Senin, 31 Januari 2011

Perbaikan Diri : Wujud Dari Rasa Syukur


Akhir tahun, biasanya di pilih banyak orang untuk melakukan introspeksi yang biasanya menghasilkan resolusi, istilah kerennya.
Untuk saya, akhir tahun ini, disaat usia saya tepat 35 th, saya memilih untuk berbagi wacana singkat tentang perbaikan diri.

Setelah saya menulis tentang catatan perjalanan pernikahan saya di bulan Oktober yang lalu, banyak teman dan kerabat, baik pria maupun wanita, mengajak saya berdiskusi tentang perbaikan diri, terutama dalam hubungan antar suami istri.

Jika saya buat klasifikasi umum, hampir semua teman pria mengatakan akan menunjukkan tulisan tersebut kepada istrinya, dan setelah membaca umumnya istrinya akan berkata, “keenakan di elo dong…” :D
Sedangkan teman wanita memiliki kekhawatiran yang berbeda. “Masalahnya Yen, nggak fair banget dong kalau gue aja yang berubah, suami gue nggak. Capek di gue dong terus perbaikan, suami gue terima enaknya doang.”
Dari respon tersebut, saya menarik kesimpulan umum, bahwa pelaku rumah tangga di Indonesia masih merasa bahwa titik berat sebuah perubahan sikap diletakkan di tangan para wanita :)

Jujur, saat membuat tulisan itu, sama sekali tidak terpikir oleh saya masalah gender, juga masalah kedudukan wanita di dalam keluarga. Saat saya mengambil keputusan untuk berubah, sama sekali bukan karena memikirkan orang lain. Tapi justru karena saya memikirkan diri saya sendiri. Terdengar sangat egois? Hahahah…. Mungkin juga :D

Anyway, here we go, sesuai dengan judul notes ini, "Mengapa saya sampai bertekad untuk selalu mengadakan perbaikan diri dari hari ke hari?"

Tidak lain tidak bukan, karena membaca Al-Qur’an, tepatnya Surat An Nur : 26 :
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”

Dari keterangan di footnote, disebutkan bahwa ayat ini diturunkan saat ada fitnah kepada Ibu Aisyah dan Shafwan, sahabat Rasulullah.

Saat itu saya berpikir, bahwa Al-Qur’an merupakan Janji Allah kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepada Rasulullah saja.
Jadi bagaimana dengan saya? Saya berani mengatakan bahwa saya bukan wanita keji. Namun saya belum berani mengatakan saya wanita baik menurut ajaran Islam. Apakah karena itu saya merasa demikian banyak kekurangan suami saya saat itu? Karena saya bukan wanita baik sehingga tidak bisa mendapatkan laki-laki baik?
Terus terang sempat ada rasa takut. Apakah dengan demikian saya akan selamanya hidup bersama laki-laki yang tidak baik?
Namun kemudian muncul sebuah keyakinan bahwa tentu Janji Allah tidak akan se-sempit itu. Islam saja merupakan agama yang universal. Apalagi sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjanjikan bahwa Allah Maha Pengampun.
Maka sejak itu saya berjanji untuk selalu memperbaiki diri, meskipun tidak selalu langsung berhasil :D.
Dan Alhamdulillah, saya merasa Janji Allah terbukti pada rumah tangga saya, bahwa suami saya pun semakin hari semakin baik dan penuh cinta :D

Kepada teman pria yang berkata bahwa istrinya tidak bisa seperti tulisan saya, saya hanya bisa berkata, “Tidak ada salahnya kamu yang berubah terlebih dahulu. Percayalah, setiap perubahan akan ada efek domino-nya. Perubahan diri ke arah yang baik biasanya diikuti dengan perubahan orang-orang di sekitar kita ke arah yang lebih baik pula. Insya Allah, istrimu akan berubah menjadi lebih baik juga, karena saya yakin kamu pasti tidak akan memilih menikahi wanita yang tidak punya hati.”

Kepada teman wanita, yang pastinya lebih sulit diyakinkan :D, saya akan bertanya, “Kamu lebih percaya janji Allah atau janji manusia?”
Saya percaya semua akan menjawab, “Ya janji Allah dong…”
Maka saya akan meminta teman-teman wanita saya untuk yakin bahwa Janji Allah pada Surat An Nur : 26 diatas pasti akan terlaksana.

Bagi teman-teman yang belum memiliki pasangan hidup, saya ingin mengajak melihat dari sisi bahwa Allah masih memberikan waktu kepada kalian untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga langsung bisa mendapatkan pasangan hidup yang juga baik, di dunia atau di akhirat kelak. Jadi, selamat memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Allah dengan sebaik-baiknya :)

Di akhir tahun ini, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk melihat perubahan dari sudut pandang yang berbeda, bahwa perubahan ke arah yang lebih baik, yang dilakukan segera, tanpa menunggu pihak lain berubah lebih dulu, justru paling berguna untuk diri kita sendiri. Karena dengan berubah menjadi lebih baik secepatnya, kita akan lebih cepat menikmati Janji Allah, yaitu kehidupan yang lebih baik pula.

Bagi saya pribadi, perbaikan diri merupakan wujud dari rasa syukur saya atas nikmat Allah yang sudah banyak saya terima, sehingga perubahan tidak perlu menunggu akhir tahun dan awal tahun.
Sedikit demi sedikit, dari hari ke hari, saya selalu ingin berubah menjadi lebih baik. Sehingga akhirnya, pergantian tahun bagi saya hanya merupakan pergantian kalender dan penulisan angka tahun saja, bukan merupakan waktu yang spesial untuk sebuah resolusi, karena saya selalu berusaha melakukan introspeksi setiap hari.

Hanya saja, karena akhir tahun adalah hari ulang tahun saya, besoknya hari libur pula, sehingga yang istimewa bagi saya adalah moment berkumpul dengan keluarga, bukan pergantian tahunnya :D

So here I am, my friends, always be my self, only a better person day by day, Insya Allah...

Jakarta, 31 Desember 2009
Yeni Suryasusanti

Saya dan Air Mata





Mungkin karena saat saya masih kecil saya merasa lebih dekat dengan Papa, seingat saya sejak kecil saya tidak terlalu akrab dengan air mata. Saya justru lebih terkenal dengan sikap “ngambeg" daripada "cengeng" :D
"Tukang ngambeg" adalah adalah kata-kata yang sering dilontarkan oleh orang dewasa di sekeliling saya tentang saya. Saat ada kejadian yang tidak saya sukai, saya bukannya menangis, tetapi diam, berbalik dan berdiri menghadap tembok, demikian cerita Ibu dan kakak-kakak saya :)

Saat remaja, ketika saya mulai merasakan "permainan hati", air mata singgah dalam beberapa kesempatan. Meski begitu saya merasa malu jika menangis, dan saya merasa menjadi orang yang lemah jika meneteskan air mata.
Setiap kali saya merasa mata saya mulai berkaca-kaca, saya akan menggigit bibir saya dan mengeraskan hati hanya agar saya tidak menangis. Ketika itu saya beranggapan bahwa "orang yang kuat tidak akan menangis".

Seiring dengan bertambahnya usia, saya pun menyadari bahwa anggapan tersebut tidak benar, bahwa orang yang kuat pun terkadang perlu menangis, bahwa tidak ada yang salah dengan air mata, selama hal itu keluar dengan alami, bukan dengan maksud memanipulasi ataupun karena mengasihani diri sendiri.
Namun, karena telah terlanjur berpendapat bahwa "masalah saya tidak akan selesai hanya dengan air mata" tetap, bagi saya, air mata adalah hal yang sangat pribadi, yang sebisa mungkin saya kendalikan pelampiasannya terutama jika saya sedang berada dimuka umum, bagaimana pun situasinya.

Terus terang, hingga kini, kebiasaan saya dalam mengendalikan air mata jika berada di muka umum ini terkadang menimbulkan sedikit masalah, karena wanita dalam pandangan umum identik dengan air mata :)

Oleh beberapa teman semasa SMP dan SMA, saya dinilai tidak sensitif, tidak mempunyai perasaan hanya karena saya terlalu sering berpikiran logis dengan tidak menangis di saat wanita pada umumnya menangis :D
Saat putri saya, Nada Salsabila Hafizah, berpulang ke rahmatullah, seorang kerabat menyampaikan pembicaraan yang sempat terdengar olehnya tentang saya yang dianggap aneh karena tidak "bersedih" kehilangan seorang putri.

Tentu saja itu semua tidak benar. Hanya saja, saat SMP dan SMA, saya terlalu "angkuh" untuk menangis di depan orang lain.
Sedangkan saat Nada berpulang, air mata sudah tercurah saat saya dan suami dipanggil ke ruang ICU di saat Nada kritis, disaat Dokter melakukan tindakan CPR dengan menekan dada mungil Nada hingga 3 kali tanpa hasil. Setelah itu, setelah air mata saya tercurah dan mengambil kekuatan dari pelukan suami, setelah mengucapkan Inna Lillaahi Wa Inna Ilaihi Raaji'uun, alhamdulillah air mata pun menurut untuk saya kendalikan :)

Beberapa teman sempat bertanya, bagaimana saya bisa tegar saat Nada berpulang.
Saat itu jawaban saya hanya, "Nada tidak akan hidup kembali walaupun saya mengeluarkan air mata darah bahkan nanah, kan?"
Di samping itu, bayangkan bagaimana kebingungan Ifan jika melihat seluruh keluarga terpuruk dalam kesedihan dengan kepergian adiknya. Dengan siapa Ifan harus berpegangan? Jika saya dan suami tidak mengatasi duka kami, bagaimana kami bisa membantu mengatasi duka Ifan?
Jadi sebenarnya, mungkin bukan karena saya tegar, tapi karena ada perasaan orang lain yang harus saya pikirkan disamping perasaan saya sendiri, yaitu perasaan Ifan. Karena Ifan saya harus kuat.
Toh di saat air mata saya ingin mengalir, masih ada suami saya sebagai tempat bersandar. Kami bisa saling menguatkan. Kalaupun suami sedang tidak ada disaat saya ingin menangis, selalu ada Allah sebagai tempat saya mengadu :)

Saat saya berjanji kepada Allah untuk selalu belajar agar menjadi lebih baik, baik untuk dunia maupun untuk akhirat saya, air mata lebih sering mewarnai hari-hari saya dibanding sebelumnya.
Mata saya kerap berkaca-kaca dan air mata pun kerap menetes saat mengingat semua dosa yang telah saya lakukan, saat saya mohon ampunan Allah dalam shalat dan doa saya. Demikian juga saat saya masih belajar untuk ikhlas dan berusaha untuk diam ketika berselisih pendapat dengan suami, dan dalam banyak kesempatan saat kebahagiaan datang.

Pendekatan saya dalam mendidik Ifan mengenai "Air Mata" pun perlahan berubah.
Dulu, jika Ifan menangis karena suatu hal, maka kata pertama yang otomatis terlontar dari bibir saya adalah, "Ayo, Ifan, anak laki-laki tidak boleh cengeng..."
Sekarang, saat Ifan menangis biasanya saya memeluk dia erat-erat dan membiarkan Ifan menangis untuk beberapa waktu. Kemudian saya akan berkata, "Ifan, jika menangisnya sudah cukup, ayo sekarang kita bicara. Air mata saja tidak akan membuat masalah Ifan selesai. Bicarakan masalahnya, kita lihat apakah Bunda bisa membantu Ifan menyelesaikan masalahnya..."

