya - karena saya sendiri baru belajar membuat Power Point Presentation secara otodidak di tahun 2002, ketika saya harus menyampaikan training di kantor :D

Saya membaca Surat Edaran dari sekolah. Lomba tersebut diadakan di SDK Samaria Tomang, pada tanggal 22 Oktober 2011, biaya Rp 50.000,- per peserta (biaya di tanggung oleh SD Bhakti), mengenakan celana panjang hitam dan kaos seragam Computer Club, dan berangkat bersama dari sekolah pada pukul 07.00 WIB dengan mobil sekolah. Lomba baru akan selesai sekitar jam 15.00 WIB.
Duh, sedangkan acara NCC di Gramedia Melawai berlangsung pada pukul 14.00 - 16.00 WIB.
Siang harinya, saya menghubungi Guru Pendamping ke HP yang dicantumkan pada Surat Edaran. Sang Guru dengan berbisik meminta saya menghubungi sekitar 15 menit lagi karena saat itu tepat Ifan sedang presentasi, suaranya samar-samar terdengar di latar.
Saya sempat tertegun dan berkata dalam hati, "Oh, ternyata di presentasikan langsung juga?"
Sempat ada rasa bersalah tidak bertanya secara detail mengenai lomba ini karena sempitnya waktu yang diberikan untuk mempersiapkannya :(

15 menit kemudian saya menelepon kembali Guru Pendampingnya, sekali lagi dengan sedikit perasaan bersalah saya menyampaikan bahwa saya tidak bisa menjemput Ifan di sekolah sedangkan ayahnya sedang di luar kota. Alhamdulillah, Ibu Guru berkata biar nanti Ifan diantar supir sekolah sekalian pulang nanti.

Sekitar jam tiga sore, Ifan menghubungi HP saya. Ketika itu saya masih di tengah Acara NCC di Gramedia Melawai.
"Bun, Ifan dapat juara Harapan 1 ! Tapi pialanya baru akan dibagikan nanti tanggal 19 November..." lapornya.
"Wahhh... Selamat ya Bang... Nanti kalo Bunda udah di rumah Abang cerita lengkapnya ya..."
Kemudian saya segera mengirimkan sms ke suami, Papa dan Ibu saya, seperti biasa jika Ifan ikut lomba, apa pun hasilnya :)

Malamnya Ifan bercerita tentang lombanya. Juara 1, 2, 3 dan Harapan 2 jatuh ke sekolah lain. Ifan mendapat juara Harapan 1, dan temannya Alix mendapat juara Harapan 3.
Karena dari dulu saya tidak pernah menuntut Ifan menjadi Juara di setiap kompetisi, Ifan bercerita dengan bersemangat meskipun hanya mendapatkan Juara Harapan 1 :)
Ketika saya bertanya tentang cara Ifan menyampaikan presentasi, Ifan berkata ada materi tentang Air Bersih yang tidak Ifan masukkan di materi Power Point, namun Ifan jelaskan secara langsung.
"Yang tentang apa, Bang?" tanya saya cukup takjub.
"Salah satunya tentang Kaporit, Bun," kata Ifan dengan mata berbinar-binar.
Saya meminta maaf tidak bisa menghadiri lombanya, memeluk Ifan, tidak bisa lagi berkata-kata.

Masih terselip sekelumit rasa berdosa karena sempat merasa Ifan kurang tepat karena membaca terlebih dahulu dan tidak membuat materi dengan segera, dan merasa "cara saya lebih baik" - seharusnya membuat materi dulu baru melatih presentasi - meskipun Alhamdulillah hal itu hanya saya ucapkan dalam hati.
Malam itu saya kembali belajar, bahwa saya tidak boleh memaksakan metode saya pada siapa pun. Saya harus bisa membiarkan orang lain - termasuk putra saya sendiri - memilih metode yang dirasa paling tepat bagi dirinya. Dan saya pun akhirnya menyadari bahwa Ifan bisa dengan cepat membuat materi tadi malam justru karena Ifan sudah paham apa yang akan di presentasikannya...
Ya Allah, sungguh tidak terbayang oleh saya, Ifan yang dulu sempat mengalami keterlambatan bicara sehingga sempat selama beberapa waktu mengikuti terapi wicara, bisa menyampaikan presentasi di depan publik pada usia yang terbilang sangat muda.
Alhamdulillah ya Allah... 