Akhirnya, saya bisa berdamai dengan air mata dan menganggap air mata adalah bagian dari proses pembersihan jiwa. Karena akhirnya saya melihat dari sisi fakta bahwa Allah tidak melarang manusia untuk menangis. Rasulullah dan para sahabatnya juga kerap menangis dalam doanya kan?
Namun saya tetap tidak ingin meratap, disamping karena Allah melarang manusia untuk meratap, karena bagi saya meratap sama dengan mengasihani diri sendiri, yang berarti saya tidak ikhlas menerima ketentuan Allah. Sedangkan saya yakin Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya.

Dibawah ini saya kutipkan sebuah artikel dari Detik Health tentang 7 Keajaiban Air Mata, yang membuktikan bahwa semua hal yang tidak dilarang Allah pasti memiliki kegunaan :)

Jakarta, 10 Desember 2009
Yeni Suryasusanti

==========================================================================
Jumat, 21/08/2009 12:05 WIB

7 Keajaiban Air Mata
Nurul Ulfah - detikHealth


Jakarta, Siapa bilang menangis tak ada gunanya? Kelamaan menangis memang bisa bikin mata merah dan bengkak. Tapi jangan salah, menangis dan mengeluarkan air mata ternyata bisa jadi obat ajaib yang berguna bagi kesehatan tubuh dan pikiran. Apa saja?

Dikutip dari Beliefnet, Jumat (21/8/2009), ini dia 7 keajaiban yang bisa Anda dapatkan setelah menangis dan berair mata.
  1. Membantu penglihatan
  2. Air mata ternyata membantu penglihatan seseorang, jadi bukan hanya mata itu sendiri. Cairan yang keluar dari mata dapat mencegah dehidrasi pada membran mata yang bisa membuat penglihatan menjadi kabur.
  3. Membunuh bakteri
  4. Tak perlu obat tetes mata, cukup air mata yang berfungsi sebagai antibakteri alami. Di dalam air mata terkandung cairan yang disebut dengan lisozom yang dapat membunuh sekitar 90-95 persen bakteri-bakteri yang tertinggal dari keyboard komputer, pegangan tangga, bersin dan tempat-tempat yang mengandung bakteri, hanya dalam 5 menit.
  5. Meningkatkan mood
  6. Seseorang yang menangis bisa menurunkan level depresi karena dengan menangis, mood seseorang akan terangkat kembali. Air mata yang dihasilkan dari tipe menangis karena emosi mengandung 24 persen protein albumin yang berguna dalam meregulasi sistem metabolisme tubuh dibanding air mata yang dihasilkan dari iritasi mata.
  7. Mengeluarkan racun
  8. Seorang ahli biokimia, William Frey telah melakukan beberapa studi tentang air mata dan menemukan bahwa air mata yang keluar dari hasil menangis karena emosional ternyata mengandung racun. Tapi jangan salah, keluarnya air mata yang beracun itu menandakan bahwa ia membawa racun dari dalam tubuh dan mengeluarkannya lewat mata.
  9. Mengurangi stres
  10. Bagaimana menangis bisa mengurangi stres? Air mata ternyata juga mengeluarkan hormon stres yang terdapat dalam tubuh yaitu endorphin leucine-enkaphalin dan prolactin. Selain menurunkan level stres, air mata juga membantu melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh stres seperti tekanan darah tinggi.
  11. Membangun komunitas
  12. Selain baik untuk kesehatan fisik, menangis juga bisa membantu seseorang membangun sebuah komunitas. Biasanya seseorang menangis setelah menceritakan masalahnya di depan teman-temannya atau seseorang yang bisa memberikan dukungan, dan hal ini bisa meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan juga bersosialisasi.
  13. Melegakan perasaan
  14. Semua orang rasanya merasa demikian. Meskipun Anda didera berbagai macam masalah dan cobaan, namun setelah menangis biasanya akan muncul perasaan lega. Setelah menangis, sistem limbik, otak dan jantung akan menjadi lancar, dan hal itu membuat seseorang merasa lebih baik dan lega. Keluarkanlah masalah di pikiranmu lewat menangis, jangan dipendam karena Anda bisa menangis meledak-ledak.

Sharing Copy Paste : Belajar Menerima Masukan Orang lain

Tulisan di antara rangkaian tulisan... Lagi-lagi tulisan Poppy Yuditya membuat saya merenung... dan merasa seperti berkaca... betapa saya pun tidak setiap saat mampu menerima masukan orang lain dengan sikap yang positif :D
Dengan izinnya, tulisan ini saya share... semoga bermanfaat bagi yang membaca...
Terima kasih adik paskibra tersayang atas tulisan2nya yang selalu membuat ilmu saya bertambah setelah membacanya... semoga saya diberikan kekuatan oleh Allah untuk melawan kesombongan dan keegoisan diri saya... semoga saya tetap selalu bisa menerima kritik dengan lapang dada... karena jujur, bagi saya pribadi, terkadang sungguh berat rasanya menahan diri untuk tidak membela diri saat orang mengkritik saya :)

Jakarta, 2 Desember 2009
Yeni Suryasusanti

==========================================================================

Episode: Belajar Menerima Masukan Orang lain .......[Berjilbab: It's not the End, It's the Beginning (XII)]
By : Poppy Yuditya


"Telinga kita diciptakan Allah berjumlah dua, dengan satu mulut dengan maksud supaya kita lebih mudah mendengar dan sedikit bicara....."

Kata-kata di atas mungkin klise cenderung basi, tapi untuk saya tidak pernah demikian...
Kata-kata ini berguna untuk selalu mengingatkan saya mengurangi bicara dan lebih banyak mendengar karena ini memang merupakan salah satu kelemahan saya....

Episode ini dimulai dari cerita kanak-kanak saya, bagaimana saya tumbuh dan berkembang dengan kondisi lebih sering didengar daripada mendengar sehingga saya butuh untuk belajar mendengar dan menerima masukan orang lain....Dua hal yang mungkin untuk beberapa orang adalah suatu hal yang biasa, untuk saya merupakan jihad tersendiri....

***

Kata Mama, saya adalah anak mama yang paling cepat cerewet, saya mulai ngomong banyak sejak sebelum berumur satu tahun, walaupun gak ada yang ngerti saya ngomong apa...:). Pokoknya ngoceh teruuuus, dan pantang menyerah walaupun gak ada orang yang ngerti pun....

Selain rajin ngomong saya juga rajin ngajar, dulu (lagi-lagi menurut crita mama dan kakak saya, mbak Denny) saya sering ngumpulin boneka saya duduk rapi untuk mendengarkan saya mengajar...huahahaha...rada-rada kaya' orgil yah...:P.

Kelas satu SD saya sudah berhasil mengajarkan PRT saya, mbak Darmi, dari buta huruf sampai bisa berhasil membaca hanya dalam waktu satu bulan...:). Kata mbak Darmi, kalo lagi ngajar saya galak banget, benar-benar kaya' bu guru, serius dan marah kalo muridnya gak mau belajar...(widiih kaya' anak gede bgt yah!!!)..

Alhamdulillah, hal yang saya sangat syukuri adalah saya termasuk anak yang cukup pintar di masa SD. Tanpa pernah meluangkan waktu untuk belajar pun, saya hampir tidak pernah melepas ranking I dari daftar raport saya..Belum lagi saya termasuk anak yang cukup aktif, sehingga sering dipilih untuk kegiatan ini dan itu....Hal ini sedikit banyak membuat saya merasa lebih tahu tentang banyak hal daripada teman lain (sorry guys..:() sehingga tidak pernah sekalipun saya bertanya kepada teman-teman saya tentang pelajaran dan berimbas tidak bertanya pada hampir semua hal kepada teman-teman saya karena ketika itu saya merasa saya pasti lebih tahu...(hiks....).

Enam tahun saya tumbuh dan berkembang dalam kondisi seperti itu, sehingga sedikit banyak membuat saya jadi orang yang cenderung suka memberitahu daripada bertanya...suka mengajar dibanding diajar....suka bicara dibanding mendengar...

Masuk SMP sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda, sampai saya aktif dalam kegiatan PRAMUKA..Di situ saya punya keluarga baru saking seringnya kita latihan, persami, LT,jambore, dan masih banyak kegiatan lainnya..Di situlah awal persahabatan saya dengan seorang sahabat yang luar biasa, Sarwindah Pitantri (saya biasa memanggil dia: Indah)...the only person that bravely criticize me whenever she felt uncomfortable with what I do....Dimulai dengan,"Pop, elo tuh kalo diajak ngomong, dengerin dunk"..."Gue denger kok!!"..."Mana gue tahu elo dengerin kalo mata loe gak ke gue!!!".....WOW....kaget sekali saya dibuatnya.....saya jadi mengingat-ingat kembali, apa yang selama ini saya lakukan..ternyata benar, ketika orang bicara, saya jarang melihat ke mata orang yang bicara...biasanya saya mendengar sambil melihat ke tempat yang lain karena saya juga tidak mau kehilangan moment di tempat lain...(saya memang termasuk orang yang multitasking, saya biasa belajar/baca buku sambil nonton tivi dan saya bisa menangkap semua ceritanya secara bersamaan....). Saya tidak pernah sadar bahwa kebiasaan itu buruk sampai Indah menyadarkan saya. Mulai saat itu, saya belajar untuk memandang mata orang yang sedang bicara.....Tapi ternyata Indah belum puas juga, dia bilang "Pop, elo kalo dengerin orang jangan sambil mikir sendiri, fokus napa?" Ups, ternyata kalo kita ndengerin gak sepenuh hati (sambil mikir kemana-mana) orang tuh bisa ngerasain "ketidakhadiran" kita dalam pembicaraan....
Sejak saat itu, saya belajar untuk fokus pada apa yang ingin orang sharing kepada saya....Sehingga orang bisa nyaman bicara sama saya....Ini benar-benar butuh perjuangan dan pengorbanan, karena saya memang sangat terbiasa multitasking....

Kebiasaan SD saya yang lain terus terbawa sampai saya kuliah. Saya gak suka nanya, padahal kondisinya sudah jauh berbeda...Saya lebih suka belajar dari baca buku sendiri daripada belajar kelompok, saya lebih suka mengerti sendiri daripada mendengarkan penjelasan teman, atau asdos...hasilnya, saya gak lulus mata kuliah matematika B1....(Shock berat, karena matematika adalah pelajaran favorit saya, saya bahkan pernah dapat nilai 10 di raport utk mata pelajaran ini di kelas III SMP)....Yang paling "nyesek" adalah ketika saya sadar bahwa soal yang saya tidak bisa kerjakan ternyata sudah dibahas oleh teman-teman saya dalam belajar kelompok malam sebelumnya...hiks, coba bayangkan apa kerugian saya hanya karena saya tidak ingin bertanya dan menerima masukan dari orang lain....:(

Sifat yang sulit menerima masukan dari orang lain ini berlanjut juga ketika masa awal-awal berjilbab, saya belum sempat koleksi baju-baju khusus...jadilah saya memakai kaos panjang pas badan milik mama, jilbab mama plus celana jeans saya...Untung ajah kantor saya dulu santai, boleh pake jeans dan kaos ke kantor..:)...Sampai salah satu teman kantor saya nyindir sambil nyolek saya di depan teman-teman lain di depan lift,"Pop, pake jilbab bajunya seksi amat!!!"...Idiiih bete bgt dengernya.."sapa sih loe yang berhak untuk menilai baju gw????sahabat bukan, saudara bukan,urus ajah diri loe sendiri" kata saya dalam hati....Di kemudian hari saya baru sadar, kenapa saya harus marah,apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang benar dan baik, dia mengingatkan saya untuk berpakaian muslimah yang baik. Bisa jadi teman saya itu mungkin gak ngeh kondisi saya ketika itu yang baru seminggu pake jilbab dan memutuskan untuk segera menutup aurat dengan barang yang ada, coba bayangkan kalo saya harus menunggu koleksi baju muslim saya lengkap dulu, kapan saya akan pake jilbab???? Dosa satu hari tanpa jilbab saja tak pernah saya bayangkan bisa sanggup saya jalankan balasannya...hiks. ..:(....Kembali ke kritikannya, seharusnya saya berterimakasih kepadanya karena diingatkan...Tapi kecenderungan kita memang tidak begitu bukan? Kita biasanya mau menerima masukan hanya dari sahabat dekat kita atau orang-orang yang kita anggap memang lebih pintar atau lebih punya posisi, lebih beken, dan lebih terpandang.....

Cerita mulai agak berbeda ketika saya mulai "haus" cinta Allah, saya merasakan perubahan besar dalam diri saya. Saya jadi suka bertanya...saya jadi suka diajar....saya jadi suka mendengarkan orang lain...Karena dalam hal ini saya memang nol padahal saya harus mengejar banyak ketinggalan saya...Untuk itu saya mau tidak mau, mudah tidak mudah harus bisa dan harus mau menerima masukan dari orang lain...Di sini saya disadarkan, bahwa ketika kita dalam posisi "underdog" atau tidak berilmu ternyata kita tidak punya banyak barrier untuk menerima masukan....

Tapi ini pun masih banyak tantangannya...Ketika ada satu masukan, saya biasanya mulai cari excuse-excuse sendiri yang membenarkan tindakan-tindakan yang saya lakukan...Sulit langsung menerima ajaran-ajaran Quran dan sunnah yang walalupun sudah jelas-jelas benar, tapi kita selalu punya excuse untuk tidak melakukannya....Kalau sudah begitu, saya cenderung cari hadits tandingan yang membuat tindakan saya benar....(Ini sangat berbahaya!!!!!)

Suatu hari ada tausyiah dari salah satu ustadzah yang dekat dengan saya, "Poppy, kalau mau menjadi orang yang kaya ilmu, satu hal yang harus diingat, cobalah belajar menerima masukan dan kritikan tanpa komentar sedikitpun untuk menimpali si pemberi masukan atau kritikan, walaupun mungkin kamu dalam posisi lebih tahu dan lebih benar. Bila setiap orang berhasil melakukan itu, maka Insya Allah kita semua akan menjadi manusia-manusia kaya ilmu "...Nah lho, gimana caranya tuh??? Saya ingin menjadi orang yang kaya ilmu, maka untuk itu saya harus belajar mendengar lebih banyak dan sedikit bicara....

Saya kemudian berlatih....saya coba duduk diantara sahabat-sahabat saya untuk melatih saya ikhlas menerima kritikan (lebih mudah belajar dengan mendapat kritikan dari sahabat sendiri bukan??). Mulailah satu-satu sahabat saya mengungkapkan apa-apa saja yang menurut mereka merupakan kekurangan saya...saya berusaha bertahan untuk tutup mulut ketika mereka mulai menggambarkan bagaimana orang memandang saya dan apa yang mereka tidak suka dari saya. Ketika mendengar paparan mereka, banyak sekali yang ingin saya jelaskan ke mereka, tentang alasan saya melakukan itu, saya mau teriak bahwa saya tidak seburuk itu, saya mau marah karena mereka seenaknya men-judge saya, mereka gak tau apa niatan saya, mereka gak tau apa yang ada dalam lubuk hati saya....saya mau menangis karena ternyata bahkan sahabat saya pun ternyata tidak melulu mendukung dan menerima tindak tanduk saya!!!
Satu, dua, tiga kalimat yang ingin saya teriakkan berhasil saya redam, saya diaaaaaaam saja...wajah saya mulai memerah...saya masih diam saja...walaupun dalam hati marah, kecewa, benci, sakit hati campur baur dalam hati saya...namun saya belajar untuk diam dan menerima apa yang sahabat-sahabat saya ungkapkan....Setelah 10 menit berlalu, keinginan marah, sedih, benci yang sebelumnya menguasai hati saya berganti dengan akal pikiran yang jernih....Allah memang Maha Pembolak balik Hati.....Saya mulai bermuhasabah, berpikir dan mencoba berkaca dengan sebenar-benar berkaca...Ternyata memang tidak melulu salah apa yang dikatakan sahabat-sahabat saya tercinta itu dan semua yang diungkapkan ternyata malah di kemudian hari membawa fungsi cermin bagi saya..Saya jadi ingat, kalo saya melakukan A, maka orang akan berpikir begini, kalo saya melakukan B, maka orang lain bisa jadi berpikir begitu....Semua menjadi sangat bermanfaat......Coba bayangkan kalo dalam 10 menit pertama saya sudah meledak atau menimpali semua komentar sahabat-sahabat saya, niscaya saya tidak akan mendapatkan masukan yang berarti, saya malah dapat musuh baru: sahabat-sahabat saya sendiri!!!!

Cerita pembelajaran saya untuk dapat menerima masukan orang lain tidak berhenti sampai di situ. Saya berlatih untuk tidak jadi orang yang merasa lebih tahu apabila ada teman yang memberi masukan tentang sesesuatu hal yang sebenarnya saya tahu atau punya ilmu tentang itu (susah bgt karena dasarnya emang sok tahu!! Hiks)... Rugi sekali...Orang jadi malas memberitahu kita ilmu yang akan memperkaya tabungan ilmu kita apabila kita sok tahu!!!! Padahal bisa jadi ilmu yang dia miliki belum kita miliki, hasilnya kita kehilangan ilmu yang sebenarnya bisa kita miliki dari dia....

Belajar tidak berkomentar atau mencari pembenaran atau excuse pun tidak kalah sulitnya bagi saya.Belajar untuk menerima orang lain yang memang bisa jadi lebih tahu dan lebih benar bukan hal mudah bagi saya...Apabila ada yang menasehati, saya cenderung bilang " yah saya sudah melakukan itu, tapi bla bla bla", "yah saya juga tahu, tapi bla bla bla", dan masih banyak 'tapi" "tapi" yang lain....Manusia pada dasarnya suka sekali berkompetisi dan bersaing termasuk bersaing dalam hal "banyak-banyakan ilmu"...Kalau memang membawa kepada kebaikan, why not? Bukankah sudah di encourage oleh Allah dalam banyak ayat-Nya FASTABIQUL KHAIRAT (Berlomba-lomba dalam kebaikan).....Tapi masalahnya gak gitu. Kadang kita menjawab hanya karena tidak mau dianggap tidak ngerti atau bodoh...Kita sering menjawab hanya karena gengsi karena merasa orang yang menasehati kita itu tidak lebih baik dari kita...Atau bahkan kita marah atau tidak terima masukan dari orang lain karena kita berpikir "siapa loe???? deket juga kagak!!! pinter juga kagak!!!! tau agama juga cuma dari buku!!! anak pesantren mana sih dia??? tobat juga baru!!! " dan masih banyak lagi barrier kita yang bersumber pada orang yang memberi masukan pada kita....

Namun pada akhirnya saya mulai menyadari bahwa "tapi" "tapi" ini sangat annoying bagi orang yang sudah bersusah payah mencoba membantu kita dengan permasalahan kita, sayangnya kita menanggapi masukan/ilmu yang dia berikan dengan kata "tapi" seakan-akan ilmu darinya tidak bermanfaat...Kenapa sih kita gak belajar untuk diam dan mengucapkan "Terimakasih" tanpa embel-embel lain atas waktu dan perhatiannya pada kita???

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa saya simpulkan dari tulisan saya kali ini supaya kita bisa belajar untuk mendengar lebih banyak dan belajar menerima masukan orang lain dengan lebih ikhlas?
  1. Tempatkan diri kita pada posisi zero alias nol. Anggaplah kita memang tidak mengerti sama sekali apa yang disampaikan oleh teman, sahabat, saudara dan bahkan orang yang tidak kita kenal...Anggaplah bahwa orang yang bicara dengan kita itu lebih tahu dari kita...Percayalah dengan cara seperti ini, kita lebih mudah untuk menerima masukan orang. Bukankah lebih enak punya banyak ilmu sehingga kita bisa memilah-milah mana yang benar dan mana yang salah???
  2. Mendengar sepenuh hati. Mendengar dan berada sepenuhnya dalam pembicaraan selain merupakan penghormatan kepada yang bicara juga akan sangat bermanfaat bagi kita untuk fully concentrated pada apa yang disampaikan...Salah satu caranya adalah menjaga kontak mata kita dengan orang yang sedang bicara dengan kita. Rasulullah adalah orang yang paling perhatian pada orang yang mengajaknya bicara. Bukan hanya kontak mata, kontak tubuh sepertil memeluk dan menepuk pun dilakukan Beliau untuk menunjukkan perhatiannya...
  3. Mendengar tanpa berkomentar "tapi". Karena komentar "tapi" ini merupakan cikal bakal penolakan hati dan akal kita pada kebenaran yang hakiki...Komentar "tapi" ini lebih banyak merupakan egoisme diri karena merasa lebih tahu dan lebih benar...Bersyukur dan berterimakasihlah atas masukan yang benar. Kalau belum mampu menjalankan, jangan pernah menolak isi Quran apalagi mencari excuse-excuse untuk tidak menjalankan atau menolaknya..Berdoa saja semoga Allah selalu memberi perlindungan dan Hidayah-Nya kepada kita...
  4. Jangan pilih-pilih dalam menerima masukan. Jangan cuma sahabat sendiri yang didengar, atau orang-orang yang kita yakin lebih berilmu dari kita karena itu hanyalah ukuran kita. Bisa jadi ukuran Allah berbeda...Orang yang kita kira lebih berilmu ternyata malah tidak seberapa ilmunya dibanding orang yang kita cuekkin. Cobalah belajar menerima masukan dari siapa saja: miskin-kaya, atasan-bawahan, berpendidikan-tidak berpendidikan, beken-tidak beken, selama dia menyampaikan kebenaran dan berpotensi membawa kita menuju surga maka dengarkanlah!!!!! Bukankah Rasulullah pernah ditegur Allah karena bermuka masam ketika seorang buta datang menghampiri Beliau ketika Beliau sedang berbicara dengan pembesar-pembesar Quraisy??? (Lengkapnya baca Quran Surat 80: Abasa).
  5. Tidak memotong pembicaraan dan tidak sok tahu (merasa lebih tahu) dalam upaya belajar mendengar dan menerima masukan...Itu rumus utama supaya kita pun nantinya akan didengar dan disayang orang lain...Upayakan menjadi orang yang menyenangkan dan lembut hati, karena itu pesan Allah dalam surat Ali Imran :159 ,"Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu”
  6. Berlatih untuk diam ketika orang sedang mengkritik kita. Tidak perlu membela diri. Walaupun tidak terima, coba untuk diam saja sekuat mungkin....(semoga kuat!!)...Bahkan kalo sanggup, ucapkan terimakasih....Kalaupun mau meluruskan sesuatu atau kritikannya benar-benar salah alamat, maka sampaikan setelah orang yang mengkritik kita benar-benar telah selesai mengungkapkan semua yang dirasakan. Karena setiap orang punya pandangan berbeda kepada kita. Kritikan ini sangat baik untuk kita bercermin, seperti apa diri kita ini di mata orang lain. Insya Allah akan membawa kita menjadi manusia yang lebih baik lagi....