Jakarta, 24 Oktober 2011
Yeni Suryasusanti

Jumat, 21 Oktober 2011

Do The Right Thing



Sejak kecil tentu kita sudah terbiasa dengan pengajaran mana yang benar dan mana yang salah.
Namun, untuk sebagian orang, nilai yang telah tertanam ketika kita kecil terkadang tererosi oleh perkembangan zaman dan lingkungan. 
Saya pun demikian. Pada suatu masa ketika masih kuliah saya sempat merasa jauh dari Allah, dan akibatnya, sedikit pukulan saja sudah mampu membuat saya terpuruk. 
Bagi teman-teman yang pernah membaca tulisan saya sebelumnya, mungkin akan bertanya, dimanakah kedua orang tua saya yang bijaksana ketika itu?
Ya, ketika itu kedua orangtua saya tinggal di lain kota karena tanggung jawab karier Papa :)

Meskipun kedua orangtua saya adalah orangtua yang luar biasa, namun bagaimanapun tidak ada manusia yang sempurna. Dan saya belajar dari ketidaksempurnaan mereka.
Kedua orangtua saya mengajarkan kepada saya tentang agama sebagai landasan, mengajarkan tanggung jawab sebagai bagian dari kewajiban dan harga diri, mengajarkan pentingnya etika dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Semua itu diajarkan dengan contoh teladan dan doktrin. Tanpa dialog, tanpa diskusi.

Pada masa ini saya mengajarkan Ifan dengan sudut pandang yang berbeda. Bahwa ibadah merupakan wujud dari rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat yang telah kita terima. Jadi seperti mendapatkan dua kali bonus : kita sudah mendapatkan kenikmatan dunia terlebih dahulu, kemudian kita bersyukur dengan cara beribadah, dan di akhir nanti kita mendapatkan bonus kedua sebagai imbalan rasa syukur kita yaitu Insya Allah berupa surga di akhirat nanti.
Sedangkan dulu, saya belajar tentang agama seperti umumnya anak-anak pada masa itu. Lebih diarahkan bahwa shalat dan ibadah lain adalah kewajiban, yang hasil akhirnya adalah surga atau neraka.
Saya tidak berkata bahwa metode tersebut salah, hanya saja ketika itu rasanya surga dan neraka sungguh jauh dari pandangan mata, sedangkan surga dunia ada depan mata :D

Mungkin sebenarnya kedua orangtua saya mau membuka diri jika diajak berdialog, namun pada masa itu umumnya hubungan antara anak dan orangtua belum seperti sekarang. Orangtua adalah orangtua, bukan teman dan sahabat. Jadi, saya kurang mendapatkan pengajaran dalam bentuk hakikat karena kami jarang membahas segala sesuatunya secara panjang lebar ketika saya remaja. 
Akibatnya, ketika lingkungan dimana saya menghabiskan sebagian besar waktu saya memiliki nilai-nilai yang berbeda, saya pun sedikit terbawa arus, melupakan nilai-nilai yang telah saya pelajari sebelumnya...

Alhamdulillah, sebelum jauh terpuruk lebih dalam, saya ditarik oleh mentor saya. Tepatnya, dalam kekosongan hidup saya saat itu, saya teringat lingkungan dimana saya selalu merasa aman dan nyaman, yaitu Paskibra 78, dan beliau menerima saya dengan tangan terbuka.
Betahun-tahun saya lalui dengan diskusi panjang, menyegarkan kembali nilai-nilai yang telah tertanam namun sempat terbenam, bahkan mulai mengupas tuntas segala permasalahan baik yang terlihat di depan mata kami maupun yang hanya terlintas di pikiran saya.
Saya mulai belajar hakikat kehidupan. Bahwa salah satu hal yang penting dalam hidup ini adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan potensi yang kita miliki bagi orang lain di sekitar kita. Bahwa sebaik-baiknya manusia adalah dia yang bermanfaat paling banyak bagi orang lain. Dan ikhlas adalah kuncinya.