Saya masih jauh dari berhasil...tapi saya akan terus berusaha....Saya tahu tidak mudah, tapi inilah JIHAD, melawan hawa nafsu berupa kesombongan dan keegoisan diri...Ada saat memberi dan ada saat menerima, semua harus dalam keadaan seimbang, atau nanti kita akan pincang dalam perjalanan kita mendekatkan diri kita kepada Allah....

Fastabiqul Khairat!!!!

Allahu'alam bish-shawab.....

Ifan dan Ketidaksempurnaan



Saat saya mulai menulis tentang Ifan, suami saya pernah menyampaikan kekhawatirannya. Setelah saya renungkan, kekhawatiran suami saya sangat beralasan. Suami saya khawatir akan tersirat dari cerita-cerita saya bahwa Ifan adalah seorang anak yang sempurna, selalu dalam kondisi matang, selalu terkontrol emosinya, pokoknya selalu baik kesehariannya. Padahal, layaknya seorang anak, tentu saja hal itu tidak benar. 

"Nobody's perfect." Kata yang mudah diucapkan, tapi sulit di ikhlaskan, terutama jika ini menyangkut tentang anak kita, at least, saya pernah merasakannya, bahwa lebih mudah mengikhlaskan kekurangan pasangan hidup daripada anak.
Dalam kasus saya, mungkin karena saya beranggapan bahwa pasangan hidup bertemu saya saat sudah terbentuk karakternya. Tetapi anak, kita mendidiknya seolah dari kertas putih hingga menjadi berwarna. Terkadang ada warna yang tidak kita torehkan, namun muncul, mungkin karena lingkungan disekitar kita ikut andil dalam memberi warna dalam kepribadian anak-anak kita. Bisa jadi kita tidak menyadari telah menorehkan warna tersebut.

Ketika mulai belajar mengikhlaskan kekurangan Ifan, saya juga sekaligus belajar mengeksplorasi kelebihannya. Kami berusaha mencari jalan bagaimana merubah kekurangan Ifan menjadi kelebihan, atau paling tidak mengeliminir kekurangan tersebut semaksimal mungkin. Namun kelebihan yang Ifan miliki, setiap pencapaian - sekecil apapun pencapaian itu - saya anggap sebagai sebuah prestasi.

Sharing kali ini saya tulis untuk memberikan gambaran yang lebih "membumi" tentang Ifan. Bagaimana saya pun belajar banyak dari ketidaksempurnaan tersebut, mungkin bahkan lebih dari Ifan sendiri.

Ifan dan Shalat

Di SD Bhakti tempat Ifan bersekolah, yang wajib ikut shalat Jumat adalah siswa kelas 4 - 6. Sebenarnya saat shalat jumat berlangsung Ifan ada ekskul Aritmatika untuk siswa kelas 1 - 3. Meskipun begitu, sejak Ifan naik ke kelas 3, guru Aritmatika menulis di agenda sekolahnya, bahwa Ifan selalu minta izin untuk ikut shalat Jumat dulu, sehingga Ifan baru bisa meneruskan pelajarannya setelah itu dan akibatnya akan pulang lebih lama dari jadwal yang ditetapkan.
Bagi teman-teman yang pernah membaca rangkaian tulisan saya tentang Ifan di notes facebook saya, mungkin ingat bahwa Ifan saat puasa juga senang shalat subuh di mesjid dekat rumah kami.

Dulu, Ifan sering sulit diingatkan untuk melaksanakan shalat. Ifan tidak pernah menolak, tidak pernah mengatakan "tidak mau shalat". Ifan selalu mengatakan "Iya" tetapi kenyataannya tetap asyik dengan kegiatan yang saat itu sedang dilakukan, misalnya menonton TV, terutama shalat magrib dan Isya, dimana saat itu film kartun di TV Anak sedang seru-serunya. Saat saya sedang tidak dalam kondisi kesabaran yang prima, sangat mengesalkan bagi saya jika Ifan menunda-nunda shalat dan menunggu hingga acara yang menarik tersebut selesai ditayangkan. Jika TV saya matikan, maka Ifan akan melakukan shalat dengan bersungut-sungut.

Suatu hari, saat saya kesulitan menyuruh Ifan shalat, saya tiba-tiba ingat bahwa Ifan sepertinya selalu bersemangat jika melaksanakan shalat secara berjamaah di masjid.
Saat mendengar adzan, saya mendorong Ifan untuk shalat di mesjid. Meskipun sedang asyik menonton TV, Ifan langsung melompat dan berlari ke menuju mesjid :D
Sejak saat itu, jika kami sedang berada di rumah, Ifan selalu melaksanakan shalat magrib dan isya di mesjid. Fian pun tidak mau ketinggalan, setiap terdengar adzan, dia langsung berteriak, "Abaaang... mejidddd..." :D
Namun, seperti yang saya katakan di awal sharing ini, Ifan bukan anak yang sempurna. Jadi tetap, saat Ifan shalat di rumah karena belum pulang sekolah atau belum terbangun saat adzan berkumandang, Ifan terkadang melakukannya dengan terburu-buru karena takut ketinggalan tayangan menarik di TV. Meskipun tak pernah bosan untuk mengingatkan Ifan bahwa hal tersebut tidak baik, saya menyadari bahwa kematangan pribadi memerlukan proses yang tidak sebentar. Saya percaya, Allah Maha Mendengar. Setelah melakukan usaha maksimal, saya hanya bisa berdoa semoga Allah mengabulkan permintaan Saya dan suami yang tak putus berdoa agar Ifan (dan tentu juga Fian) tumbuh menjadi anak yang shaleh :)

Ifan dan Kuku

Dulu saya menggunting kuku Ifan seminggu sekali pada saat weekend. Saat saya tidak sempat, pengasuh yang mengguntingnya.
Beberapa bulan yang lalu, saat akan menggunting kuku Ifan, saya kaget karena kukunya pendek. Saya bertanya kepada pengasuh Ifan, apakah dia telah menggunting kuku Ifan. Ternyata tidak. Entah kapan dimulainya ternyata Ifan memiliki kebiasaan menggigit kukunya :(
Terbiasa mendidik dengan sistem "Reward and Punishment", saya mencoba menjalankan hal tersebut dalam beberapa waktu. Memberikan pengertian bahwa menggigit kuku itu bisa menimbulkan penyakit, Janji hadiah pernah ditawarkan, Uang tabungan pernah ditahan, Komputer pernah di sita, TV pernah di sita, namun tidak juga berhasil. 1 minggu Ifan pernah berhasil tidak menggigit kuku saat DS di sita. Namun, setelah kukunya digunting dan DS kembali diberikan, kebiasaan buruk itu terulang kembali :(

Suatu malam, suami saya pulang dari kerja, dan bertanya pada saya,
"Apakah Ifan dihukum lagi malam ini?"
Dug, rasa tertinju dada saya.
"Nggak kog, Yah... memang kenapa?"
"Nggak apa-apa. Hanya ayah perhatikan belakangan Ifan sering dihukum karena menggigit kuku. Memang bukan hukuman berat, tapi kalau terlalu sering kan malah jadi tidak efektif," kata suami saya sambil tersenyum.
"Terus terang Yah, Bunda kehabisan cara menghilangkan kebiasaan Ifan menggigit kuku..." keluh saya.
"Bunda, coba telusuri masalah ini hingga ke akarnya. Mengapa Ifan menggigit kuku? Karena kita pernah lupa menggunting kukunya kan?"
Duh... kepala saya serasa diguyur air dingin...
"Iya juga ya Yah... Ifan menggigit kuku karena kukunya cukup panjang untuk di gigit..."
Saya kini tersenyum.
Ya Allah, terima kasih Engkau memberikan suami yang bijak ini padaku... Suami yang meskipun dalam keseharian jarang sekali ikut campur tangan dalam mendidik buah hati kami, namun tidak berpangkutangan melihat masalah yang terjadi...

Esok harinya saya mengajak Ifan bicara. Saya mengatakan bahwa saya akan memeriksa dan menggunting kuku Ifan setiap hari untuk menghentikan kebiasaannya menggigit kuku. Ifan setuju.
Mulailah proses pembelajaran Ifan menghentikan kebiasaannya menggigit kuku.

Setiap malam, sepulang kerja, saya memeriksa kuku Ifan. Ada yang digigit, saya tidak marah, tapi saya memotong semua kukunya sambil menjelaskan bahwa ini saya lakukan agar Ifan tidak bisa menggigit kuku lagi. Ifan sempat takut sakit, tapi saya tersenyum dan mengatakan bahwa saya akan pelan-pelan mengguntingnya. Hal itu berlangsung selama beberapa waktu, setiap hari saya menggunting kuku Ifan.
Hingga akhirnya, saat saya memeriksa kukunya, tidak ada bekas gigitan di satu kuku jari pun.
Saya pun tersenyum, dan bertanya apakah malam ini Ifan ingin digunting kukunya. Ifan bilang tidak mau. Besoknya, Ifan tidak menggigit kuku lagi, tapi meminta kukunya digunting, karena khawatir terlupa dan menggigit kuku lagi :)

Ternyata, sesuai dugaan suami saya, begitu saya mengatasi akar permasalahannya, kebiasaan buruk menggigit kuku pun berhasil Ifan hilangkan. Saat ini, saya sudah kembali seperti dulu, menggunting kuku Ifan seminggu sekali. Namun, di saat-saat tertentu di tengah minggu, Ifan terkadang meminta kukunya digunting jika sudah terlalu panjang dan menggoda untuk digigit olehnya :D

Inilah Ifan, dan beberapa keberhasilannya dalam mengatasi kekurangan.
Tentu saja masih banyak kekurangan lain pada diri Ifan saat ini.
Namun meskipun tidak sempurna, ada kelebihan utama Ifan yang selalu membuat saya tak putus bersyukur kepada Allah : Ifan tumbuh menjadi anak yang penuh cinta, pada keluarga, terutama pada saya, dan tidak malu menunjukkan kasih sayangnya.
Jika saya pulang terlambat dari kantor, Ifan akan berlari menyongsong saya di teras rumah sambil berkata, "Bunda kemana aja? Ifan cemas... Ifan khawatir..." :)
Pernah saat saya, suami dan Ifan jalan-jalan di mall, saya meraih lengan suami saya untuk menggandengnya. Dengan mimik wajah lucu mengajak bercanda sambil menghindar, suami saya berkata, "Ih, Bunda, ngapain sih pegang-pegang..."
Ifan langsung melotot kepada Ayahnya, menghampiri saya dan menggandeng tangan saya sambil berkata, "Sini Bunda, biar Ifan yang gandeng Bunda. Tenang aja Bunda, Ifan akan selalu ada di samping Bunda..." hahahah... duh, romantisnya anakku...
Tadi malam, Ifan terbangun dan pindah ke kamar saya. Saya memeluk Ifan dan Fian hingga pagi.
Saat bangun dari tidurnya pagi ini, masih berada dalam pelukan saya, Ifan menoleh pada Fian yang terbangun juga,
"Fian, siapa ibu yang paling baik di dunia? Bunda !!!" serunya :D

Jakarta, 20 November 2009
Yeni Suryasusanti

Sharing Copy Paste : Jadilah Seperti Kopi

Cerita ini sudah sering beredar di Internet. Di label dengan seri motivasi. Sebenarnya sudah lama pernah saya baca di email, dikirim oleh seorang teman, bahkan lebih dari 1 kali. Tapi tidak pernah saya skip meskipun telah hampir hafal isinya. Cerita ini menjadi pengingat bagi saya untuk selalu menjalani hidup dengan ikhlas dan sabar.
Hari ini, cerita ini mampir lagi di mailbox saya, dikirim oleh Milis Annahl. Saya posting di sini agar menjadi pengingat bagi semua yang membaca...

Jakarta, 30 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti


==========================================================================

Jadilah Seperti Kopi





Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.

Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kamu lihat, nak?”

“Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.

Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?” Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.

Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.

Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.Semakin lama semakin harum tercium.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kamu menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?”

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu?

Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

oOo

Kehidupan sebenarnya sekolah kearifan. Persis dengan sekolah yang sebenarnya, ia juga menyimpan banyak PR (pekerjaan rumah). Setiap kali sebuah PR selesai pasti disusul dengan PR yang lain.

Ketika persoalan, tantangan atau godaan itu datang, itu berarti masa ulangan umum (ujian) menjelang kenaikan kelas atau kelulusan akan datang.

Betapa seringnya kita kehilangan kesempatan untuk naik kelas dalam kehidupan, dan betapa banyaknya PR yang kita tinggalkan. Karena kita tidak suka menghadapai masalah bahkan lari darinya.

Yang terpenting sebenarnya bukan berapa banyak kita jatuh. Tapi seberapa banyak kita bangun. Karena keberhasilan ditentukan oleh seberapa banyak kita bangun, bukan seberapa banyak kita jatuh!

oOo

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Ifan dan Adik

Alhamdulillah, selama ini saya belum pernah mengalami Ifan cemburu pada adiknya.
Saat Ifan berusia 3 th, suami dan saya mempunyai keinginan untuk memberi Ifan seorang adik. Sebelum terjadi kehamilan, kami berkonsultasi dengan psikiater anak di RSAB Harapan Kita Jakarta tentang penanganan sang kakak agar tidak terjadi kecemburuan yang terkadang bisa mengakibatkan bencana.

Dari konsultasi dengan Dr. Gita kami mendapatkan beberapa saran yang baik, yang menurut saya akan bermanfaat jika saya share di sini...
Pertama, jangan memisahkan kamar anak setelah terjadi kelahiran adik. Jika ingin si kakak tidur sendiri, lakukan prosesnya sebelum kelahiran agar si kakak tidak merasa "terusir".
Kedua, libatkan si kakak dalam proses pengurusan adiknya, termasuk dalam proses menyusui. Dalam hal Ifan, moment ini saya gunakan untuk menjelaskan kepada Ifan bahwa saat Ifan kecil dan belum bisa apa-apa, Ifan pun diperlakukan sama. Dan bahwa bayi yang masih belum bisa apa-apa sangat tergantung dengan bantuan dari orang dewasa yang ada disekelilingnya.
Ketiga, saya harus bisa menahan diri untuk tidak menghabiskan waktu dengan adik bayi saja, tapi harus tetap membagi waktu dan perhatian saya dengan adil.

Sejak saya hamil Nada, keterikatan Ifan dan adiknya sudah terlihat. Setiap akan tidur, Ifan selalu mencium perut saya, mencium adiknya. Setiap kali Ifan mencium, si adik pun menendang dari dalam perut saya.
Saat saya mengalami kontraksi jelang melahirkan, Ifan lah yg menuntun tangan saya, berjalan bolak balik di sepanjang kamar dan ruang keluarga agar pembukaan berjalan lebih cepat :)

Kelahiran Nada Salsabila Hafizah pada tanggal 26 Agustus 2004 merupakan moment membahagiakan bagi kami sekeluarga.
Kata pertama yang diucapkan Nada adalah "Abang". Ifan pun sayang pada adiknya, meskipun seiring dengan pertumbuhannya, Nada menjadi adik yang suka mengganggu abangnya.
Ketika Ifan sedang asyik bermain komputer Nada memencet tombolnya sehingga komputer tiba-tiba mati :D
Ifan tidak membalas kenakalan adiknya. Hanya saja kerap terdengar teriakannya, "Bundaaaaa.... Nada nakal nihhhh... gangguin Ifan terussss!!!" hahahah....
Hingga kemudian Nada jatuh sakit, dan dalam waktu hanya 8 hari menghadap Allah Swt di usia 1,5 th... sedangkan usia Ifan 5,5 th... pada tanggal 17 Maret 2006.

Saat membawa jenazah Nada pulang ke rumah dengan ambulance, Ifan menyambut saya dengan tepuk tangan dan teriakan gembira, "Nada... Nada..."
Ya Allah... ternyata Ifan menyangka adiknya pulang dengan kondisi sehat.
Saya segera turun dari ambulance, dan langsung memangku Ifan di teras rumah yang sudah dipenuhi pelayat. Saya langsung berkata jujur, "Ifan, Nada sudah meninggal, Nada sekarang sudah nggak bisa main lagi dengan Ifan. Nanti Ifan ikut ya... kita mau memakamkan Nada..."
Walaupun mungkin bagi sebagian orang tindakan saya dianggap kurang bijaksana, tapi saya memilih dengan sadar untuk berkata yang sebenarnya pada Ifan karena khawatir mengoreksi kebohongan akan jauh lebih sulit disamping memberikan harapan semu.
Ifan mengikuti semua prosesi, dari mulai memandikan, men-shalatkan hingga menguburkan Nada.

Selama 3 hari saat ta'ziah, Ifan terlihat berbeda. Saat sepupu-sepupunya datang dia bermain dengan kegembiraan yang berlebihan. Tetapi sewaktu mereka pulang, Ifan menangis tidak memperbolehkan. Hari ketiga ta'ziah, malam terakhir, adik ipar saya memergoki Ifan menangis di sudut kamarnya. "Ifan kesepian nggak ada Nada," keluhnya saat ditanya.

Malam itu, saya menghubungi Dr. Gita, dan menceritakan berita duka ini, serta menanyakan pendapatnya.
Dari Dr. Gita saya mendapatkan gambaran, bahwa bagi seorang anak, batas waktu normal untuk berduka adalah 3 bulan. Tapi harus dipantau, jika kondisinya terus memburuk, bukan semakin membaik, maka saat 2 bulan saya harus membawa Ifan menemui Dr. Gita.

Alhamdulillah, kantor memberi saya cuti tanpa batas, dan saya pun memanfaatkan kemurahan hati pimpinan kantor saya...
Setelah berunding dengan suami, kami sepakat agar saya dan Ifan berlibur, hanya berdua tanpa pengasuh, agar saya bisa menembus selubung dukanya. Saat itu Ifan masih TK, jadi izin tidak masuk sekolah pun lebih mudah.

Saat hanya berdua dengan Ifan, saya menjajaki dukacitanya...
"Ifan kenapa sedih?"
"Ifan kesepian Bun nggak ada Nada..."
"Ifan ingat saat Nada sakit? Nada di infus... dan Bunda nggak bisa pulang karena harus menemani Nada di Rumah Sakit? Sekarang Nada sudah tidak merasakan sakit lagi, Bunda pun bisa pulang untuk mengurus Ifan... dan karena Nada masih bayi, masih suci, Nada langsung masuk surga dan hanya ada kebahagiaan disana. Jadi Ifan nggak perlu sedih lagi ya..."
Ifan tetap diam.
"Setiap makhluk hidup pasti akan mati suatu saat nanti, tidak tau kapan waktunya. Bunda dan Ifan juga begitu. Kalau Ifan mau bertemu Nada lagi, Ifan harus berusaha jadi anak yang shaleh, jadi orang yang baik, karena hanya orang yang shaleh dan baik yang bisa masuk surga..."
"Oke, Bun..." akhirnya Ifan berkata perlahan. "Tapi Ifan suka sedih kalo inget Nada..."
"Oke. Kalo gitu, kita belajar mengingat hal-hal yang menyenangkan aja dari Nada ya..." ajak saya.
Mulailah perjuangan kami untuk belajar hanya mengingat hal-hal yang terbaik dari Nada. Bagaimana lucunya, bagaimana isengnya Nada... dan ternyata hal itu sangat membantu kami mengatasi duka. Akhirnya kami bisa membicarakan Nada tanpa meneteskan air mata :)

"Bunda, Ifan minta dibuatkan adik lagi..." suatu saat Ifan tiba-tiba berkata.
"Ifan berdoa sama Allah ya... semoga diberi adik lagi. Tapi kalau Allah memberi kesempatan Ifan untuk punya adik lagi, Ifan harus lebih sayang lagi sama adik ya..."
"Oke Bun, Ifan janji."

Alhamdulillah, setelah mengalami 1 kali keguguran, akhirnya lahirlah Ahmad Balda Arifiansyah - Fian panggilan kami kepadanya - pada tanggal 16 Juni 2008.
Kata pertama yang Fian ucapkan juga "Abang".
Entah Ifan ingat akan janjinya, atau mungkin karena Ifan sudah lebih besar, Ifan lebih sering mengajak Fian bermain dibandingkan dengan Nada dulu. Ifan membujuk Fian saat menangis dengan mengajaknya bercanda. Ifan pun lebih sabar dalam menghadapi Fian, padahal Fian saat ini jauh lebih menguji kesabaran :D
Jika Fian memukul, tidak terdengar lagi teriakan "Bundaaaaa..." melainkan hanya "Fian jangan donggg... kan sakittt..." kata Ifan tanpa membalas.
"Bunda, kalau Fian udah nggak ASI lagi, Fian tidur di kamar Ifan aja ya..." pinta Ifan, menggambarkan kedekatan hatinya dengan Fian :)
Suatu saat Ifan bahkan berkata pada Papa saya, "Fian itu nanti jadi tanggung jawab Ifan, Ki..."
"Ha? Emang kenapa, Fan?" Papa saya sampai seperti kehabisan kata-kata.
"Soalnya, nanti waktu Fian baru kelas 6 SD, Ifan udah kuliah..." Usia Ifan dan Fian memang terpaut lumayan jauh, 8 th. Wah... ternyata inilah hasil pembicaraan "antar lelaki" dengan ayahnya... :D
Namun demikian, meskipun sudah ada Fian, Ifan tidak melupakan Nada. "Ayo Bunda, ajak Fian ke makam Nada, biar Fian bisa ketemu kakaknya..."
"Assalamualaikum, Nada... ini ada adik Fian juga datang..." katanya jika kami berziarah.