Saya belajar, bahwa Do The Right Thing merupakan hal yang harus dilakukan, meskipun tidak mudah.
Doktrinnya adalah :Tidak Mudah bukan berarti Tidak Bisa.
Awalnya mungkin dibantu dengan dzikir dan doa untuk tetap menjaga hati, namun kemudian sejalan dengan waktu dan ilmu yang terus kita gali dalam rangka perbaikan diri, nilai-nilai tersebut diharapkan bisa terintegrasi dengan diri kita dan berperan sebagai alert system yang bekerja tanpa kita sadari. 

Saya belajar, bahwa lingkungan bisa saja membantu kita untuk mengontrol diri agar melakukan hal yang benar, tapi Do The Right Thing yang sebenarnya justru harus dilakukan tanpa peduli apakah ada yang melihat atau tidak. Karena saksi sesungguhnya selain Allah adalah diri kita sendiri...

Saya belajar, bahwa meskipun dengan Do The Right Thing terkadang saya harus kehilangan sesuatu yang saya anggap sangat berharga, dan meskipun mengetahui bahwa saya melakukan hal yang benar tetap tidak mengurangi kepedihan akan kehilangan yang saya rasakan, namun saya juga menyadari bahwa memiliki hak untuk melakukan sesuatu bukan berarti bahwa segala sesuatu yang saya lakukan adalah benar...

Salah seorang adik didik saya, Debby Cintya, bertahun-tahun lalu pernah mengeluh kepada saya.
"Kadang di saat hampir putus asa karena sulitnya memenuhi nilai-nilai yang ditanamkan di dalam diri saya, saya seringkali berpikir untuk apa saya bersusah-payah seperti ini, sementara teman-teman saya yang lain masih dengan nyamannya terlena. Toh standar nilai yang ada pada teman-teman saya juga sudah cukup baik. Untuk apa saya setengah mati berusaha memenuhi standar nilai yang ditularkan oleh Mas Saleh dan Mbak Yeni?"
Ketika itu saya berkata sambil tersenyum, "Jika dengan bekal kemampuan yang kamu miliki saat ini kamu bisa mencapai nilai 9, apakah kamu akan cukup puas ketika mencapai nilai 7 hanya karena teman-teman di sekelilingmu mencapai nilai 7 juga? Buatlah standar hidup sendiri, jadikan standar orang lain hanya untuk pembanding saja."

Well, nobody's perfect. Sampai saat ini, jujur saja dalam beberapa kesempatan terkadang saya juga mengikuti keinginan hati, namun ketika hal itu bertentangan dengan nilai-nilai yang saya miliki, maka akan hadir rasa tidak tenang di dalam diri, karena akhirnya saya menyadari, bahwa hanya dengan Do The Right Thing saya bisa mendapatkan kedamaian hati...

"Character is doing the right thing when nobody's looking. There are too many people who think that the only thing that's right is to get by, and the only thing that's wrong is to get caught." (J.C. Watts)

Jakarta, 21 Oktober 2011
Yeni Suryasusanti

Selasa, 11 Oktober 2011

Tentang Cinta Sejati : Sebuah Renungan di Hari Ulang Tahun Pernikahan :)



Beberapa waktu lalu, seorang sahabat menautkan tulisannya ke Facebook saya. Sebuah tulisan yang saya yakin bisa bermanfaat bagi banyak orang, yang setelah membacanya saya akhiri dengan renungan.

Tulisan itu bercerita tentang sepasang kekasih yang tidak bisa berakhir dengan pernikahan karena perbedaan keyakinan, merasa bahwa kekasihnya adalah belahan jiwanya, tapi karena prinsip masing-masing akhirnya menikahi orang lain dan membentuk keluarga. Namun, kedua mantan kekasih ini masih berhubungan baik melalui telepon meskipun jarang bertemu.

Saya tidak akan menghakimi mereka "berselingkuh", karena saya sendiri masih agak ragu dengan batasan seseorang disebut berselingkuh :)
Masing-masing orang biasanya menentukan batasan yang berbeda.
Ada yang menetapkan baru dinamakan selingkuh jika sudah ada "sentuhan fisik" diluar batas kewajaran (yang juga berbeda bagi setiap orang batasannya).
Ada yang menetapkan sudah termasuk selingkuh jika sudah mulai "saling bertemu tanpa sepengetahuan pasangan sah" meskipun tanpa adanya "sentuhan fisik" diluar batas kewajaran umum seperti bersalaman.
Ada juga yang menetapkan sudah termasuk selingkuh jika sudah mulai "ada rasa lain" kepada seseorang yang bukan pasangan sah meskipun tanpa adanya sentuhan fisik maupun komunikasi yang intens.
Terlebih lagi, saya tidak mengetahui dengan jelas apakah teman yang diceritakan oleh sahabat saya ini berhubungan baik dengan atau tanpa sepengetahuan pasangan masing-masing.
Jadi, mari kita asumsikan mereka hanya "menjalin silaturahmi" meskipun masing-masing masih menyimpan cinta di hati :)

Lanjut cerita mengenai teman dari sahabat saya, atas izinnya saya kutipkan disini sedikit ceritanya :

"Habis lebaran kemarin kita bertengkar, sebetulnya tentang hal yg nggak penting sih dan dia ngomong salah satu kalimat sakti, Mas... Sekarang aku baru sadar kalo B (nama istrinya) memang yg terbaik yg diberikan Allah untuk aku... Belum pernah selama kami pacaran atau berumah tangga ada keluar kalimat sakti dari mulutnya meski kami bertengkar hebat... Belum lagi pengorbanannya untuk aku dan anak2... Buta aku selama ini!"

Karena saya mengenal Si Adik kelas ini dari dulu, saya mengerti maksudnya. Yang dimaksud dengan "KALIMAT SAKTI" nya yg terkenal sejak dia remaja adalah ketika pacarnya mengucapkan kalimat:
"kayaknya kita dah nggak sepaham lagi deh, kita putus aja ya..." atau
"Kita ternyata udah nggak cocok ya, kayaknya aku mesti pergi deh..." atau
"kita mesti putus karena aku dah nemu yg lebih baik dari kamu.."
Pokoknya kalimat yg kayak gitu deh...
Ketika seorang wanita berkata seperti itu padanya, maka saat itu juga matilah si wanita itu di hati si adik kelas.

Saya pernah bertanya mengapa mudah sekali untuk dia mematikan rasa cinta yg begitu besar ketika mendengar kalimat seperti itu. Jawabnya membuat saya tercengang :
"Ketika seorang wanita mengucapkan kata itu untuk suatu perbedaan kecil atau pertengkaran, maka wanita itu tidak layak untuk dipertahankan atau dicintai karena dia tidak akan pernah berjuang untuk cinta itu sendiri dan cinta yg dimilikinya tidak sebesar apa yg terucap dari mulutnya karena dia tidak pernah ikhlas melihat kekurangan pasangannya..."

Dari beberapa sharing pengalaman teman dan pengamatan, saya seringkali melihat, biasanya para kekasih menjadi seolah-olah buta karena "terpesona", terbawa emosi dan terkadang menganggap seseorang sebagai "belahan jiwa" karena orang tersebut terlihat lebih "memahami", bisa merasakan dan menghadapi dengan cara yang baik perubahan emosi mereka daripada "pasangan sah"-nya. Padahal mungkin mereka bertemu dengan kekasihnya hanya dalam kondisi terbaik mereka sehingga semua terasa indah saja. Atau bisa saja mereka begitu jarang bisa bersama sehingga ketika kebersamaan itu tiba semua hal yang tidak enak akan mereka kesampingkan terlebih dahulu dengan sengaja, sehingga semua juga terasa indah saja.
Tidak seperti "pasangan sah" yang memang selalu hidup berdampingan dalam setiap kondisi sehingga mereka mengalami seluruh masa bersama-sama, baik masa terbaik maupun masa terburuk.