Subhanallah... memang benar yang pernah saya dengar dari beberapa ceramah agama... bahwa cukuplah kematian sebagai nasehat... Tidak hanya bagi suami dan saya, tapi juga bagi Ifan.
Saat semangat ibadah Ifan sedang sangat mengendur, saya hanya cukup mengingatkan Ifan, "Ifan ingin bertemu Nada nanti di surga?" dan semangat ibadah Ifan pun pulih kembali.
Alhamdulillah ya Allah... dibalik kesulitan Engkau memberikan kemudahan...

Saat ini, Ifan bahagia sudah memiliki adik lagi untuk teman bermainnya :D

Jakarta, 15 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti

 

Jumat, 28 Januari 2011

Catatan Perjalanan Pernikahan Saya : Hadiah Anniversary 11 th Untuk Suami Tercinta

Pernikahan Saya :
Sebuah Media Untuk Mengasah Kemampuan Berkomunikasi dan Kompromi, Menguji Cinta dan Keikhlasan, Serta Sarana Perbaikan Diri dan Ibadah


Hari ini 11 tahun yang lalu, saya sedang menjalani perawatan pengantin di Puri Ayu Graha Indorama Kuningan, sebagai persiapan pesta pernikahan kami yang akan berlangsung tanggal 11 Oktober 1998.
Saat itu usia saya belum genap 24 th, dan seperti umumnya wanita muda, rasanya persiapan "fisik" terasa lebih penting bagi saya, dari pada pembekalan "mental" yang diberikan oleh Ibu saya.
Ah... betapa naifnya saya saat itu, menganggap bahwa saya sudah kenal betul karakter calon suami saya hanya karena kami sudah berteman lama sebelum memutuskan untuk menikah.

Sejak 1 tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan antar dua keluarga inti kami, setiap saya hendak melangkahkan kaki keluar rumah, Ibu selalu bertanya,
"Yeni, sudah kasih tau Fahly kalau mau pergi?"
Sungguh, saat itu pertanyaan itu selalu membuat saya sebal.
"Kenapa sih, Bu? Jadi suami aja belom... kog ribet banget sih..." protes saya gusar.
"Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Yeni akan kaget nanti, dan pasti akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah menikah."

Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun itu, sungguh saya sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak pernah putus asa mendidik putri bungsunya yang keras kepala ini, yang saat itu sangat percaya bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan modern yang menjunjung kesetaraan kedudukan antara suami dan istri.
Saat itu, "Suami Ideal" bagi saya adalah suami yang bisa berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargai saya, mencintai orang tua dan keluarga saya, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, bla bla bla... segala hal positif lainnya :p

Setelah menikah, saya menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata tidak sesederhana anggapan saya sebelumnya, dan suami yang telah lama saya kenal sebagai teman, ternyata tidak semudah itu dimengerti karakternya.
Suami saya yang dulu sangat saya kagumi kemampuan berkomunikasinya saat kami masih bersama-sama berkecimpung di organinasi kami masing-masing di kampus, yang piawai dalam argumentasi dan mampu menengahi banyak masalah pelik di organisasi kepemudaan, ternyata diam seribu bahasa pada suatu saat, ketika saya membantahnya dengan mengajukan argumentasi. Padahal saya berharap kami akan berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan kami.
Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di depan mata saya. Saat itu, saya pun menjadi bingung... dan kecewa...

Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamus saya adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika saya bisa maka kamu juga seharusnya bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga saya...
Dan pertanyaaan yang sering muncul di kepala saya adalah :
Mengapa seorang suami boleh pergi begitu saja, sedangkan istri haram langkahnya tanpa izin suami?
Mengapa seorang suami pulang kerja bisa dengan leluasa pergi hang out dulu, sedangkan istri harus buru-buru pulang untuk mengurus anak dan rumah?
Dan berbagai kata "Mengapa" bermunculan saat saya mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah, sehingga yang saat itu muncul dalam pikiran saya adalah "betapa tidak adilnya Islam pada wanita"...
Astaghfirullah... Semoga Allah mengampunkan prasangka buruk saya dulu... :(

"Yeni, jangan kamu lihat kekurangan suamimu... lihat kelebihannya saja..." nasehat Ibu kepada saya.
"Yeni, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua kekurangan suami tanpa ada kata Tapi. Jadikan pernikahan kamu sebagai ibadah..." ucapan seorang sahabat wanita yang sudah saya anggap kakak, mencoba mengetuk hati saya.

Tahun demi tahun kami lalui... Saya pun membuktikan bahwa berada di lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif juga.
Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuat saya tidak gampang menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek kehidupan kami.
Wejangan tak putus dari Ibu saya, yang selalu meminta saya mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mata saya mulai terbuka, betapa saya pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi, istri dan ibu.
Jadi pantaskah jika saya menuntut suami saya berakhlak seperti Rasulullah jika saya sendiri tidak berakhlak seperti Ibu Khadijah?
Sebagai pribadi, saya terkadang dominan, karena terbiasa pendapat saya didengar dan dipertimbangkankan.
Sebagai istri, saya masih kurang mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibu saya kepada Papa).
Sebagai ibu, di saat lelah saya terkadang menjadi kurang sabar.
Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah saya perbuat, yang mungkin jika saya tulis satu per satu akan membuat penuh lembaran buku dosa saya.
Namun suami saya menerima hal itu, dan tidak melemparkan kritik sama sekali kecuali saya sudah keterlaluan.

Saya pun mulai belajar menjadi "paranormal" - istilah saya untuk orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan :D - dengan mulai mempelajari reaksi suami saya - expresi wajah, sorot mata, garis mulut, bahasa tubuhnya - dari berbagai kejadian.
Setelah mulai memahami, barulah saya menyadari, bahwa suami saya tidak mau mendebat saya dalam diskusi justru karena cinta, karena dia tidak ingin menyakiti hati saya dengan kata-kata... Tidak adanya kritikan dan protes keras yang dia sampaikan atas sifat-sifat saya yang mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa, melainkan karena dia ingin saya berubah atas kesadaran saya sendiri, bukan karena terpaksa.
Akhirnya saya mengerti, bahwa dengan diamnya, suami saya menunjukkan toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan yang saya perbuat, suami saya menunjukkan cintanya...

Teman-teman pria di sekeliling saya dan teman-teman wanita disekeliling suami saya pun menjadi penguji kekuatan cinta kami... membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan diperjuangkan.
Berpulangnya putri tercinta kami ke rahmatullah pun menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan...

Saya mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak ada manusia yang sempurna. But at least, saya terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diri saya sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suami saya melakukan perubahan terlebih dulu. Saya percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suami saya akan tergerak hatinya jika melihat saya sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.

Saya pun mulai belajar melihat kelebihan suami saya, mengingat semua hal yang dulu membuat saya jatuh cinta. Pada kegigihannya mendapatkan cinta saya meskipun dia tidak piawai menyatakannya dengan kata-kata, pada usahanya memperjuangkan hubungan cinta kami agar direstui kedua keluarga, pada rasa sayang dia kepada orang tua dan keluarga saya, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk ikut kumpul bersama arisan keluarga saya, pada kemampuannya menjadi teman dan sahabat bagi saya dan bagi setiap anggota keluarga besar saya... pada usahanya yang tak kenal putus untuk membahagiakan saya meskipun dengan caranya sendiri :D... dan masih banyak lagi.
Subhanallah... ternyata sungguh banyak kelebihan suami saya jika saya berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa berarti...

3 tahun terakhir ini, saya mulai belajar melihat pernikahan saya sebagai ibadah.
Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik anak merupakan ladang amal yang luas bagi seorang istri dan ibu.

Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visi saya pribadi :D, saya mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya...
Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami saya lengkapi dengan kelebihan saya, sebagaimana dia melengkapi banyak kekurangan saya dengan kelebihannya.
Terbayang oleh saya, jika suami saya mampu mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada saya? Pasti akan sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan...

Lewat introspeksi diri yang panjang pula - karena saya hanya diberitahu tentang hadist mengenai haramnya langkah seorang istri tanpa izin suami tanpa penjelasan mengapa hal tersebut diharamkan dan riwayat diangkatnya ke surga seorang ibu yang memiliki putri yang tidak datang saat beliau meninggal karena belum mendapat izin dari suami yang sedang pergi keluar rumah - saya akhirnya mengambil hikmah pribadi betapa Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri. Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri yang lebih utama.
Saya pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami tidak diharamkan, akankah saya berusaha mati-matian untuk mengenal, memahami dan berkomunikasi efektif dengan suami saya? Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa saya jika saya pergi tanpa izinnya.
Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti saya berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya saya akan berusaha mencari jalan bagaimana agar halal langkah saya, agar tidak bertambah buku dosa saya. Akibat usaha tersebut, suami saya pun benar-benar menjadi belahan jiwa saya :)

Akhirnya saya pun harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap wanita...
Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti dia hanya menanggung dirinya sendiri.
Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota keluarganya - istri dan anak-anaknya - sehingga baik buruknya akhlak istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.
Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad... sedangkan laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung jihad (CMIIW)...
Well, saya hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal hidup di akhirat kelak? :D

Mungkin sebenarnya perjuangan saya akan lebih sederhana jika saya datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh dalam hadist Rasulullah. Namun karena segala keterbatasan diri saya, saya harus menempuh jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula...
Bagaimanapun sulitnya, alhamdulillah, semua itu saya anggap sebagai sarana pendewasaan diri saya...

Sejak 3 tahun yang lalu, Alhamdulillah, saya telah belajar untuk ikhlas...
Mengurus rumah tangga dan mendidik anak pun sudah menjadi suatu kenikmatan bagi saya, semula hanya karena mengingat nilai ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan melihat hasilnya.
Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang saya kerjakan yang seharusnya merupakan porsi tugas suami, saya terkadang berkata, "Saya ikhlas kog mengerjakannya, tapi kan seharusnya suami saya bisa mengerjakan itu..." (yang benar kata sahabat wanita saya bahwa adanya kata Tapi itu pertanda jauh di dalam lubuk hati saya belum ikhlas :p)
Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, saya sudah bisa hanya berkata, "Ya, saya ikhlas mengerjakannya.", sambil tersenyum pula :D

Tulisan ini saya persembahkan untukmu, Ahmad Fahly Riza, suami tercinta, yang saya berikan lebih awal dengan niat sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke 11 di tanggal 11 Oktober 2009.
Saya tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukur saya karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta... suami yang karena karakternya membuat saya belajar banyak untuk dunia dan akhirat saya...
Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi cinta kita - semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga kita - saat ini izinkan saya nyatakan pada dunia bahwa saya mencintaimu seutuhnya, karena Allah semata...

Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca, terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan... Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga disamping sebagai surga dunia... :)

Jakarta, 8 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti

Ifan dan Pesantren Ramadhan SD Bhakti



Setiap tahun, setiap Ramadhan tiba, di 3 hari terakhir sebelum liburan lebaran, SD Bhakti mengadakan Pesantren Ramadhan. Selama 3 hari itu, pelajaran sekolah ditiadakan. Para siswa mengenakan seragam hari Jumat (seragam muslim/muslimah) di hari pertamanya, dan pada hari kedua dan ketiga mengenakan pakaian muslim bebas. Mereka belajar segala sesuatu tentang Agama Islam layaknya di "Pesantren".
Pada hari kedua, diadakan lomba antar kelas yang pialanya dibagikan di hari terakhir Pesantren Ramadhan.

Sebelumnya, saya menganggap kegiatan Pesantren Ramadhan SD Bhakti merupakan kegiatan positif yang biasa saja layaknya pesantren biasa, hingga tahun ini, pendapat saya berubah dan menganggap kegiatan itu menjadi luar biasa.

Pada waktu Pesantren Ramadhan Th. 2007, Ifan mengikuti layaknya anak kelas 1 yang lain, biasa saja.
Pada waktu Pesantren Ramadhan Th. 2008, Ifan diminta ikut Lomba Adzan, dan mendapatkan Juara 3, mendapatkan piala.

Tapi, bagi saya, yang istimewa justru tahun ini.
Di Pesantren Ramadhan Th. 2009, Ifan menyampaikan kepada saya bahwa dia diminta ikut Lomba Susun Ayat oleh wali kelasnya. Ada 3 teman lain yang juga ditunjuk untuk ikut lomba. Semula saya berpikir, ini lomba perorangan seperti tahun sebelumnya, bahwa ada 4 siswa yang mewakili kelas 3B untuk ikut lomba.
Ifan diminta menghafalkan 4 Surat Al Qur'an : Al Falaq, Al Ma'un, Al Fiil dan Al Humazah.
Oke, saya pikir tidak ada ruginya, karena kalaupun seandainya Ifan tidak menang, Ifan sudah mendapat keuntungan dengan menambah perbendaharaan hafalan surat pendeknya.
Malam itu, saya dan Ifan bersama-sama menghapalkan surat yang diminta. Mengapa bersama-sama? Karena kekuatan ifan adalah "telinga"nya hehehe... Ifan lebih cepat hapal jika mendengar daripada hanya "membaca". Jadi, saya memeluk Ifan yang membaca Juz Amma, sambil melantunkan ayat-ayatnya, sehingga sambil membaca Ifan juga mendengarkan :)

Hari kedua Pesantren Ramadhan, saat saya pulang kerja, Ifan menyambut saya di teras rumah dengan bersemangat, "Bunda, Ifan punya kabar gembira untuk bunda!"
"Oh ya? Kabar gembira apa, sayang?" saya tersenyum.
"Ifan juara 1 lomba susun ayatnya!!"
"Wah... selamat ya Fan!! Pialanya besok dibagikan?"
"Iya, tapi pialanya untuk di kelas, Bun!"
"Lho, kog untuk di kelas?" saya sempat bingung.
"Kan yang lomba bukan Ifan sendiri..."

Oalahhh.... ternyata lomba beregu... heheheh....
"Kelas berapa juara 2 dan 3-nya?"
Ifan berada di kelas 3B. Saya pikir yg juara 2 dan 3 kelas 3A dan 3C.
"Kelas 1C juara 2, kelas 2C juara 3, Bun!"

Lho???? Masa sih anak kelas 1 mengalahkan kelas 2 dan kelas 3 yang lain? pikir saya.
Hasil wawancara dengan Ifan-lah yang merubah pikiran saya sebelumnya, bahwa saya pikir Pesantren Ramadhan SD Bhakti hanya belajar Agama Islam saja. Ternyata tidak...

Ifan menceritakan bahwa Lomba Susun Ayat diadakan di lapangan, dan 1 kelompok terdiri dari 4 siswa. Ifan dan Rizki yang memilih ayatnya, kemudian memberikan kepada Farhan yang berlari menyampaikan kepada Salma yang berada diseberang lapangan, yang bertugas menempel potongan ayat tersebut di papan.

Pantas saja....
Karena lomba beregu, tentu saja peran wali kelas sangat diperlukan... Wali kelas harus mengenali kemampuan masing-masing anak didiknya, siapa yang hafal ayat, siapa yg cepat larinya, siapa yang rapi dan cepat kerjanya.
Pantas saja pemenang lainnya bukanlah kelas 3, tapi justru kelas 1... karena biasanya wali kelas 1 adalah guru yang paling telaten dan paling perhatian terhadap siswanya :)

Mengapa saya menganggap lomba tersebut luar biasa, walaupun Ifan tidak mendapatkan piala pribadi?

Ya, lomba tersebut bagi saya sangat luar biasa, karena Ifan jadi belajar realita kehidupan sejak dini, yang bisa bermanfaat hingga dia dewasa dan bekerja kelak.

Dengan adanya lomba tersebut, saya jadi punya momentum untuk mengajarkan Ifan, bahwa "Kepintaran" bukanlah segalanya.
Bahwa setiap manusia memiliki kelebihan yang bisa digunakan untuk kesuksesan dirinya kelak, selama dia bisa mengenali dan mengasah potensi tersebut.
Bahwa dalam hidup diperlukan kerjasama yang baik, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam dunia kerja.

Lebih jauh lagi, kelak saya punya bahan untuk mengajari Ifan bagaimana menjadi "Seorang Pemimpin yang Bijak".

Team Kelas 3B tidak akan menang, jika pemimpinnya (dalam hal ini wali kelas) tidak bisa mengenali kemampuan anak buahnya (dalam hal ini siswa). Apa jadinya jika Salma yang bertugas berlari (biasanya perempuan berlari lebih lambat daripada laki-laki hehehe) dan Ifan yang menempel ayat di papan (sedangkan Ifan anak yang kurang telaten untuk menempel dan sejenisnya)? :D
Mungkin mereka tidak akan menjadi pemenang.
Apa jadinya pula jika pemimpinnya tidak bisa menengahi serta memotivasi siswa yang ikut, bahwa dalam hal "team work" semua elemen memiliki peran penting yang sama?
Mungkin masing-masing anak akan menganggap karena dirinya lah kemenangan itu terjadi, dan bukan mustahil juga mengecilkan peran anggota team lainnya. Sehingga akhir kemenangan mereka bukanlah kebahagiaan melainkan pertikaian...

Kelak, untuk bekal Ifan di dunia organisasi dan kerja, saya punya bahan untuk mengajari Ifan, bahwa "Idealnya" Pemimpin lah yang menentukan arah, team work menjalankan.
Bahwa Pemimpin yang Bijak harus mengetahui potensi anak buahnya dan menempatkan anak buahnya di bidang terbaik yang bisa mengoptimalkan pencapaian hasil kerja bersama.
Bahwa Pemimpin yang Bijak harus dapat menjadi pengarah, pembina, penengah, penilai, pengoreksi, penyemangat, pengayom, penanggungjawab dan panutan bagi anak buahnya.
Bahwa begitu beratnya tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin... sehingga wajar pula jika di dunia kerja imbalan yang pemimpin terima lebih besar daripada anak buahnya :D

Sebagai orang tua, saya merasa bersyukur Ifan bersekolah di sekolah yang mengajarkan bukan hanya "Kepintaran" belaka, tetapi juga meletakkan dasar konsep hidup yang dapat berguna hingga Ifan dewasa :)

Jakarta, 5 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti

Sharing Copy Paste : Mengganti Puasa atau Syawal dulu?

Dari tahun ke tahun ke tahun saya sering mencermati teman-teman saya puasa syawal.

Tanpa bermaksud menimbulkan perdebatan panjang, berikut saya copy paste-kan seri tanya jawab dari Web Percikan Iman <http://www.percikaniman.org/> asuhan Ustadz Aam Amiruddin, M.Si.

Saya pribadi setuju dengan pendapat beliau untuk mendahulukan yang wajib baru kemudian melaksanakan sunnah, karena sejak putri tercinta saya, Nada Salsabila Hafizah, berpulang ke rahmatullah di usia yang sangat belia (1,5 th), saya senantiasa mengingat kematian...
Kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput... entah 1 jam lagi, besok pagi, atau entah kapan... sehingga rasanya lebih bijaksana jika kita lebih dahulu berusaha menyelesaikan hutang piutang kita, apa pun bentuk hutangnya...

Semoga sharing ini bermanfaat bagi teman-teman yang membacanya...

Jakarta, 30 September 2009
Yeni Suryasusanti

Mengganti Puasa atau Syawal dulu?
27-09-2009 / 06:42:22 Oleh : Ust.Aam Amiruddin, M.Si


Tanya :

Ustadz, pada bulan Syawwal kita dianjurkan shaum sunnah 6 hari bukan? Sebenarnya, mana yang harus didahulukan, apakah shaum qadha ataukan shaum sunnah syawwal? Mohon penjelasan


Jawaban :

Betul sekali, kita disunahkan melaksanakan shaum enam hari pada bulan Syawwal sebagaimana disabdakan Rasulullah saw.,

“Diriwayatkan dari Abu Ayyub r.a. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa shaum pada bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan shaum (sunah) enam hari pada bulan Syawal, seolah-olah ia shaum sepanjang tahun.” (HR.Muslim).

Hadits ini tidak menjelaskan apakah shaum tersebut dikerjakan harus berturut-turut atau terpisah-pisah. Ini menunjukkan bahwa kita diberi kebebasan untuk menentukan sendiri, apakah mau berturut-turut atau terpisah-pisah, itu semua tergantung pada situasi dan kondisi per individu, yang penting harus dilakukan pada bulan syawwal.

Mana yang harus kita dahulukan, Qadha atau Syawwal? Paling tidak, ada dua pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat pertama menyatakan harus memprioritaskan shaum Qadha karena shaum itu adalah wajib, sementara shaum Syawwal itu sunah. Kalau bentrok antara yang wajib dan yang sunnah, tentu yang yang wajib harus diprioritaskan.

Pendapat kedua menyatakan, shaum enam hari pada bulan Syawwal itu terikat waktu. Kalau bulan Syawwal habis, berarti habis juga kesempatan shaum sunah. Karena itu shaum Syawwal harus diprioritaskan. Sementara shaum Qadha walaupun wajib, namun waktunya leluasa, bulan apa saja bisa kita lakukan.

Mencermati kedua pendapat di atas, sesungguhnya kita bisa melakukan kompromi. Kalau mampu, alangkah baiknya pada bulan syawwal itu kita selesaikan dulu utang shaum Qadha, dilanjutkan dengan shaum sunah Syawwal. Dengan demikian kedua-duanya bisa kita kerjakan dengan baik pada bulan Syawwal. Ini yang paling ideal.

Kalau tidak memungkinkan, hal ini diserahkan pada kebijakan kita (per-individu). Tidak tercela kalau kita memprioritaskan shaum Syawwal. Insya Allah, kita akan mendapatkan pahala shaum sunah Syawwal walaupun masih punya utang shaum Qadha. Dan juga tidak tercela kalau kita memprioritaskan shaum Qadha dengan pertimbangan yang wajib harus lebih diutamakan dari pada yang sunah. Insya Allah, kita akan mendapat pahala dari segi memprioritaskan yang wajib, walaupun tidak mendapat pahala dari shaum sunah Syawwal.