Disamping itu, ketika membaca cerita sahabat saya di atas, ada satu hal yang agak sedikit mengganjal bagi saya, di alinea terakhir dari kutipan cerita tersebut.
Tanpa bermaksud menghakimi, kata-kata tersebut bagi saya justru menandakan bahwa cinta diantara pasangan mantan kekasih tersebut bukanlah cinta sejati. 
Mengatakan seseorang sebagai belahan jiwa, namun dengan mudah pula mematikan cinta hanya karena satu "kalimat sakti", menghakimi bahwa seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut - meski dalam keadaan emosi - berarti tidak akan pernah ikhlas menerima kekurangan pasangannya sendiri.
Sedangkan bagi saya, ketika kita mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh, maka kita akan mau mencoba dan belajar memahami segala sikapnya, salah satunya adalah dengan melihat situasi emosi ketika ucapan yang tidak baik terjadi.

Sebagai ilustrasi, kata "Talak" yang diucapkan ketika suami istri bertengkar saja dari apa yang pernah saya baca dianggap tidak sah.

Menurut pendapat madzab ahlus-sunnah wal jama’ah Imam Hanafi, salah satu persyaratan jatuhnya talak adalah si suami sadar apa yang diucapkannya dan dia benar-benar menginginkannya. Karenanya, orang yang dalam keadaan marah, menurut pendapat Imam Hanafi tidak jatuh talaknya. Orang yang marah sering kehilangan kendali, bahkan kehilangan akal sehatnya. Dalam keadaan seperti itu, segala keputusannya tidak berlaku. (Sumber : http://majalah.hidayatullah.com/?p=1017)

Bagi saya, pada cinta sejati harus ada unsur kasih sayang, saling mengingatkan dengan cara yang baik dan terutama : maaf :)
Jadi, Allah sungguh Maha Mengetahui, teman dari sahabat saya disandingkan dengan seorang wanita yang sangat sabar dan dapat menjaga lidahnya untuk tidak mengucapkan "kalimat sakti" yang dapat menghancurkan pernikahan mereka :)

Saya juga mengamati, bahwa meskipun tidak seluruhnya, hampir setiap hubungan yang berpotensi "mengarah" kepada perselingkuhan biasanya akan disamarkan dari pandangan pasangan sah.
Terlepas dari benar atau salahnya tindakan tersebut, menurut penilaian saya, bukankah hal itu pertanda bahwa mereka masih ada rasa khawatir ketahuan dan kehilangan hubungan dengan pasangan sah-nya?
Bukankah hal itu menyatakan bahwa - apa pun alasannya entah itu untuk kestabilan, demi nama baik pribadi dan keluarga maupun atas nama anak-anak - dia masih memiliki "cinta"?
Karena jika betul sudah tidak ada "cinta" sama sekali diantara pasangan sah tersebut, bukankah seharusnya dia tidak akan perduli lagi akan ketahuan atau tidak perselingkuhannya?

Tulisan sahabat saya ternyata membawa saya pada perenungan yang cukup dalam, lebih dari yang saya rencanakan :)

Ketika sepasang kekasih - yang masing-masing sebenarnya sudah memiliki pasangan hidup - bertengkar, mungkin itu adalah isyarat dari Allah bahwa sesungguhnya memang yang terbaik bagi mereka berdua adalah perpisahan.
Karena apakah mungkin memperjuangkan janji dan cinta untuk seorang kekasih tetapi dengan mengorbankan janji dan cinta yang lain yaitu untuk pasangan hidup di mata Allah apalagi jika sudah hadir anak-anak karena cinta Allah kepada mereka berdua?

"Ketika sepasang kekasih berani mewujudkan isyarat Allah untuk menjalani perpisahan dan ikhlas melepaskan, Insya Allah seketika itu juga bahagia akan datang dari pasangan hidup mereka masing-masing. And that's the true happiness." demikian kata salah seorang sahabat saya, Riana Ambarsari, di salah satu notes puisi saya :)

Dari hasil renungan itu juga saya mendapati, bahwa terkadang, kita hanya tidak menyadari cinta sejati yang kita miliki di dalam hati...

Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun kita sedang bertengkar dengan pasangah hidup kita, namun kita tetap selalu berusaha saling menjaga nama baik dengan tidak mengumbar permasalahannya?
Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun beberapa orang melakukannya dalam keadaan emosi, namun kita tetap melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh pasangan hidup kita dengan kelebihan yang kita miliki?
Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun sedang merasa kesal pada pasangan hidup kita, namun kita tetap menghidangkan minuman baginya dan tetap sepenuh hati merawat anak-anak yang menjadi buah cinta kita?
Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun mungkin beberapa orang awalnya sempat terpesona oleh orang ketiga, namun kita kemudian segera melepaskan diri darinya, dari gairah atau rasa nyaman yang sempat tercipta, karena ingat keluarga?
Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun merasa sedih  melihat pasangan hidup kita menyimpang dari jalan kebenaran, namun kita dengan penuh kasih sayang memberikan peringatan?
Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun awalnya diliputi angkara murka dan air mata, namun pada akhirnya kita tetap memaafkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pasangan hidup kita?
Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun memulai pernikahan dari tanpa memiliki apa-apa, namun kita tetap mendampingi pasangan hidup kita, bahkan melakukan ikhtiar bersama-sama?
Bukankah cinta sejati namanya, ketika meskipun banyaknya permasalahan hidup dan ketidakcocokan terjadi, namun kita tidak serta merta melenggang pergi, bahkan berusaha lebih memahami?

Dan masih banyak lagi bukti cinta sejati yang masih bisa kita explorasi...

Ketika kita menikah, kita berjanji di hadapan Allah, dan ada tanggung jawab yg muncul akibat ikatan pernikahan. Jadi ketika ada pertengkaran biasanya masing-masing tidak serta merta melenggang pergi, meskipun dengan segala pengorbanan hati kita tetap mencoba mempertahankan ikatan suci, mencoba selalu tetap bersyukur dengan lebih memfokuskan pandangan kepada kelebihan yang pasangan kita miliki.
Karena setiap pertengkaran bagi pasangan suami istri mungkin merupakan isyarat Allah kepada kita agar kita belajar untuk lebih saling memahami...

Terkadang, kita hanya lupa - dan butuh diingatkan kembali - bahwa cinta sejati adalah cinta yang bisa memberikan ketenangan jiwa, seperti ketenangan yang ditimbulkan oleh pelukan dari kekasih tercinta... dan ketenangan jiwa yang sesungguhnya hanya bisa kita peroleh dari hubungan yang sudah dihalalkan oleh agama sehingga tidak berbuah dosa...

Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang paling sulit mengendalikan emosi... Namun bersamanya kita belajar untuk meningkatkan kesabaran diri...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang sering tidak mau mengerti... Namun bersamanya kita belajar untuk selalu mencoba memahami...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang paling egois yang pernah kita temui... Namun bersamanya kita belajar untuk bisa bertoleransi...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang sibuk dengan dirinya sendiri... Namun bersamanya kita belajar untuk menjadi orang yang peduli...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang sulit untuk diajak berdiskusi... Namun bersamanya kita belajar untuk mandiri dalam mencari solusi...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang jarang membantu urusan rumah tangga... Namun bersamanya kita belajar untuk menjadi orang yang multitasking sebagai jalan keluarnya...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang paling posesif di dunia... Namun bersamanya kita belajar bahwa kepercayaan itu mahal harganya...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang tidak memiliki banyak harta... Namun bersamanya kita belajar untuk meniti jalan menuju surga dengan ikhlas mendampinginya...
Mungkin saja pasangan hidup kita adalah orang yang paling sering membuat kita meneteskan air mata... Namun bersamanya kita belajar mencari penghiburan dengan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa...
Mungkin saja pasangan hidup kita tidak terlihat seperti orang yang terbaik di mata kita... Namun percayalah, dia adalah pasangan yang terbaik bagi kita menurut Sang Pencipta...

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”. (QS Al-Baqarah : 216).

Jakarta, 11 Oktober 2011
Di Hari Ulang Tahun Pernikahan ke 13th,
Yeni Suryasusanti

Minggu, 09 Oktober 2011

Saya Bukan Pujangga :D



Sejak SMP saya mencintai dunia tarik suara. Bukan karena gemerlap panggungnya, namun murni karena bagi saya untuk bisa menghayati setiap lagu adalah luar biasa.
Beberapa lagu bisa membuat saya "tenggelam" di dalamnya - entah itu lagu bertema jatuh cinta maupun lagu bertema patah hati - meskipun saat itu saya tidak sedang jatuh cinta ataupun patah hati :)
Saya bisa menyelami semua rasa yang ada pada lagu yang menjadi favorit saya - bahkan bisa meneteskan air mata saat menyanyikan syairnya - tetapi saya tidak bisa menuliskannya. Mekipun pernah menghasilkan cukup banyak tulisan dan puisi dari kehidupan saya sehari-hari, namun sulit bagi saya untuk menghasilkan tulisan dari sebuah kondisi buatan. Saya selalu kembali menjadi diri saya sendiri :D

Kemarin, seorang sahabat - Nadia Paritrana - menautkan link lagu ke Facebook saya. Jujur, lagu itu belum pernah saya dengar sebelumnya heheheh....
Namun segera saya googling syairnya untuk bisa mendalami rasa yang tercipta...

John Legend - Someday

As days go by and fade to nights
I still question why you left
I wonder how it didn’t work out
but now you’re gone and memories all I have for now
but no it’s not over 
we’ll get older we’ll get over
we’ll live to see the day that I hope for
come back to me I still believe that

we’ll get it right again
we’ll come back to life again
we won’t say another goodbye again
you’ll live forever with me

someday, someday, we’ll be together
someday, someday, we’ll be together

I heard someday might be today
mysteries of destinies they are somehow
and are someway for all we know 
they come tomorrow for today 
my eyes are open, my arms are raised for your embrace 
my hands are here to mend what is broken 
to feel again the warmth of your face

I believe there is more to life
oh I love you much more than life
and still I believe I can change your mind
revive what is dying inside

and someday, someday, we’ll be together
someday, someday, we’ll be together
someday, someday, we’ll be together
we’ll be together, we’ll be together
someday...

Mencoba mengasah kemampuan menulis saya, saya mencoba membuat sebuah puisi yang hadir dari rasa yang tercipta ketika saya melantunkan lagu dan menyanyikan syairnya.
Idealnya, jika saya seorang pujangga sejati, maka tulisan yang akan tercipta adalah rasa cinta yang luar biasa, rasa pedih dan tidak rela akibat berpisah dengan kekasih tercinta, bahkan rasa patah hati dan penggambaran sulitnya untuk bisa berbahagia tanpanya.
Namun hasil tulisan saya tidaklah demikian :D

Setiap kali kita bertemu
aku semakin jatuh cinta kepadamu
setiap kali kita bersama
waktu seakan berhenti untuk kita berdua

Bersamamu aku merasa luar biasa
bersamamu aku merasa dipuja
Bersamamu aku merasa dicinta
bersamamu aku merasa bahagia

Tak berani terus berandai
karena kenyataan terus melambai
jika pun mimpi tak akan sampai
biarlah kenangan tetap terangkai

Mari kita jalani hidup kita
dengan ikhtiar maksimal untuk semua
agar meskipun kita tak bisa bersama
kita tetap bisa merasa bahagia :)

Ending dari puisi di atas tercipta karena pernah pada suatu masa seseorang bertanya kepada saya, "Apa yang bisa aku lakukan agar kamu bahagia?"
Dan saya hanya tersenyum sambil berkata, "Kamu tidak usah khawatir tentang aku. Karena aku memilih untuk berbahagia di setiap langkahku. Apapun masalah yang aku hadapi, apapun kehilangan yang pernah dan mungkin akan terjadi, aku memilih untuk menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya..."

Akhirnya saya menyadari, bahwa sejatinya memang saya bukan pujangga. Karena sulit bagi saya untuk melepaskan diri dari realita dan nilai-nilai kehidupan yang ada dalam diri saya :)

Jakarta, 9 Oktober 2011
Yeni Suryasusanti