Kesimpulannya, alangkah utama kalau shaum Qadha dan Syawwal bisa kita laksanakan pada bulan Syawwal. Namun tidak salah kalau kita mau memprioritaskan salah satunya. Mengutamakan Qadha, akan mendapat pahala dari segi mengutamakan yang wajib. Mengutamakan Syawwal, akan mendapat pahala dari aspek ibadah sunnahnya.

Wallahu A’lam.


Sumber : http://www.percikaniman.org/tanya_jawab_aam.php?cID=276

Ifan, Saya dan Ramadhan 1430 H

Banyak hal yang saya dan Ifan pelajari di Ramadhan tahun ini. Dari satu sama lain, dan dari sekolah Ifan, SD Bhakti.

Di awal bulan puasa, oleh gurunya Ifan dibagikan Tabel Ibadah untuk diisi selama bulan Ramadhan.
Pertama-tama, saya ingin membagi gambaran Tabel Ibadah Ifan, semoga bisa dibayangkan dan menjadi manfaat bagi teman-teman semua...

Pada Tabel Ibadah tersebut terdapat kolom "Nomor Kegiatan", "Jenis Kegiatan", 30 kolom berisi "Tanggal dan Hari-hari Ramadhan" dan kolom "Jumlah" untuk menjumlahkan pelaksanaan kegiatan selama 1 bulan.
"Jenis Kegiatan" berisi : Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, Isya, Puasa, Shalat Tarawih, Tadarus.
Di baris paling bawah dari "Jenis Kegiatan" ada kolom "Jumlah Kegiatan" untuk menjumlahkan pelaksanaan kegiatan per hari. Semua kegiatan diatas di nilai 1.
Ada pula 4 kolom "Ceramah Tarawih" yang mencakup tanggal tarawih, Judul, Kesimpulan Ceramah dan TTD Penceramah, ini nilai kegiatannya 5.

Pada Tabel Ibadah tersebut, orang tua diminta mengisi kegiatan yang dilaksanakan oleh putra/putrinya dengan tanda check. Ada dispensasi bagi yang sakit, dengan menuliskan "S" atau "P" bagi yang bepergian jauh.
Di lembar tersebut diinformasikan bahwa nilai akhir tabel ini akan dimasukkan dalam Aspek Penerapan Agama Islam di sekolah Ifan.

Saat itulah saya mulai mengawali pelajaran pribadi di Ramadhan 1430 H.

Pelajaran Pertama, Saya belajar untuk jujur mengisi Tabel Ibadah Ifan, tidak memanipulasi kegiatan demi mencapai nilai tertinggi, betapa pun besarnya keinginan tersebut.

Alhamdulillah karena Ifan sudah sejak kelas 1 SD berpuasa penuh, tidak ada hambatan bagi saya untuk mengisi kolom "Puasa" dengan tanda check. Namun, karena Ifan lupa menyampaikannya kepada saya, dan saya lalai tidak memeriksa tas sekolahnya karena Ifan libur awal ramadhan, saya baru mengetahui ada Tabel Ibadah tersebut pada puasa hari ketiga, sehingga saya harus merelakan kolom "Tadarus" di hari 1 dan 2 ramadhan dikosongkan (untuk menghindari godaan berbohong, saya langsung membuat tanda cross bagi jenis kegiatan yg tidak dilakukan Ifan setiap hari heheheh). Pada hari ke 3 dan 12, saya harus merelakan kolom "Zuhur" di cross, karena Ifan ketiduran sepulang sekolah dan baru bangun saat Ashar. Saya juga harus ikhlas membiarkan nilai tertinggi "Ceramah Tarawih" kosong karena Ifan tidak bersedia membawa tabel tersebut ke mesjid karena khawatir hilang katanya (atau malas? hihihihi) :D

Pelajaran Kedua, Saya membuktikan bahwa memang lebih mudah mengoreksi dan menilai orang lain daripada diri sendiri :D

Saat membaca tabel tersebut, saya langsung berpikir bahwa tabel ini bisa dimanfaatkan bukan hanya pada bulan ramadhan, melainkan juga bisa menjadi solusi bagi kontrol ibadah Ifan pada hari-hari setelah ramadhan, sepanjang tahun.
Saya bahkan mulai memikirkan pengembangan Tabel Ibadah tersebut, dimana akan saya tambahkan point shalat "di awal waktu" dan "di akhir waktu", bahkan saya sempat secara sambil lalu sebelum berangkat kerja membicarakan hal tersebut dengan Ifan, saat saya menggambarkan mungkin di setiap akhir bulan akan melakukan penilaian dan memberikan "reward" jika nilai Ifan pada Tabel Ibadah yang akan saya buat nanti melebihi target rata-rata. Reaksi Ifan pun sangat antusias.

Pada hari itu di mushalla kantor, setelah baru "sempat" melakukan shalat zuhur lewat sedikit dari jam 14.00 WIB, saat itulah saya tersentak, teringat tabel ibadah rancangan saya untuk Ifan walaupun masih berupa sketsa di kepala.
Bagaimana mungkin saya hendak memberikan penilaian mengenai waktu pelaksanaan shalat di awal atau di akhir untuk Ifan... sedangkan saya terkadang masih suka "menunda" shalat hanya karena merasa "tanggung" dengan pekerjaan kantor... Duh... alangkah malunya... jika saya menegur Ifan karena shalat di akhir waktu karena Ifan keasyikan nonton TV atau main komputer, sedangkan saya sendiri terkadang masih shalat di akhir waktu karena "keasyikan" bekerja...

Saat itu juga saya mengambil keputusan. Jika saya mau membuatkan Ifan Tabel Ibadah setelah Ramadhan nanti, maka saya juga harus membuatkan Tabel Ibadah untuk diri saya sendiri.
Tentunya Jenis Kegiatan Ibadah saya dan Ifan harus berbeda.
Saya membayangkan mungkin akan menambahkan Shalat Sunnah Rawatib, Shalat Dhuha, Shalat Tahajud dan Puasa Senin Kamis pada Jenis Kegiatan Tabel Ibadah saya.

Ifan tidak putus berpuasa dan tarawih di mesjid. Selama Ramadhan 1430 H, saya menolak acara buka puasa di luar rumah yang tidak mengadakan acara tarawih bersama demi menjaga semangat ibadah ramadhan Ifan. Saya tidak tega Ifan hanya berbuka puasa bersama pengasuhnya dirumah sedangkan saya di mall bersama teman-teman. Saat teman-teman saya mengusulkan mengajak Ifan juga, saya tetap menolak karena sayang memutuskan tarawih Ifan di mesjid yang belum putus hingga tanggal 14 September 2009.
Suatu subuh bahkan saya dikejutkan oleh Ifan yang berlari menemui saya saat mendengar adzan berkumandang, "Bunda, Ifan boleh shalat subuh di mesjid?"
Langsung suami dan saya menjawab, "Oh, boleh Fan, laki-laki memang lebih baik shalat di mesjid..."
Dan setelah itu Ifan beberapa kali shalat subuh di mesjid yang kebetulan lokasinya dekat sekali dengan rumah kami.

Namun, manusia hanya bisa berencana, Allah yang menentukan. Meskipun Ifan berniat berpuasa penuh lagi tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya, Allah berkehendak lain.
Hari Sabtu, 12 September 2009 Ifan dan Fian secara bersamaan sakit flu dan radang tenggorokan. Meskipun begitu, Ifan tetap berkeras melaksanakan puasa. Tapi kemudian, pada saat hendak sahur di tanggal 15 September 2009 Ifan demam tinggi. Akhirnya saya melarang Ifan berpuasa hari itu. Siangnya Fian menyusul demam tinggi. Dari hasil test darah dan widal hari itu, Fian di diagnosa para typus, sedangkan Ifan juga tertular adiknya, meskipun lebih ringan.
Alhamdulillah, salah satu pengasuh memutuskan tidak pulang lebaran tahun ini, dan bersedia mengambil infal kerja untuk kami. Dengan adanya bantuan pengasuh, saya sangat terbantu dalam mengurus 2 anak yang sakit para typus yang demamnya naik turun sehingga harus disiapkan proris yang dimasukkan lewat anus jika perlu, harus sering di seka agar suhunya turun, yang harus dijaga agar tidak banyak turun dari tempat tidur... dan hanya bisa makan bubur... dan harus sering-sering diingatkan untuk minum...
Ya Allah... Alhamdulillah Engkau memberi suami, saya dan pengasuh anak-anak kekuatan dan kesehatan... sehingga bisa merawat Ifan dan Fian.

Meskipun tidak berpuasa, tidak tadarus - saya memberi tanda "S" pada Tabel Ibadah Ramadhan Ifan - Ifan belajar hal lain dari sakitnya di bulan Ramadhan 1430 H ini.
Ifan tetap melaksanakan shalat meskipun sakit. Saya meminta Ifan melakukan shalat meskipun saya menyadari bahwa Ifan belum akil balik sehingga belum wajib shalat. Hal ini saya minta semata-mata karena saya ingin menanamkan pada diri Ifan, bahwa Allah memberikan kemudahan bagi orang sakit... dan Ifan harus tetap menjalankan shalat hingga akhir hayatnya, hingga Ifan kelak di shalatkan.

Inilah yang Ifan pelajari dari sakitnya di bulan Ramadhan 1430 H :

Ifan tidak boleh turun dari tempat tidur, karenanya Ifan belajar tayamum, lengkap dengan niatnya.
Ifan belajar shalat dengan posisi tidur. Pada saat-saat tertentu, dimana Ifan merasa lebih baik, Ifan belajar shalat dengan posisi duduk.

Saat saya menulis notes ini, Alhamdulilah Ifan dan Fian sudah dalam proses pemulihan. Suhu badan mereka sudah stabil, dan mereka sudah kembali ceria. Hanya tinggal menghabiskan anti biotik dan menjaga mereka tetap istirahat agar pemulihannya berjalan maksimal. Meskipun Ifan sudah merasa lebih baik, karena masa inkubasi penyakitnya belum tuntas, saya belum mengizinkan Ifan berpuasa.
Merasa lebih sehat, Ifan sempat berkomentar, "Ini karena Ifan berdoa minta cepat sembuh sama Allah setiap habis shalat, Bun... Ifan juga doain Fian karena Fian belum bisa berdoa sendiri." Duh... saya jadi terharu... :D

Bukan hanya Ifan yang belajar dari sakitnya di bulan Ramadhan 1430 H ini. Saya pun belajar.
Saya harus membimbing ifan melafalkan niat tayamum, sedangkan karena saya belum menemukan kondisi harus tayamum sebelumnya sehingga saya tidak hafal niat tayamum dalam bahasa arab (hehehe....), terpaksa saya menuntun Ifan melafalkan niat tayamum sambil membaca buku petunjuk shalat anak milik Ifan.

Ya... kita selalu bisa belajar dari setiap orang dan dari setiap kejadian, setiap hari, sepanjang hidup kita.
Alhamdulillah, meskipun mungkin merupakan hal yang sepele bagi sebagian orang, bagi saya pribadi, meskipun sedikit, hal ini tetaplah merupakan sebuah kemajuan, bahwa saat ini saya dan Ifan telah hafal niat tayamum dalam bahasa arab :D

Jakarta, 19 September 2009
Yeni Suryasusanti